KDRT ATAU KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (2)
Setiap orang di dunia ini, tidak menginginkan menjadi korban kekerasan dalam bentuk apapun dan karena alasan apapun. Tetapi realitas sosial yang penuh dengan ragam kepentingan terkadang, dengan kesadaran atau tanpa kesadaran, memaksa orang untuk berbuat timpang dan menindas orang lain. Kekerasan-kekerasan pun terjadi dan masih terus akan terjadi selama konflik kepentingan itu masih ada dalam kehidupan ini. Semangat untuk mencari dan mewujudkan keadilan, menjadi penting untuk terus digulirkan dalam rangka menghapuskan ekses ketimpangan kehidupan, menghentikan kekerasan dan memberikan perlindungan kepada korban.
Kasus-kasus kekerasan dan penindasan yang menimpa kemanusiaan telah memotivasi banyak kalangan untuk mendakwahkan cara hidup dan pranata kehidupan yang lebih adil dan penuh kedamaian. Perbudakan manusia, penjajahan bangsa, perampasan sumber daya, kekerasan terhadap buruh dan minoritas, serta segala jenis kekerasan berbasis gender menjadi isu global yang diserukan untuk dihentikan. Sebagian sudah berhasil, seperti perbudakan manusia dan penjajahan dunia—walaupun saat ini wacana tentang perbudakan moderen (modern slavery) masih dirasakan oleh sebagian kalangan manusia seperti fenomena perdagangan manusia terutama pada perempuan dan anak- anak. Sebagian yang lain masih harus terus diperjuangkan untuk mendapatkan perhatian yang lebih layak.
Salah satu fenomena kekerasan terhadap manusia yang masih sering terjadi dan memerlukan perhatian dan penanganan serius adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Relasi suami-isteri yang timpang masih terus menimbulkan banyak korban dari kalangan perempuan dan anak-anak.
Minimnya kesadaran keadilan, cara pandang terhadap perempuan dan kesalahan dalam memahami pesan-pesan dan ajaran agama terkait hubungan suami isteri telah menyebabkan banyak orang, bahkan dari kalangan umat beragama dengan mudah melakukan kekerasan terhadap perempuan. Kehidupan rumah tangga yang diasumsikan dibangun untuk menumbuhkan keamanan dan kedamaian, justru berbalik menjadi tempat yang berpotensi terhadap tindak kekerasan.
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KDRT
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya KDRT yaitu antara lain:
Pertama dan yang utama adalah adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan; baik di rumah tangga, maupun dalam kehidupan publik. Ketimpangan ini, yang memaksa perempuan dan laki-laki untuk mengambil peran-peran gender tertentu, yang pada akhirnya berujung pada perilaku kekerasan. Di keluarga misalnya, kebanyakan masyarakat percaya bahwa suami adalah pemimpin bahkan penguasa keluarga. Suami juga merasa dituntut untuk mendidik istri dan mengembalikannya pada jalur yang benar, yang pada akhirnya menggunakan tindak kekerasan.
Kedua, ketergantungan istri terhadap suami secara penuh. Terutama untuk masalah ekonomi, yang membuat istri benar-benar berada di bawah kekuasaan suami.
Ketiga, keyakinan-keyakinan yang berkembang di masyarakat termasuk yang yang bersumber dari tafsir agama, bahwa perempuan boleh dipukul kalau membangkang suami, perempuan harus tunduk suami, tidak boleh keluar rumah tanpa izin suami, perempuan harus mengalah, bersabar atas segala persoalan keluarga, tentang konsep istri shalihah dll. Keyakinan tersebut telah berkembang di masyarakat secara salah kaprah dan banyak dijadikan dalih bagi kaum laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap pasangannya.
ISLAM MENENTANG KDRT
Islam sangat menentang kekerasan dalam bentuk apapun termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Prinsip yang diajarkan Islam dalam membangun rumah tangga adalah mawaddah, rahmah dan adalah (kasih, sayang dan adil). Dalam al-Qur’an disebutkan ” Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (Ar-rum: 21). Daslam ayat lain disebutkan “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri [mu], walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung [kepada yang kamu cintai], sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri [dari kecurangan], maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (An-Nisa: 129).
Allah s.w.t. juga berfirman: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo`alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Q.S. al-A’râf, 7:56).
“Wahai hamba-hamba-Ku, Aku haramkan kezaliaman terhadap diri-Ku, dan Aku jadikan kezaliman itu juga haram di antara kamu, maka janganlah kamu saling menzalimi satu sama lain”. (Hadis Qudsi, Riwayat Imam Muslim).
Text-text di atas sangat jelas menggariskan bahwa salah satu tujuan berumah tangga, adalah untuk menciptakan kehidupan yang penuh ketentraman dan bertabur kasih sayang. Keluarga sakînah anggota yang ada di dalamnya. Atau keluarga sakînah, mawaddah wa rahmah hanya bisa terbentuk apabila setiap anggota keluarga berupaya untuk saling menghormati, menyayangi, dan saling mencintai. Itulah fondasi dasar sebuah keluarga dalam Islam. Maka kekerasan dalam rumah tangga sangat dicela Islam dan sangat bertentangan dengan nilai-nailai keislaman.
FIQIH ANTI KDRT
Menjawab masalah KDRT melalui kacamata agama Islam adalah dengan implementasi hukum-hukum Islam (“Fiqih”), khususnya yang terkait dengan aturan dan ketentuan berumah tangga secara proporsional, benar dan kontekstual. Fenomena salah kaprah dalam memahami dan mengimplementasikan hukum-hukum agama yang terjadi di masyarakat perlu diluruskan, diproporsionalkan dan disosialisasikan sehingga KDRT yang dilakukan sebagian orang dengan dalih agama dapat dikurangi. Di samping itu, nilai-nilai mulia keagamaan yang anti kekerasan juga perlu terus didakwahkan. Dengan begitu, masyarakat kita yang cenderung fikih-minded juga mengamalkan fikih anti KDRT ini sebagai bagian dari keberagamaan mereka.
Berikut ini beberapa contoh hukum-hukum Islam yang sering salah dipahami dan digunakan sebagai dalih dalam beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga.
- Hukum memukul isteri
Dalam surah An-Nisa’ ayat:34 dikatakan:”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka [laki-laki] atas sebahagian yang lain [wanita], dan karena mereka [laki-laki] telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara [mereka]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa bagi suami yang menghadapi isteri yang nusyuz (membangkang) diperbolehkan memukulnya, setelah nasehat dan boikot ranjang tidak berhasil. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum ini, ada yang mengatakan boleh asal tidak membekas dan tidak memukul muka. Namun beberapa ulama besar termasuk imam syafii mengatakan bagaimanapun memukul isteri itu hukumnya makruh dan sangat tercela.
Dalam tataran praktik, banyak kalangan masyarakat yang memilih pendapat pertama sehingga banyak sekali kasus-kasus pemukulan isteri yang melampau batas-batas yang telah digariskan. Kasus-kasus ini tidak sedikit yang mengatasnamakan ‘kebolehan’ dari Islam.
Pandangan ini harus dirubah dan diganti dengan pendapat kedua yang mengatakan bahwa pemukulan terhadap istri, apapun bentuknya, adalah pelanggaran terhadap ajaran kasih sayang dan anjuran keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, yang ditegaskan al-Qur’an. Pandangan ini sesuai dengan hadis Nabi SAW. yang diriwayatkan Abdullah bin Zam’ah, bahwa Nabi SAW. bersabda: “Sesungguhnya aku tidak senang (benci) terhadap lelaki yang memukul istrinya ketika dia marah, padahal bisa saja setelah itu menggaulinya pada hari yang sama”. (Ibn ‘Arabi, juz I, hal. 420). Dalam riwayat lain Rasulullah s.a.w. mengatakan “Mereka suami yang suka memukul isteri bukanlah orang-orang yang terbaik”. (Riwayat Abu Dawud). Imam Ali bin Abi Thalib ra juag mengatakan: “Hanya orang-orang mulia yang akan memuliakan perempuan, dan hanya orang-orang hina yang menistakan perempuan”.
- Hukum Kawin Paksa
Ada silang pendapat dalam kalangan ulama fiqih tentang hukum kawin paksa. Sebagian berpendapat boleh karena kekuasaan menikahkan bagi seorang gadis adalah terletak pada walinya atau oarng tuanya. Celakanya pendapat ini dijadikan landasan bagi kasus-kasus kawin paksa.
Pandangan itu harus kita kikis dan kita ganti dengan pendapat yang benar bahwa ajaran Islam sama sekali menentang tindakan kawin paksa dan wajib hukumnya mempertimbangkan pendapat mempelai dalam pernikahan. Pendapat ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari, Malik, Abu Dawud dan an-Nasa’i, bahwa ketika seorang perempuan yang bernama Khansa binti Khidam ra merasa dipaksa dikawinkan oleh orang tuanya, Nabi mengembalikan keputusan itu kepadanya; mau diteruskan atau dibatalkan, bukan kepada orang tuanya. Bahkan dalam riwayat Abu Salamah, Nabi SAW. menyatakan kepada Khansa r.a.: “Kamu yang berhak untuk menikah dengan seseorang yang kamu kehendaki”. Khansa pun pada akhirnya kawin dengan laki-laki pilihannya Abu Lubabah bin Abd al-Mundzir r.a. Dari perkawinan ini ia dikarunia anak bernama Saib bin Abu Lubabah. (Lihat: Jamaluddin Abdullah bin Yusuf az-Zayla’i, Nashb ar-Rayah Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah, 2002: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut, juz III, hal. 232).
- Hukum Hubungan Seksual Suami Isteri
Dalam sebuah hadis, dari Sahabat Abu Hurairah ra, dikatakan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Jika suami mengajak isterinya ke tempat tidur, tetapi sang isteri menolak, sehingga suami marah sampai pagi, maka sang isteri akan dilaknat para malaikat sampai pagi”. (HR. Bukhari).
Banyak yang salah memahami hadis tersebut bahwa wajib bagi isteri untuk melayani suami dalam kondisi apapun. Isteri ibarat pelayan seksual suami sehingga ia wajib melayani suami kapanpun dan ia selalu dituntut untuk memberikan kepuasan terhadap suami, kapan dan di manapun. Sementara dirinya tidak diberi kesempatan untuk memperoleh kepuasan. Apabila isteri menolak maka sering terjadi kekerasanlah yang justru menimpa isteri.
Perilaku dan pandangan umum seperti itu perlu diluruskan dan ditegaskan bahwa itu menyalahi ajaran dasar Islam. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa suami adalah baju bagi isteri, dan sebaliknya isteri adalah baju bagi suami (Hunna libâsun lakum wa antum libâsun lahunn, QS. Al-Baqarah, 2: 187). Ayat ini lahir dalam konteks hubungan intim antara suami dan isteri. Sehingga bisa dikatakan bahwa kebutuhan dan kepuasan seksual menurut al-Qur’an, adalah persoalan yang bersifat timbal balik. Jika ingin dipuaskan pasangannya, tentu pada saat yang sama ia harus bisa memuaskan. Suami juga harus mengerti ketika sang isteri menolak hubungan intim karena persoalan kelelahan, kesehatan atau alasan lainnya.
Teks hadis mengenai laknat di atas tidak seharusnya dipahami secara literal. Para ulama fiqh sendiri, telah menyatakan bahwa pelaknatan ini ditujukan kepada perempuan yang menolak dengan tanpa alasan apapun. Bahkan menurut Hamim Ilyas, bahwa teks hadis di atas lahir pada konteks di mana banyak perempuan yang melakukan “pantang bilah” terhadap suaminya. Yaitu tradisi para perempuan untuk tidak melayani suaminya selama menyusui, setelah melahirkan. Tradisi ini yang mendasari lahirnya pernyataan Nabi SAW. tentang laknat tersebut. Tentu saja tradisi ini sangat memberatkan suami untuk tidak berhubungan intim, apalagi kalau masa menyusui sampai mencapai dua tahun. Karena itu, Nabi SAW. menganjurkan para istri untuk tidak menolak ajakan suami pada masa pantang bilah tersebut. (Lusi Margiyani (ed.), 1999: hal. 173).
PENUTUP
Masih banyak pandangan, persepsi maupun tradisi keagamaan yang salah di masyarakat kita terkait hubungan rumah tangga, sehingga sering menimbulkan ketimpangan atau bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Adalah tanggung jawab semua kalangan untuk meluruskan pandangan-pandangan dan tradisi-tradisi yang salah tersebut. Para ulama dan guru agama selaku pendakwah ajaran agama perlu melakukan perannya dengan baik. Perangkat hukum yang melindungi kaum ibu dan perempuan juga perlu diciptakan agar kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dapat diatasi melalui jalur pengadilan. Masyarakat juga perlu diberi wawasan akan bahaya kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimana mensikapi dan mencari solusinya.
Dan yang terlebih penting lagi adalah peran kaum perempuan sendiri untuk bergerak memperjuangkan hak-hak mereka dan mengupayakan perlindungan bagi mereka dari sasaran kekerasan dan ketertindasan. Kaum perempuan tidak selayaknya hanya menunggu uluran tangan orang lain dan enggan bergerak. Masih banyak kalangan perempuan yang justru terlena dengan pranata-pranata nilai keagamaan yang sebenarnya mengkerdilkannya dan bahkan masih banyak kaum wanita yang sengaja bersembunyi di balik tirani-tirani hukum dan tradisi yang sebenarnya telah mengekangnya dan merenggut kemerdekaannya.