TAHLILAN DALAM TATANAN SOSIAL SYARI’AT ISLAM

 NUI                  Kata tahlil sebenarnya tercetak dari ungkapan ungakapan ringkas “laa ilaha illa Alloh” yang dijadikan percakapan oleh orang-orang Arab.
Jika kita melihat historis yang telah ada, sebenarnya Tahliil sudah ada pada saat zaman Nabi Muhammad SAW, terbukti dengan adanya ungkapan tersebut, hanya saja tidak tersusun rapi sebagaimana saat ini, yang telah diklaim oieh kebanyakan manusia buta sebagai bid’ah dIolalah, terutama oleh golongan non NU. Tahliil yang biasa kita lakukan dengan tujuan untuk mendo’akan orang yang sudah meninggal dunia, sebenarnya bermula dari perjuangan sunan-sunan wali songo, yang mana, pada saat itu adat istiadat orang jawa, saat ditinggal mati oleh sanak kelurganya dilakukan ritual selama tujuh hari berturut-turut dan hari keempat puluh setelah kematian, mereka (orang jawa) mempercayai bahwa ritual ini dapat menebus dosa-dosa mayyit atau paling tidak bisa menambah kebaikan-kebaikanya, namun jika di lihat dari kaca mata agama Islam, sebenarnya dalam ritual tersebut malah menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang luar biasa, karena diisi dengan judi-judian dan minum-minuman keras, yang mana hal ini jelas dilarang oleh agama, diluar kesadaran mereka.

Dari latar belakang semacam inilah, maka sunan-sunan wali songo tergugah untuk merubah adat istiadat mereka dengan ritual yang Islami, hanya saja oleh beliau-beliau disadari bahwa adat semacam ini tidak mungkin dirubah secara total, karena kalau sampai dirubah secara total maka sudah bisa dipastikan bahwa orang jawa tidak mau mengikuti ajaran sunan-sunan wali songo, bahkan mungkin mereka akan melakukan tindak anarkis yang membahayakan akan kelangsungan dakwah para wali di jawa ini, sebab selain mereka sudah sangat percaya dengan adat semacam ini1, mayoritas orang jawa saat itu adalah abangan (manusia keras kepala dan anti agama). Maka muncullah satu pemikiran dari sunan wali songo untuk memanfaatkan tujuh hari atau yang lainya, dari apa saja yang telah mereka adatkan, dengan diisi tahliil bersama, sebagaimana yang kita rasakan saat ini kemanfaatanya, jadi jangan sekali-kali mempunyai persangkaan bahwa tahliil hanyalah akal-akalan orang NU atau golongan manapun yang tidak mempunyai latar belakang sama sekali, tanpa ada tendensi yang jelas.

2.     Tesis-tesis Yang Dibuat Untuk -Mengharamkan Tahlil.

Keharaman tahliil sebenarnya bermula dari sebuah ayat al-Qur an yang berbunyi:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى (النجم : 39)
Artinya: ”Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah di usahakanya”

Dari ayat seakan-akan ini memberikan sebuah pemahaman: “Bahwa manusia hanya bisa mendapatkan pahala  amal baik yang telah ia lakukan, dari pribadinya masing-masing, dan amal baik seseorang tidak akan bisa memberikan kemanfatan pada orang orang lain”. Tahliil yang dipercayai bisa memberikan kemanfaatan bagi mayit atau bahkan ada istilah fida’ (tebusan), hal ini jelas bertentangan dengan konsep ayat diatas yang memberikan sebuah ketegasan dilarangnya hal itu. Selain faktor ini menurut orang yang tidak mempercayai tahliil, kenyataan yang sudah mewabah di masyarakat saat ini, telah dianggap satu perkara yang dilarang oleh Nabi SAW, dengan dikatagorikan sebagai bid’ah dlolalah. Sesuai dengan hadist Nabi SAW:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya: ”Setiap bid’ah itu sesat”

Hadist ini telah disepakati oleh sekian banyak para ulama’ sebagai dasar atas diharamkanya bid’ah dlolalah, sehingga tahliil yang sama sekali tidak pernah kita dengar dari Nabi SAW, diangap satu bid’ah atau model baru yang sesat dan menyesatkan, masya Alloh, na’udzubillahi min dzalik.
Perlu kami tegaskan, zaman akhir ini sudah banyak sekali golongan-golongan yang memahami al quran dan al hadits, tidak sesuai dengan arti sebenarnya dari teks mulia tersebut, kami tahu tujuan mereka hanyalah ingin mencari kebebasan duniawi dan popularitas saja, maka termasuk yang ingin kami perbincangkan dalam buku sederhana ini, adalah kebenaran haqiqi tentang tahliil, simak dan fahamilah ungkapan-ungkapan di bawah ini, yang telah di fatwakan oleh ulama-ulama kita terdahulu.

3.     Kelemahan Tesis-Tesis Yang Meng- haramkan Tahlil

Satu-satunya dalil Al Qur-an yang dibuat tendensi untuk mengharamkan tahlil adalah ayat:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى (النجم : 39)
Artinya: ”Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah di usahakanya”

Kalau kita pandanag sekilas dari pemahaman ayat tersebut, maka akan memberikan sebuah kesan bahwasanya manusia yang sudah meninggal (di akhirat) hanya akan mendapatkan balasan amal, sesuai dengan apa yang telah ia lakukan (tidak ditambah maupun di kurangi) ketika ia masih hidup (di dunia), atau juga bisa memberikan kesan perbuatan baik seseorang tidak akan pernah bisa memberikan kemanfaatan pada orang lain.
Hanya saja pemahaman yang sangat sederhana ini memiliki banyak sekali kelemahan, apabila ditinjau dari berbagai aspek:
Pertama; Anak kecil (belum baligh) di hari kiamat nanti timbangan amal baiknya akan disertakan pada ayahnya, sesuai dengan kalamulloh yang berupa:
وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيْمَانٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرَّيَّتَهُم ْ وَمَا أَلَتْنَاَهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ (الطور : 21)
Artinya: ”Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terpikat dengan apa yang di kerjakanya”.

Dari pemahaman ayat ini berarti kebaikan anak yang masih kecil bisa memberikan kemanfatan terhadap ayahnya, apa kenyatan ini tidak dinamakan “kebaikan seseorang bisa bermanfaat pada orang lain?” jawab sendiri yee! Weees maklum buangeeet.
Selain itu, kalau kita teringat dengan sebuah cerita yang tertera dalam al Quran ”pada saat Alloh mensyafa’ati (menolong) seorang anak, maka ayahnyapun juga ikut didalamnya, ataupun sebaliknya”, hal ini telah difirmankan Alloh yang berupa:
آبَاءُكُمْ وَأَبْنَاءُكُمْ لاَ تَدْرُوْنَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا (النساء :11)
Artinya: ”Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.”

Kalau kita mau jujur, dari dua ayat ini saja sebenarnya sudah dapat disimpulkan “Bahwa amal baik seseorang dapat bermanfaat pada orang lain”, karena dari kedua ayat tersbut memberikan asumsi bahwa amal baik seseorang dapat bermanfa’at pada orang lain.2
Menanggapi firman Alloh SWT “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah di usahakanya”. Sahabat Ibnu Abbas memberikan komentarnya : Dua ayat al quran yang telah kami paparkan tadi, ternyata turunnya lebih akhir di bandingkan ayat alquran yang menyatakan di larangnya tahlil, sehingga menurut riwayat Sahabat Ibnu Abbas, ayat yang mengharamkan tahlil tersbut dianggap rusak (di mansukh)3, sesuai ketentuan yang ada dalam usul fiqh, yang telah di sepakati sekian banyak ulama.
Kedua; Menurut Imam ‘Ikrimah, sebenarnya ayat di atas (yang melarang tahlil) hanya diperuntukkan bagi ummat Nabi Ibrohim AS dan Nabi Musa AS saja, sedangkan untuk ummat Nabi Muhammad SAW, ayat tersebut sama sekali tidak berlaku, karena terdapat banyak sekali hadits nabi yang tidak sesuai dengannya, termasuknya adalah hadits yang diriwayatkan Bukhori Muslim dari ‘Aisyah:
إِنَّ أُمِّيْ أُفْتُلِتَتْ نَفْسَهَا أَيْ مَاتَتْ فُجْأَةً فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
Artinya: ”Sesungguhnya ibu saya meninggal dunia secara tiba-tiba, apakah dia akan mendapat pahala jika saya bersedakah untuknya. Nabi menjawab: yaa”

Selain hadist ini, yang kita sadari hanya dalam permasalahan shodaqoh saja, ternyata Imam Ikrimah menambah satu hadits lain yang lebih mengena dalam permasalahan tahlil yaitu:
إِنَّ امْرَأَةً رَفَعَتْ صَبِيًا لَهَا مِنْ مَحِفَّةٍ وَقَالَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلِهَذَا حَجُّ قَالَ نَعَمْ وَلَكَ أَجْرٌ
Artinya: ”Ada seorang wanita yang menggendong anaknya dalam tandu. Dia berkata, apakah untuk anak ini ada haji. Nabi menjawab: yaa, dan engkau dapat pahala”.

Menurut Syekh Ikrimah dari dua hadist yang kesemuanya adalah shohih dan saling menguatkan, maka sudah tidak di ragukan lagi akan kesunahan tahlil atupun shodaqoh yang dilakukan oleh keluarga mayit, dan pahalanya di peruntukan untuk mayit tadi.
Ketiga; Menurut Imam Qurtubi, ayat diatas hanya diarahkan pada perkara sayyiah (jelek) yang dilakukan oleh seorang hamba, bukan pada perkara baik. Dengan sebuah dalil hadist Rosululloh SAW:
قَالَ اللهُ إِذَا هَمَّ عَبْدِيْ بِحَسَنَةٍ وَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبْتُهَا عَشْرًا إِلَى سَبْعَمِائَةِ ضَعْفٍ وَإِذَا هَمَّ بِسَيِّئَةٍ وَلَمْ يَعْمَلْهَا لَمْ أَكْتُبْهَا عَلَيْهِ فَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبْتُهَا سَيِّئَةً وَاحِدَةُ
Artinya: ”Alloh berfirman: Ketika hambaku berkeinginan melakukan sebuah kebaikan, kemudian dia tidak mengerjakanya, maka aku menulisnya sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Dan jika dia berkeinginan melakukan satu kejelekan tapi dia tidak melakukannya, maka aku tidak akan menulisnya, dan jika dia mengerjakanya maka aku menulisnya satu kali.”

Dengan adanya hadist yang memberi- kan sebuah asumsi bahwa amal jelek yang dilakukan satu kali di balas satu kali. Ini berarti tepat kalau ayat tersebut diperuntuk kan pada satu pekerjaan yang jelek (bukan yang baik), karena satu perkara baik yang dilakukan oleh seorang hamba tidak mesti dibalas dengan satu kebaikan, bahkan bisa lebih.
Ijtihad Al-Qurtubi dalam ayat ini sebenarnya tidak berhubungan dengan permasalahan tahliil, tapi kalau kita cermat dengan ungkapan Al qurtubi, beliau sama sekali tidak menolak dengan adanya tahliil bahkan kemungkinan besar beliau menerimanya, sebab satu-satunya ayat yang bisa dibuat untuk melarang tahliil oleh beliau tidak diarahkan kesana.
Masih berpijak dari fatwa imam Qurtubi di atas, tahliil yang di dalamnya mengandung perbuatan baik sebagaimana membaca laa ilaha illa Allah, tasbih, sholawat dll, sangatlah jelas akan ke absahan dan kebenaranya.
Ritual tahlil di haramkan mungkin sedikit bisa di terima, jika ada satu golongan yang berani mengatakn bahwa membaca laa ilaha ila Alloh, tasbih, sholawat dll, adalah haram, dan kami ingin tahu siapa golongan sesat itu, kok wani-wani ne mengharamkan moco sholawat dll, iyaa gaak !!!?
Keempat; Ada beberapa ulama yang menyatakan bahwa ayat وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى  hanya di nisbatkan pada sifat adilnya Alloh SWT, bukan pada sifat fadlolnya (utama) Alloh SWT, hal ini bermula dari kemusykilan (kejanggalan) para ulama ketika ayat tersebut di benturkan dengan ayat lain yang berupa:
أَضْعَافُا مُضَاعَفَةٌ
yang memberikan pengertian: “Bahwa amal baik seseorang bisa berlipat ganda, walaupun hanya di lakukan satu kali saja”.
Sehingga dengan berbagai pertimbangan oleh para ulama diambil satu kesimpulan, jikalau ayat ini diarahkan pada sifat fadlolnya Alloh, hal itu jelas tidak mungkin, karena seseorang yang beramal baik satu kali saja, bisa dibalas seribu kali, seperti hadist yang telah diucapkan pada Abi Hurairoh:
إِنَّ اللهَ لَيُجْزِئُ عَلَى الْحَسَنَةِ الْوَاحِدَةِ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ
Artinya: ”Sesunggunya Alloh membalas satu kali kebaikan dengan sejuta kebaikan”

Juga perlu di tegaskan, Alloh SWT mempunyai hak penuh atas hamba-hambanya, sehingga sangatlah di mungkinkan, dengan sifat fadlol dan belas kasihnya Alloh SWT, amal baik seorang hamba yang di lakukan satu kali, bisa di balas seribu kali kebaikan. Ayoo…! siapa yang berani menyalahkan hujjah ini, masak sihh hamba yang lemah berani mengatur tuhan…?
Kelima; Menurut Abi Bakar Al Warroq, ayat di atas tidak sesuai kalau di buat alasan untuk melarang tahliil, karena ungkapan Al-Quran إِلاَّ مَا سَعَى tidak berhubungan sama sekali dengan amal baik atau buruk sesorang, apalagi berhubungan dengan dilarangnya tahliil, karena menurut Abi Bakar Al Warroq arti إِلاَّ مَا سَعَى adalah : إِلاَّ مَا نَوَى yang memberikan arti : Kecuali dengan apa yang ia niati.
Dengan didukung ungkapan Nabi SAW yang berupa:
يُبْعَثُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى نِيَّاتِهِمْ
Artinya: ”Manusia dibangkitkan pada hari qiyamat sesuai dengan niyatnya”.

pendapat yang kelima ini labih mengedapankan niat untuk mengarahkan ayat di atas, dari pada di arahkan ke-fi’lu (pekerjaan) yang jelas-jelas bertentangan dengan banyak sekali teks al-Quran maupun al hadits, jika kita memakai pendapat ini, mungkin ayat di atas akan berarti: ”Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah ia niati”
Kalau sudah di artikan semacam ini, sangatlah mustahil ayat tersebut di gunakan untuk mengharamkan tahliil, yeachh!
Keenam; menurut sekh Taqiyuddin Abu Al-Abbas, sangat tidak menyetujui pemahaman ayat di atas yang dianggap sangat ekstrim, yaitu ketika diarahkan amal baik seseorang tidak bisa memberikan kemanfaatan terhadap orang lain. Bahkan beliau pernah mengatakan ”Barang siapa meyaqinkan bahwa amal baik seseorang tidak bisa memberikan kemanfaatan terhadap orang lain” maka orang tersebut menentang ijma para ulama dan dianggap batil (salah), bila ditinjau dari sekian banyak keterangan yang telah ada. Akan kami cuplikkan sepuluh alasan yang di sampaikan sekh Taqiyuddin Abu Al Abbas dalam berbagai teks-teks kitab fiqh:

Pertama: Bahwa do’a seorang manusia bisa bermanfaat terhadap orang lain, sebagai- mana hadist Nabi yang diriwayatkan Daruqutni dari Anas bin Malik:
مَنْ مَرَّ عَلَى الْمَقَابِرِ قَرَأَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ عَشْرَ مَرَّاتٍ ثُمَّ وَهَبَ أَجْرَهَا لِلْأَمْوَاتِ أَعْطَى مِنَ اْلأَجْرِ بِعَدَدِ اْلأَمْوَاتِ
Artinya: ”Barang siapa melewati pekuburan kemudian membaca ”qul-huwa-llahu ahad” sepuluh kali dan memberikan pahalanya pada orang mati, maka dia diberikan pahala dengan jumlah bilangan orang mati dan berlipat-lipat”

Ke-dua: Ketika semua manusia pada hari kiamat nanti dikumpulkan dalam satu tempat (ahli mauqif) untuk dihisab, maka saat itu Rosulloh SWT akan memberikan pertolongan (syafa’at) terhadap ummatnya (ahli surga) untuk masuk di dalamnya, dan hamba yang mempunyai dosa besar untuk dikeluarkan dari neraka, sebagaimana sabda Nabi SAW:
شَفَاعَتِيْ لِأَهْلِ الذُّنُوْبِ مِنْ أُمَّتِيْ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ عَلَى رَغْمِ أَنْفِ أَبِيْ دَرْدَاءَ
Artinya: ”Syafa’atku untuk para pendosa dari ummatku, sekalipun berzina dan mencuri, untuk menjawab Abi Dardak”

Ke-tiga: Bahwasanya setiap nabi dan hamba yang sholih berhak untuk memberikan pertolongan (syafa’at) pada siapa saja yang dikehendakinya.
Ke-empat: Malaikat selalu mendoakan dan memintakan ampun pada Alloh SWT yang diperuntukan pada hamba sholih yang ada dibumi, dan dikabulkan olehnya.
Ke-lima: Sesungguhnya Alloh SWT mengeluarkan manusia yang tidak pernah melakukan kebaikan sama sekali dari neraka dengan belas kasihnya.
Ke-enam: Anak-anak manusia yang beriman, pada hari kiamat nanti akan dimasukkan surga dengan sebab amalnya baiknya seorang ayah (sebagaimana ayat al Qur’an yang telah lewat).
Ke-tujuh: Diperbolehkan shodaqoh yang pahalanya diperuntukkan pada mayit, hal ini telah di nash al hadits maupun al ijma’.
Ke-delapan: Mayit yang mempunyai kewajiban haji bisa gugur tanggungannya sebab dilakukan oleh walinya, hal inipun juga telah di nash oleh al hadist.
Ke-sembilan: Tanggungan mayit yang berupa hutang bisa ditanggung oleh orang lain, pernyataan semacam ini telah di akui oleh Imam Syafi’I (shohibul umm), yang dinuqil dari sebagian ash-habnya, dengan ungkapan beliau:
إِذَا أَنَا مِتٌّ فَلْيُغْسِلَنِيْ فُلاَنٌ أَيْ مِنَ الدِّيْنِ
Artinya: ”Ketika saya mati, hendaklah ada seseorang yang membayari hutang ku”
Ke-sepuluh: Tetangga yang sholih (baik) bisa memberikan kemanfaatan terhadap tetangga yang lain, baik dalam keadaan hidup maupun mati, sebagaimana dalam sebuah hadits Nabi:
وَأَنَّ جَلِيْسَ أَهْلِ الذِّكْرِ يَرْحَمُ بِهِمْ وَهُوَ لَمْ يَكُنْ مِنْهُمْ وَلَمْ يَجْلِسْ مَعَهُمْ
Artinya: ”Sesunguhnya orang yang seIalu bersamaan ahli dzikri, maka Alloh SWT mengasihaninya, padahal mereka bukan golongannya (ahli dzikri) dan tidak duduk bersamaan mereka.”

Selain hadits ini kalau kita melihat literatur fiqh dalam bab haramnya naqlul mayit (memindah mayyit) yang begitu tegas hukumnya, ternyata ada sebuah pengecualian didalamnya, yaitu diperbolehkan memindah mayit, ketika menghendaki untuk di-tempatkan di samping mayit lain yang sholih.
Semua pernyataan yang telah di sampaikan sekh Taqiyuddin Abu Al Abbas sangat menentang bila tahlil diharamkan.

Pendapat Ketujuh; Ayat
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى hanya diperuntukkan pada orang non muslim (kafir) saja, pendapat ini diungkapkan oleh syekh A’raby bin Anas. Pendapat yang ketujuh ini jika dipandang sekilas agaknya memang keterlaluan, hanya saja jika dicermati lebih dalam, ternyata juga melalui berbagai pertimbangan yang meyaqinkan, diantaranya dengan adanya sabda Nabi yang dikutip jelas, yaitu:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَصِلُ إِلَيْهِ ثَوَابُ الْعَمَلِ الصَّالِحِ مِنْ غَيْرِهِِ
Artinya: ”Sesungguhnya orang mukmin akan mendapatkan pahala perbuatan orang lain”.

Dari hadits ini ternyata begitu tegas menyatakan, bahwa amal baik orang mukmin (bukan kafir), sebagaimana tahlil bisa memberi kemanfaatan terhadap orang lain. Ada beberapa ulama kita (Nahdlotul Ulama) menyatakan ”Manusia yang telah meninggal dunia, siksa atas dosa-dosanya akan di akhirkan selama masih ada keluarga atau siapa saja yang mengingatnya”, sehingga beliau pernah memberikan pernyataan, bahwa adat dijawa yang mengadakan selamatan (bahasa jawa) tujuh hari berturut-turut, empat puluh hari, seratus hari dan seribu hari setelah kematian, semuanya adalah bukti bahwa orang yang ditinggal selalu ingat dan merasa kehilangan atas kematian simayit, sehingga sampai seribu hari tidak akan ada siksaan sama sekali, namun setelah seribu hari bagaimana siksaan mayit yang tertunda? Pertanyaan ini kita serahkan pada Alloh Swt, tapi yang jelas pada saat ritual diatas kita selalu memintakan ampun atas dosa-dosa mayit, sedangkan Alloh akan selalu mengabulkan permintaan seorang hamba dengan firmanya:
وَقَالَ رَبُّكُمْ أُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ (غافر :60)
Artinya: Dan tuhan kamu telah berfirman berdoalah kamu sekalian padaku, maka aku akan mengabulkan (doa) kamu sekalian”.

Walhasil; dari sekian banyak pendapat yang telah ada, tahlil yang ada di negara kita, khususnya di Jawa yang berasal dari wali songo R.A., ternyata sudah dijadikan perdebatan di tahun-tahun yang awal, dan memberikan sebuah kesimpulan, bahwa ritual ini dianggap satu hal yang baik atau sunnah, sebab sudah bisa dipastikan didalamnya ada tujuan taqorruban ila Alloh (mendekatkan diri kepada Alloh), hal-ini jelas kita akui dan kita rasakan bersama, jika tidak mau mengakui kemanfaatan ini jelas mereka sangat munafiq, iyo oraa?. Dengan adanya pendapat yang telah diungkapkan oleh sekian banyak para Ulama yang telah kita akui keilmuannya, maka hal ini setidaknya bisa menepis isu saat ini bahwa tahlil sudah dianggap tidak relevan lagi.

4.     Hukum Bid’ahnya Tahlil

Bid’ah adalah sebuah istilah mengenai nama satu perkara yang tidak dilakukan dizaman Nabi.
Saat ini sudah banyak sekali golongan-golongan yang tidak bertanggung jawab mengklaim bahwa segala bid’ah adalah haram, termasuk diantaranya adalah tahliil. Hal ini memang belum bisa disalahkan seratus persen, karena didukung dengan sebuah hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abi Najih Al ’Irbadi bin Sariah:
فَإِنَّ كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya: ”sesungguhnya setiap bid’ah adalah tersesat”

Namun kajian ini yang kita anggap sangat ekstrim ini juga tidak benar seluruhnya, apakah sudah benar semua bid’ah itu adalah haram? sebagaimana tahliil. Padahal Nabi SAW sendiri tidak pernah secara tegas melarang suatu perkara yang baik. Dalam hasanah pemahaman fiqh klasik ternyata bid’ah tidak serta merta dihukumi haram oleh para fuqoha, namun bid’ah diklasifikasi menjadi beberapa macam:

Pertama; Bid’ah Hasanah, adalah sebuah bid’ah yang tidak melanggar tatanan agama Islam, dan inipun masih dibagi menjadi tiga macam hukum:
Pertama Bid’ah mubah, adalah bid’ah yang didalamnya tidak mengandung tuntutan dan larangan, sebagaimana mushofahah (berjabat tangan) setelah sholat fardlu. Karena pekerjaan ini tidak terkandung dalam tesis manapun, bahwa hal ini di larang.
Kedua Bid’ah sunah, adalah bid’ah yang didalamnya ada satu tuntutan namun tidak sampai derajat wajib sebagai mana tahliil, sebab di dalamnya ada semacam mendekatkan diri pada Alloh SWT.
Ketiga Bid’ah wajib, adalah bid’ah yang ada sebuah tuntutan dan bila ditinggalkan maka diharamkan secara ijma (kesepa- katan Ulama), seperti membukukan al-Quran. Karena jika al-Quran tidak di bukukan, maka bacaan al-Quran tidak akan bisa di pelajari dengan benar sebab tidak ada panduan yang jelas, bahkan sangat dimungkinkan sebagian besar dari al quran akan lenyap dari muka bimi ini, dan hal ini adalah satu perkara yang paling ditakutkan oleh orang-orang Islam.
Kedua; Bid’ah Sayyiah, adalah bid’ah yang melanggar tatanan ajaran agama Islam, dan ini pun juga dibagi menjadi dua macam hukum:
Pertama Bid’ah makruh, adalah bid’ah yang melanggar tatanan agama Islam, namun larangan ini tidak di ungkapkan dengan tegas, dan tidak tercakup pada tesis lain yang menghukumi haram, contohnya qiyamullail (ibadah pada malam hari) yang dikhususkan pada malam jumat saja, perlu diketahui yang dihukumi bid’ah adalah pengkususan ibadah pada malam jumat, bukan ibadahnya.
Kedua Bid’ah haram, adalah bid’ah yang didalamnya terdapat sebuah alasan (illat) yang mendorong untuk diharamkan, sebagaimana bea cukai.

Dengan uraian ulama’ semacam ini, harusnya bisa menghilangkan satu anggapan bahwa tahliil adalah haram, sebab dikategorikan sebagai bid’ah dlolalah. Sejauh pentahqikan kami mengenai sunatnya mentahlili mayit selain dalam tafsir dan kitab-kitab di atas, terdapat pula dalam kitab lain diantaranya:

Khasyiah ’Amiroh juz: 4 hal: 256
Huqyah Al Musytarsyidin hal: 97
I’anatut Talibin juz: i hal: 24
Mailul Autor juz: 1 hal:104
Al Iqna’juz: 3 hal: 282
Al figh Al islami juz: 3 hal: 636
Khawasyi Asy Syarwani juz: 9 hal: 368
Busyro Al Karim juz: 2 hal: 540
Qowa’idul Ahkam juz: 2 hal: 314