PENAFSIRAN DARI AYAT AYAT CINTA

PROLOG
kucing biru
                  Kerap kita mendengar ungkapan “cinta tak harus memiliki” yang pada umumnya lebih sebagai ungkapan ekspresif ketika perjalanan cinta mengalami kegagalan, ketimbang sebagai ungkapan filosofis dari hakikat cinta itu sendiri, di mana antara cinta dan keinginan untuk memiliki hakikatnya tidak ada relasi keterkaitan apapun. Dalam memahami dua perasaan tersebut sering terjadi kerancuan bahkan kekacauan, yang lazimnya murni karena sugesti perasaan kedua yang relatif lebih dominan dibanding perasaan pertama. Dominasi ini pula yang sebenarnya menjadi biang kecemburuan buta, posesifitas dan egoisme bercinta. Bahkan, dominasi ini pula yang mendorong seseorang gampang berdalih mengatasnamakan cinta ketika terjadi fantasi-fantasi negatif lainnya, atau ketika pegorbanannya untuk memiliki harus tidak berarti.

Di lain pihak, kita juga sering mendengar ungkapan “memiliki tidak harus cinta” yang barangkali merupakan falsafah bagi mereka yang menomorsekiankan cinta dan tidak menjadikannya sebagai pra-syarat atau jaminan kebahagiaan mengarungi bahtera rumah tangga. Yah… bisa jadi karena meyakini kebahagiaan itu bisa dibeli dengan materi, atau boleh jadi paradigma itu sekedar bentuk kepasrahan ketika takdir seseorang harus menikah dengan orang yang tidak dicintai.

Secara hukum, nikah tanpa cinta baik dari salah satu atau kedua belah pasangan, mungkin tidak perlu diragukan lebih-lebih dipertanyakan keabsahannya. Sebab dalam konteks pernikahan, disamping cinta bukan sabagai syarat, Islam juga melegalkan konsep ijbâr (nikah paksa???) yang memberi hak prerogatif kepada wali (bapak, kakek dan seatasnya) atas anak gadisnya dalam perjodohan. Dalam konsep nikah ijbâr ini, pernikahan akan dianggap sah sepanjang tidak ada adâwah dhâhirah (kebencian nyata) antara wali dan anak gadisnya serta dengan calon yang selevel (kufu’) yang sanggup memberikan maharnya. Dalam konsep ini, rasa cinta praktis dikesampingkan untuk menjadi pertimbangan legalitas menjodohkan. Dan barangkali, kehadiran rasa cinta hanya diharapkan secara spekulatif dari kebersamaan pasangan dari waktu ke waktu seperti dalam pepatah jawa “witing tresno jalaran soko kulino”.

Pepatah demikian tidaklah selamanya benar, sebab disamping kehadiran cinta yang diharapkan hanya bersifat spekulatif yang tidak mustahil justru kebencian yang akan hadir, cinta sendiri hakikatnya lahir karena adanya kecocokan dua jiwa yang jika hal itu tidak ada maka cinta tidak akan pernah tumbuh meski dalam hitungan tahun bahkan abad.

Contoh logis dari spekulasi ini adalah, bahwa fenomena perselingkuhan lazim terjadi bukan di awal-awal terjalinnya sebuah hubungan cinta, melainkan ketika hubungan itu telah berjalan sekian waktu dan ketika cinta tidak lagi sanggup memberikan arti yang mendamaikan. Logikanya, jika cinta yang mendasari sebuah hubungan saja dapat pudar, lantas bagaimana jika sebuah hubungan tanpa didasari cinta?. Benih cinta yang dianugrahkan di setiap hati akan tumbuh bersemi, atau malah sebaliknya akan layu untuk kemudian mati?.

Apabila demikian realitasnya, maka nikah tanpa cinta sepintas akan tampak kontras ketika kita bandingkan dengan muatan surat Ar-Rum ayat 21 yang menegaskan bahwa esensi pernikahan adalah demi terciptanya rumah tangga sakînah, mawaddah wa rahmah, yang dari sana diharapkan akan melahirkan generasi-generasi pilihan dan tangguh yang akan meneruskan kesinambungan tongkat estafet kehidupan. Akan semakin kontras pula ketika kita menyimak pesan sabda Nabi saw. yang memerintahkan agar umatnya menikah dengan tipe-tipe al-walûd (wanita subur) dan al-wadûd (memiliki kasih sayang besar).
Untuk mengkompromikan realitas yang tampaknya kontras tersebut, tulisan berikut akan mencoba mendiskusikan seputar idealisme dan urgensitas sebuah cinta dalam pernikahan, melalui pendekatan semantik dan tafsir.

HAKIKAT CINTA DAN SYAHWAT UNTUK MEMILIKI

Cinta, adalah sepatah kata yang konon mengandung sejuta misteri hingga sampai dewasa ini nyaris tak ditemukan satupun definisi yang benar-benar komprehensif (jâmi’-mâni’) terhadap seluruh dimensi maknanya. Atau kalaupun ada, tak satupun definisi yang disepakati lebih–lebih dalam konteks hubungan asmara lawan jenis, sebab ia akan lebih bisa dimengerti menggunakan bahasa rasa dari pada didefinisikan secara verbal menggunakan kosa kata. Kendati demikian, tidak ada salahnya jika kita manfaatkan khasanah literatur tafsir untuk menguak hakikat cinta dan keinginan (syahwat) untuk memiliki, sehingga tidak akan terjadi silang sengkarut dalam menyikapai kedua rasa tersebut serta bisa menempatkan keduanya sesuai dengan proporsinya masing-masing. Lebih dari itu, tidak akan ada lagi pemerkosaan besar-besaran terhadap kata cinta dengan mengatasnamakan cinta saat terjadi fantasi-fantasi X yang sebenarnya tidak patut dikaitkan dengan cinta karena hanya merupakan luapan egosentris syahwat untuk memiliki saja. Atau paling tidak, akan kita ketahui seberapa penting urgensitas sebuah cinta dalam pernikahan.

Dalam Al-Qur’an, Allah swt. telah berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). QS. Ali Imran : 14

Redaksi ayat di atas menegaskan bahwa dalam tiap diri manusia telah ditanam benih-benih cinta yang sewaktu-waktu bisa tumbuh ketika menemukan kecocokan jiwa. Cinta dalam Islam tidak dilarang, bahkan cinta merupakan anugrah yang harus disyukuri dengan mengekspresikan dan membinanya sesuai norma-etik syariat sehingga arah cinta tetap lurus menuju ridla-Nya. Allah berfirman:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. QS. Al-A’raf : 32

Mencintai lawan jenis secara wajar dan rasional dalam Islam bukanlah larangan, karena naluri saling mencinta antar laki-laki dan wanita telah ditetapkan sebagai sunnatullah. Naluri tersebut ada karena wanita diciptakan dari bagian organ laki-laki (tulang rusuk), sehingga ia akan senantiasa merindukan asal kejadiaanya itu. Sedangkan laki-laki diciptakan memiliki syahwat kepada wanita yang dapat membuatnya merasa tentram dan damai. Dalam sebuah hadits Nabi saw. bersabda:

حُبِبَ لِي مِن دُنيَاكُم النِسَاءُ وَالطَيبُ وَجُعِلَتْ قَرَةَ عَينِي فِي الصَلَاةِ

Aku dicintakan pada duniamu, yaitu wanita dan kebaikan, dan dijadikan sebagai penentramku di dalam shalat. HR. Ahmad, An-Nasa’i, Hakim dan Al-Baihaqi.

Menafsiri lafadzحُبُّ الشَّهَوَاتِ dalam surat Ali Imran ayat 14 di atas, ulama teologis (Mutakallimîn) mengatakan, antara cinta dan syahwat itu berbeda. Perbedaan ini ditengarai melalui kaidah gramatikal Arab bahwa rangkaian idlâfah menunjukkan perbedaan mudlâf dengan mudlâf ilaih, dengan kata lain, mudlâf (حُبُّ) bukanlah mudlâf ilaih (الشَّهَوَاتِ). Perbedaan ini juga ditengarai melalui konsep teologis bahwa, syahwat adalah hasrat dan kecenderungan naluriah terhadap suatu obyek yang disenangi (al-ladzah) dan keinginan kuat untuk memperolehnya. Hasrat dan kecenderungan ini bersifat naluriah yang berada di luar usaha dan kehendak (irâdah) manusia. Tiap manusia memiliki potensi hasrat dan kecenderungan (asy-syahwah) secara alami pada hal-hal yang menyenangkan.

Sedangkan cinta (محبة) adalah hasrat (irâdah) terhadap suatu obyek namun tidak berhenti pada obyek ansich melainkan pada realitas lain dari obyek tersebut. Seperti orang cinta pada si A, berarti ia memiliki hasrat yang tidak berhenti kepada wujud si A melainkan menjadikan si A hanya sebagai sarana (wasîlah) untuk merealisasikan hasrat untuk memuliakan, melindungi, berkorban atau melakukan tindakan-tindakan positif dan terbaik kepadanya. Simpelnya, seseorang yang cinta kepada A, berarti ia senang untuk melakukan hal-hal positif kepadanya. Dengan kata lain, cinta adalah hasrat kesenangan pada sikap dan tindakan positif, dan bukan hasrat pada obyek itu sendiri.

Inilah yang membedakan antara syahwat dan cinta. Yakni hasrat kepada obyek semata, atau hasrat pada realitas lain dari obyek tersebut. Demikian juga syahwat hanya berkaitan dengan hal-hal yang menyenangkan saja, seperti kecantikan, kekayaan dan pesona-pesona keindahan lainnya yang setiap naluri orang menyukainya. Maka kiranya di sini bisa ditegaskan, bahwa apa yang umumnya dikatakan sebagai jatuh cinta pada pandangan pertama adalah sebuah kerancauan dan kekacauan antara istilah syahwat dan cinta.

Sementara itu, cinta berkaitan baik dengan hal-hal yang menyenangkan maupun yang tidak seperti contoh pengorbanan. Sehingga bagi pecinta, tidak berlebihan jika harapan dan ratapan keduanya akan sama-sama terasa manis. Di sinilah maksud cinta itu tidak bersifat naluriah sebagaimana syahwat melainkan ia akan muncul melalui keinginan dan pilihan dari kehendak (irâdah) seseorang, sebab cinta hakikatnya adalah hasrat, kemauan atau kebersediaan untuk berkorban tanpa hasrat mendapat imbalan, hasrat untuk memberi tanpa hasrat diberi, hasrat untuk melindungi meskipun harus mati, hasrat untuk mengasihi meskipun tidak dikasihi, bahkan hasrat untuk mengutarakan rasa cinta itu sendiri meski tidak diterima atau bahkan malah dibenci, serta hasrat untuk tetap mencintai meskipun tidak harus memiliki.

Sebagai perumpamaan dari cinta ini, mungkin bisa digambarkan seperti halnya orang menyukai terhadap ular. Dia tidak mengharapkan apa-apa dari ular tersebut, tetapi ia rela berkorban demi binatang itu meski kadang digigit atau bahkan harus mati karena terkena bisanya. Di sini bisa juga dikatakan, bahwa dia cinta pada pengorbanan untuk ular, dan bukan cinta kepada ular. Sedangkan syahwat adalah seperti orang yang menyukai buah tebu ataupun bunga. Bunga disukai karena keindahannya, semerbak wangi atau madunya, dan manakala ia layu maka akan dicampakkan. Demikian juga buah tebu disukai karena kemanisannya, dan manakala habis manis, sepah pun dibuang. Begitulah syahwat, hanya berhenti pada obyek ansich, tidak demikian halnya dengan cinta.

Dengan demikian, tampaklah perbedaan apa itu cinta dan apa itu syahwat untuk memiliki. Cinta adalah murni pengorbanan, sedang syahwat untuk memiliki adalah naluri keserakahan.