KAIDAH FIQH : SEGALA SESUATU TERGANTUNG TUJUANYA

Dasar-dasar kaidah

-1 ﻭﻣﻦ ﻳﺮﺩ ﺛﻮﺍﺏ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻧﺆﺗﻪ ﻣﻨﻬﺎ ﻭﻣﻦ ﻳﺮﺩ ﺛﻮﺍﺏ ﺍﻻﺧﺮﺓ ﻧﺆﺗﻪ ﻣﻨﻬﺎ

‏( ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ145

“Barang siapa yang menghendaki pahala dunia niscaya kami berikan kepadanya pahala di dunia, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat niscaya kami berikan pula pahala akhirat itu”.

(QS. Ali – Imron : 145)

-2 ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻻﻋﻤﺎﻝ ﺑﺎﻟﻨﻴﺎﺕ ﻭﺍﻧﻤﺎ ﻟﻜﻞ ﺍﻣﺮﺀ ﻣﺎ ﻧﻮﻯ

“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati”. (HR. Bukrori dari Umar Bin Khottob)

Menurut ulama’ ahli tahqiq, hadits ini isinya padat sekali seolah-olah sepertiga atau seperempat dari seluruh masalah fiqih telah tercakup

dalam hadits ini. Sebab perbuatan atau amal manusia itu ada tiga macam, yaitu :

a. Dengan hati

b. Dengan ucapan

c. Dengan tindakan

Dan semua amal yang berhubungan dengan hati tercakup pada hadits ini. Bahkan menurut Imam Syafi’i ada 70 bab yang tercantum dalam hadits ini, seperti wudlu, mandi, sholat, qhosor, jama’, makmum, puasa, zakat, haji, i’tikaf, dan masih banyak lagi lainnya.

Kaidah Niat Menurut Beberapa Ulama’

Niat yang berkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan amal perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum amal yang dilakukannya, jika ia sebagai amal syariat, maka wajib atau sunnat atau lain sebagainya ditentukan oleh niat pelakunya. Itulah sebabnya kaidah ini bisa diterapkan hampir pada seluruh masalah fiqhiyah.

Ulama berbeda pendapat tentang apakah niat itu termasuk rukun atau syarat :

a. Segolongan ulama berpendapat, bahwa niat itu teramsuk rukun, sebab niat sholat misalnya, adalah termasuk dalam dzat dalam itu.

b. Ulama yang lain mengatakan, bahwa niat termasuk syarat, sebab kalau niat termasuk rukun, maka harus pula diniati.

c. Menurut Imam Al-Ghazaly, “Diperinci”, kalau puasa, niat termasuk rukun; kalau sholat, niat termasuk syarat.

d. Imam Nawawy dan Rafi’iy berpendapat sebaliknya; bagi sholat, niat termasuk rukun, sedangkan bagi puasa, niat termasuk syarat.

Di dalam kaidah ini, memberi pengertian bahwa setiap perbuatan manusia, baik yang berwujud perkataan maupun berwujud perbuatan diukur menurut niat si pelakunya. Contoh lain, misalnya : menyembelih binatang untuk dimakan, maka halal hukumnya, tetapi menyembelihnya untuk pemujaan bagi selain Allah, maka haram hukumnya.

3. Kaidah yang dapat diambil dari kaidah pokok

a. ﻻ ﺛﻮﺍﺏ ﺇﻻ ﺑﺎﻟﻨﻴﺔ

“Tidak ada pahala kecuali dengan niat”

Perbuatan baik maupun perbuatan buruk itu tergantung pada niat si pelaku, jika perbuatan itu diniati baik maka akan mendapatkan pahala, tetapi jika perbuatan itu diniati buruk maka tidak akan mendapat pahala.

b. ﺍﻟﻌﺒﺮﺓ ﻓﻰ ﺍﻟﻌﻘﻮﺩ ﻟﻠﻤﻘﺎﺻﺪ ﻭﺍﻟﻤﻌﺎﻧﻰ ﻻ ﻟﻸﻟﻔﺎﻅ ﻭﺍﻟﻤﺒﺎﻧﻰ

“Yang dianggap dalam aqad adalah maksud-maksud, bukan lafadz-lafadz dan bentuk-bentuk perkataan”.

Tidak sahnya berpegang kepada harfiyah lafadz apabila terbukti bahwa qasod (maksud) dan niat bukan sebagai yang dilafadzkan itu.

c. ﻣﺎ ﻳﺸﺘﺮﻁ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺘﻌﻴﻴﻦ ﻓﺎﻟﺨﻄﺎﺀ ﻓﻴﻪ ﻣﺒﻄﻞ

“Dalam amal yang disyaratkan menyatakan niat, maka kekeliruan pernyataan membatalkan amalnya”.

Perbuatan yang apabila salah dalam niatnya, maka perbuatan itu menjadi batal.

d. ﻣﻘﺎﺻﺪ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻋﻠﻰ ﻧﻴﺔ ﺍﻟﻼﻓﻆ

“Maksud lafadz itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya”.

Apabila ucapan seseorang itu dianggap sah atau tidak, itu tergantung dari maksud orang itu sendiri, yaitu apa maksudnya.

e. ﻣﺎ ﻻ ﻳﺸﺘﺮﻁ ﺍﻟﺘﻌﺮﻳﺾ ﻟﻪ ﺟﻤﻠﺔ ﻭﺗﻔﻀﻴﻼ ﺇﺫﺍ ﻋﻴﻨﻪ ﻭﺍﺧﻄﺎﺀ ﻟﻢ ﻳﻀﺮ

“Sesungguhnya (perbuatan) yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara keseluruhan, maupun secara terperinci tidak disyaratkan untuk mengemukakan niat, maka bila dinyatakannya dan ternyata keliru, maka kekeliruannya itu tidak membahayakan (tidak membatalkan)”.

Apabila seseorang imam yang sholat dengan niatnya sebagai imam dari Muhammad, padahal ma’mum di belakangnya adalah Mahmud. Maka sholatnya tidak batal sebab imam itu tidak harus menyatakan niatnya tentang siapa orang yang berma’mum di belakangnya.

f. ﺍﻟﻨﻴﺔ ﻓﻰ ﺍﻟﻴﻤﻴﻦ ﺗﺨﺼﺺ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﺍﻟﻌﺎﻡ ﻭﻻﺗﻌﻤﻢ ﺍﻟﺨﺎﺹ

“Niat dalam sumpah mengkhususkan lafadz yang umum, dan tidak pula menjadikan umumnya lafadz yang khusus”.

Apabila seseorang bersumpah bahwa ia tidak akan berbicara dengan seseorang, tetapi yang dimaksud orang tertentu yaitu Hambali, maka sumpah ini hanya berlaku pada Hambali saja, dan yang lain tidak.

g. ﺍﻟﻤﻨﻘﻄﻊ ﻋﻦ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻟﻌﺬﺭ ﻣﻦ ﺃﻋﺬﺍﺭﻫﺎ ﺇﺫﺍ ﻧﻮﻯ ﺧﻀﻮﺭﻫﺎ ﻟﻮ ﻻ ﺍﻟﻌﺬﺭ ﺣﺼﻞ ﻟﻪ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ

“Seseorang yang tidak dapat melaksanakan ibadah karena sesuatu halangan, padahal ia berniat untuk melakukannya jika tiada halangan, maka ia mendapatkan pahala”.

Tempat Niat

Niat itu tidak pada ucapan, melainkan dalam hati. Meskipun demikian karena gerakan hati itu sulit, maka para alim menganjurkan agar dikukuhkan pula dengan ucapan lisan, sekedar untuk menolong gerakan hati. Dan sekaligus, apabila niat hanya diucapkan di mulut saja, sedang hati tidak bergerak, maka niat itu tidak sah.

Waktu Niat

Ada beberapa ketentuan tentang waktu niat ini :

a. Niat itu harus bersamaan dengan permulaan ibadah, seperti :

– Wudlu, niatnya dilakukan pada waktu membasuh sebagian muka.

– Sholat, niatnya harus bersamaan dengan takbiratul ihrom.

b. Jika permulaan ibadah itu berupa dzikir, maka niat itu harus bersamaan dengan lengkapnya dzikir itu.

– Sholat, permulaan sholat adalah takbir (Allahu Akbar), niatnya harus bersamaan dengan lengkapanya bacaaan “Allahu Akbar”.

c. Jika ibadah itu berupa perbuatan ( ﺍﻷﻓﻌﺎﻝ ) maka niatnya cukup bersamaan dengan permulaan ibadah itu.

– Wudlu, niatnya cukup dilakukan saat membasuh tangan dan seterusnya, dan disunahkan untuk selalu ingat bahwa ia sedang mengerjakan wudlu.

Syarat shah niat

Syarat shahnya niat, yaitu :

a. Harus Islam.

b. Harus tamyiz.

c. Harus meyakini apa yang diniati.

d. Harus tidak ada munafi, yakni hal-hal yang membatalkan niat (murtad).

e. Diperkirakan harus dapat melaksanakan apa yang diniati.

7. Maksud niat

Maksud utama disyariatkan niat menyertai setiap ibadah, adalah :

a. Untuk membedakan antara ibadah dan pekerjaan atau perbuatan biasa, misalnya : antara mandi biasa yang kita lakukan setiap hari, dengan mandi junub. Yang membedakannya adalah niatnya.

b. Untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain. Niat yang membedakan antara mandi untuk menghadiri jum’atan dengan mandi karena akan ihram.

Dalam pada itu, niat pada setiap ibadah mempunyai maksud-maksud tertentu sesuai dengan ibadah yang diniatinya, misalnya :

1. Wudlu; maksud niat adalah untuk menghilangkan hadats, yakni sesuatu yang menjadi sebab haramnya melakukan shalat dan sebagainya.

2. Sholat; niat dimaksudkan untuk memasuki amalan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.

3. Haji; niat berarti memasuki suasana, dimana hal-hal yang sebelumnya dihalalkan, setelah niat menjadi haram.

4. Puasa; niat dimaksudkan untuk imsak di waktu siang hari.

5. Zakat; niat untuk mengeluarkan sebagian dari pada harta kekayaan.

Uraian kaidah

Kaidah pokok ini sangat luas, karena itu dari padanya dibentuk patokan-patokan yang lebih terperinci. Di bawah ini diberikan beberapa patokan tersebut beserta contohnya.

a. Di dalam sumpah, niat itu dapat mengkhususkan kalimat yang umum, tetapi sebaliknya tidak dapat membuat umum kalimat yang khusus.

Misalnya : “Demi Allah saya tidak akan berbicara dengan Ahmad”. Sehingga jika berbicara dengan selain Ahmad, tidak dianggap melanggar sumpah.

b. Maksud lafadh itu tergantung atas niat orang yang melafadhkannya.

Umpamanya :

“Seseorang dalam keadaan junub mengucap” :

ﺇنا ﻟﻠﻪ ﻭﺇنا ﺇﻟﻴﻪ ﺭﺍﺟﻌﻮﻥ

Kalau dalam mengucapkannya dengan berniat berdzikir karena datangnya musibah, hukumnya tidak haram. Tetapi bila mengucapkan dengan niat membaca Al-Qur’an, hukumnya haram.

c. Amalan fardu itu, kadang-kadang dapat berhasil dengan niat sunnah.

Misalnya : “Seseorang sedang melakukan tasyahud awal, lalu pada akhirnya ia ingat bahwa yang dilakukan adalah tasyahud akhir maka tasyahudnya tetap shah”.

d. Suatu amal yang tidak disyaratkan ta’yin, tetapi ta’yin itu dicantumkan dan kemudian terjadi kekeliruan, maka amal itu menjadi batal.

Misalnya : “Seseorang hendak makmum sholat dengan niat mengkhusus sholat kepada Ahmad, akan tetapi yang menjadi imam bukan Ahmad maka amal itu menjadi batal.

e. Pada dasarnya mewakilkan niat kepada orang lain itu tidak boleh, kecuali niat yang harus dibarengkan dengan perbuatan sedang perbuatan itu dapat diwakilkan, seperti : membagikan zakat, memotong korban dan sebagainya.

f. Niat itu harus ikhlas (murni), tidak boleh dicampuri dengan maksud lain :

Umpamanya :

“Seseorang niat sholat, lalu terlintas dalam benaknya maksudnya untuk berolahraga, maka niatnya tidak sah”.