SEKILAS TENTANG KITAB KUNING

Sekilas tentang Kitab Kuning

tafsir qurtubi            Term kitab kuning bukan merupakan istilah untuk kitab yang kertasnya kuning saja, akan tetapi ia merupakan istilah untuk kitab yang dikarang oleh para cendekiawan masa silam. Istilah tersebut digunakan karena mayoritas kitab klasik menggunakan kertas kuning, namun belakangan ini penerbit-penerbit banyak yang menggunakan kertas putih. Yang pasti, istilah tersebut digunakan untuk produk ijtihad salaf. Sementara itu, produk pemikiran salaf dikalangan akademisi lebih populer dengan sebutan turots atau bertulis turats.
Turots secara harfiah berarti sesuatu yang di tinggalkan atau di wariskan. Di dunia pemikiran Islam, turots digunakan dalam khazanah intelektual Islam klasik yang diwariskan oleh para pemikir tradisional. Istilah turots yang berarti khazanah tradisional Islam merupakan asli ciptaan bahasa Arab kontemporer.

Sejarah mencatat bahwa para pembuat kitab kuning turots dalam memainkan perannya di panggung pergulatan pemikiran Islam tak pernah sepi dari polemik dan hal-hal yang berbau kontradiktif. Sengitnya perdebatan antara Mu’tazilah, Murji’ah, Rofidloh, dan Ahlus Sunnah yang direkam secara rinci oleh syaikh Abdul Qohir ibn Thohir ibn Muhammad al Baghdadi (w. 429 H) dalam karyanya al Farqu bainal Firaq. Dalam buku tersebut tergambar dengan jelas kemajemukan pemahaman agama, terlebih masalah akidah. Setelah melakukan pencarian dan kajian yang mendalam para tokoh aliran masing-masing menemukan konklusi yang berbeda-beda.

Pada kurun berikutnya, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghozali (w.505 H) berhasil mengguncang dunia filsafat melalui bukunya yang bejudul Tahafutul Falasifah. Dengan sangat rasional beliau mengungkap kerancuan pemikiran para filosof, terutama pemikiran al Farabi dan Ibnu Sina. Namun kritikan tajam dari Ghozali terhadap para filosof ini mendapatkan serangan balik dari Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd (w. 595 H) melalui Tahafutul Tahafut. Walaupun lebih berpihak kepada al Ghozali kebenaran yang sesungguhnya. Dalam pandangan Ibnu Rusyd, Ghozali dinilai kurang tepat dalam menguak sisi fatalitas pemikiran para filosof, karena Ghozali pada dasarnya hanya bersandar pada dua pemikiran yakni al Farabi dan Ibnu Sina, bukan pada akarnya, yakni filsafat Yunani. Dalam hal, ini Ibnu Rusyd adalah sosok yang melakukan apologi (pembelaan) sekaligus purifikasi (pemurnian) filsafat Aristoteles yang tercemar dan terkaburkan oleh pendapat Ibnu Sina. Bahkan Ibnu Rusyd berusaha untuk mengharmoniskan hubungan antara filsafat dan agama.

Silang pendapat juga tumbuh subur di ranah hukum Islam (fikih). Gesekan-gesekan banyak terjadi pada pentolan dan pendiri madzhab seperti Syafi’i, Maliki dan imam-imam yang lain. Dalam tubuh sebuah madzhab juga kerap terjadi benturan ide sebagaimana yang ada dalam kubu Syafi’iyah seperti al Nawawi dengan al Rafi’i. Namun perlu diingat bahwa perbedaan bukan berarti permusuhan. Beragam pendapat yang muncul disikapi oleh para pemikir klasik dengan penuh kedewasaan sehingga dengan perbedaan justru benar-benar membawa rahmat.
Berbicara soal ilmu pengetahuan, ada baiknya kita tengok kembali gagasan Ghozali dalam al Mustashfa fi ’Ilmil Ushul. Yaitu buku tentang teori hukum Islam (ushul fikih). Dalam prolog (khutbah al kitab) buku tersebut, Hujjatul Islam memetakan ilmu menjadi tiga macam.

Pertama :

Ilmu rasional murni (’aqli mahdoh), seperti matematika (al hisab), arsitektur (al handasah) dan astrologi (al nujum). Agama tidak menganjurkan untuk mempelajari ilmu jenis ini. Ilmu ini sebagian mengandung kebenaran dan sebagian yang lain hanyalah spekulasi yang tak berdasar. Dalam kacamata Ghozali, ilmu ini tidak berguna karena hanya terkait erat dengan kehidupan dunia yang fana. Ilmu bisa dikatakan bermanfaat bukanlah ilmu yang hanya berorientasi pada kenikmatan dan kegemilangan masa depan, melainkan di ukur dengan kemampuannya mengantarkan kepada kebahagian akhirat yang abadi.

Kedua :

Ilmu yang murni hanya merujuk pada sumber-sumber terdahulu (naqli mahdoh). Contoh ilmu ini adalah ilmu hadits, tafsir dan yang sejenis. Ilmu hadits dan tafsir di peroleh dari shohabat, tabi’in dan orang-orang alim zaman dahulu. Untuk mengkaji ilmu jenis ini sangat mudah, sebab orang muda dan tua dapat menguasai dengan gampang asalkan memiliki daya ingat yang tajam (quwwat al hifdzi), sementara rasio tidak begitu berperan di bidang ini.

Dalam perspektif Ghozali, pembagian ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang ketiga. Ilmu ketiga merupakan upaya mensinergikan antara akli dan naqli, antara penalaran dan periwayatan. Ilmu fikih dan ushul fikih merupakan cakupan dari bagian ilmu yang ketiga, sebab porsi akal dan wahyu bekerja bersama-sama di dalamnya. Karena dalam ilmu ushul fikih dan fikih terkandung dua unsur sekaligus, maka ilmu ini mempunyai nilai plus bila dibandingkan ilmu hadits, tafsir dan lainnya.
Pengarang kiab Ihya’ Ulumuddin ini menambahkan argumen bahwa, ilmu-ilmu semacam itu tidak di landaskan pada taklid semata yang menjadi ciri khas ilmu naqli begitu pula tidak bersandar pada akal murni. Upaya peniruan secara membabi buta ditolak oleh akal, sementara berpegang pada akal semata tidak dibenarkan agama. Dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu yang paling unggul adalah ilmu yang berdiri ditengah-tengah antara akal dan wahyu.

BERSAMBUNG….