CINTA MUSLIMAH SEJATI Bag. 7
Jam 06.30 pagi, ibu sudah sibuk dengan warungnya di depan rumah, warung kecil kecilan yang di rintis oleh al marhum ayah, ayah meninggalkan kami dua tahun lalu, beliau menghadap ilahi pada usia 62 tahun
Semenjak kepergian ayah, nyaris semua pekerjaan di gantikan oleh kami terutama ibu. Ayah meninggalkan tiga anak, yaitu kakaku yang paling tua, sekarang sudah punya istri dan satu anak, kakaku tinggal tak jauh dari rumah kami. Yang ke dua adalah kakaku yang sekarang masih mesantren di daerah Jawa timur, kakaku yang ini jarang pulang ke rumah, kecuali hari hari libur panjang yang hanya dua kali dalam satu tahun, yaitu pada bulan Maulid dan Romadlon, dia umurnya hanya dua tahun lebih tua dariku, sehingga banyak orang yang menyangka bahwa aku dan dia adalah kembar, karena sudah sama sama besarnya, wajah kami juga mirip, walau menurutku kakaku lebih cantik dan lebih putih kulitnya, karena selalu ada di dalam ruangan yang tertutup. Yang ketiga adalah aku sendiri, yang dulu juga punya cita cita di pesantren seperti kakaku, tetapi aku tidak pernah berangkat ke pesantren, karena ibuku hanya mampu membiayai kakak yang telah berangkat ke pesantren saat ayah masih hidup. Pernah aku berpikir untuk tetap berangkat ke pesantren walau tanpa biaya, di sana aku bisa bekerja menjadi tukang cuci baju teman teman santri lain, sehingga aku mendapatkan upah untuk keperluan makan sehari hari. Tetapi aku tidak tega meninggalkan ibu sendirian di rumah, sehingga aku lebih memilih tinggal di rumah agar bisa membantu pekerjaan ibu dan di saat beliau membutuhkan.
Alhamdulillah….. Dengan berbekal ijazah SMA, aku di terima menjadi guru di MI yang berada di tetangga desaku. Aku di amanahi mengajar anak anak kelas V dengan memegang bidang study IPA dan bahasa daerah di kelas VI.
Bertekad untuk tidak mengecewakan mereka, maka aku meneruskan kuliah di PGSD yang menyediakan kuliah sabtu minggu.
Hari hari ku jalani dengan penuh syukur dan selalu haus akan ilmu, pada sore hari aku ikut ambil bagian di taman pendidikan al Qur’an yang bertempat di masjid, bersama 12 asatidz yang lain, aku berjuang mendidik anak anak santri yang berjumlah mencapai 230. Memang di daerahku baru ada satu TPQ, sehingga santrinya masih sangat membludak.
Di waktu seperti sekarang ini, setiap hari aku sudah rapih dengan seragam sekolah. Sengaja aku menyelesaikan pekerjaan pekerjaan rumah lebih awal karena ada pelajaran di kelas V. Sebelum berangkat, ku sempatkan sarapan dulu, sendok dan piring telah siap di tangan, dengan segera ku isi dengan nasi putih dan lauk, tempe goreng dan sayur asem yang menjadi kesukaan ibuku.
Ah ibu… beliau juga belum sarapan, bahkan beliau sudah sibuk sedari pagi di warungnya. Dengan bergegas akupun menyiapkan piring dan sendok untuk ibu, dan tentu tanpa lupa mengisinya dengan nasi dan lauk yang sama dengan yang ada di piringku. Lalu aku membawanya ke warung, di sana ibu sedang menulis belanjaan yang harus di beli hari ini karena stoknya habis.
Beliau menyambut kedatanganku dengan senyum, senyuman yang snagat menentramkan hati, senyuman yang selalu membuatku merasa rindu membuncah. Dengan agak tergopoh ibu bangkit sambil mengulurkan tangan menerima sepiring sarapan yang aku bawa.
“Terima kasih ya nduk… kebetulan ibu juga sudah lapar”. Ucap ibu dengan parau dan terkekeh
“Ayo makan bareng di dekat ibu”. Beliau melanjtkan
Kamipun sarapan pagi berdua dengan sangat nikmat tanpa di campuri syaetan, karena kami membaca Basmalah dan berdo’a sebelum makan, sehingga insyaAlloh berkah.
Ibu pernah menerangkan, bahwa ada dua jenis syaetan, yaitu syaetan yang gemuk dan syaetan yang kurus.
Syaitan yang gemuk adalah syaetan yang selalu ikut makan bersama orang orang kafir saat makan, karena mereka tidak pernah membaca do’a ketika mau makan. Sedangkan syaitan yang kurus adalah syaitan yang ditugaskan menggoda orang orang islam yang selalu membaca asma Alloh ketika mau makan, karena takut akan asma Alloh, maka syaitan itu tidak pernah bisa ikut makan bersama orang muslim tersebut, sehingga syaitan ini menjadi kurus karena kelaparan.
Dengan tiba tiba ibu mendekatkan sendok yang sudah terisi ke mulutku, “Beliau ingin menyuapiku”. Begitu hatiku menerka.
Tanpa menunggu lama, aku segera membuka mulut, beliau menyuapiku dengan penuh kasih sayang yang tulus, ada pancaran sinar kebahagiaan di mata ibu yang bening, bibirnya menyungging senyum yang manis, ikhlas dan tak akan pudar di makan masa dan waktu.
Akan ada balasan untuk ibu….
Aku tidak akan mendurhakainya, akan ku balas seluruh kebaikanya sebagai bukti aku adalah anak yang berusaha berbakti dan selalu mengaharap do’a dan ridlonya. Karena dengan mendapat ridlo ibu, aku bisa menggapai ridlo Alloh swt.
Hatiku basah dengan doa dan asa yang baik untuk ibu.
Dalam sekejap ku rasakan ada sesuatu yang hadir denan halus di hatiku, suatu yang sangat membahagiakan yang tak bisa ku artikan dengan jelas. Perasaan ini benar benar beda, tidak seperti biasanya.
Apakah ini satu pertanda? Begitu gemuruh tanya di dalam dada.
Selesai sarapan dengan ibu, segera piring ku bawa ke dapur, ku cuci dan ku taruh di rak gerabah.
Agak tergesa aku memakai sepatu, karena waktu sudah hampir jam 07.00 wib. Sebelumnya aku panasi motor matic yang ku jadikan sebagai alat berkendara dalam semua aktifitas, dengan sebentar ku patut patut tubuh di depan cermin……
BERSAMBUNG……..