KISAH CINTA SEJATI SAYYIDAH ZAENAB BINTI ROSULILLAH SAW.

nabi-muhammad.jpg

                          Inilah salah satu kisah sangat langka dan jarang sekali diketahui di kalangan umat Islam. Kisah cinta sangat mengharukan Zainab binti Muhammad radhiallahu ‘anha – putri sulung Rasulullah SAW. Berkisah tentang kesetiaan suami istri yang dipisahkan oleh iman dan dipersatukan kembali oleh iman di batas ajalnya. Zainab merupakan putri sulung Nabi yang terlahir dari rahim Siti Khadijah radhiallahu ‘anha.

Zainab merupakan hiasan teramat berharga bagi suaminya, Abul Ash ibn Rabi’. Sosok Zainab menjadi cermin istri yang begitu setia dalam khidmat untuk suaminya. Cinta kasih sayangnya tidak lekang oleh keberpisahan karena perbedaan iman dan ketaatan memenuhi perintah ayahandanya –Rasullah SAW– untuk hijrah ke Madinah, meninggalkan suaminya tercinta.

Bagaimanakah kisah romantika suami istri yang sangat merawankan hati ini terjadi? Ketika Zainab menyampaikan berita risalah tauhid bahwa ayahandanya mendapat wahyu kenabian melalui malaikat Jibril, Abul Ash, suaminya mengingkari kenabian mertuanya Muhammad SAW. Abul Ash tidaklah menyangkal bahwa ayah mertuanya, yang telah mendapat gelar al Amin dari kalangan para pemuka Quraisy – sukunya – merupakan orang yang tidak pantas diingkari, tetapi demi alasan mengikuti ajaran nenek moyangnya lebih ia utamakan untuk menolak risalah kenabian tersebut.

Dalam perang Badar, Abul Ash melibatkan diri sebagai bagian dari 1.000 musyrikin Quraisy Makkah yang memerangi ayah mertuanya sendiri. Tidaklah terbayangkan kegalauan perasaan hati Zainab saat itu menghadapi peperangan diantara mertua dengan menantunya. Ia sangat berharap-harap cemas akan keselamatan ayahnya. Namun di saat yang sama, ia juga teramat gundah dengan nyawa suaminya dalam perang Badar.

Perang yang sangat menentukan nasib ayahnya dan risalah kenabian. Bagaimana tidak? Karena perang ini sangat tidak berimbang, 303 muslim generasi paling awal menghadapi kekuatan 1.000 orang musrik Makkah yang ingin melenyapkannya.

Namun akhirnya datang kabar berita ke dalam rumahnya bahwa 70 orang musyrikin Mekkah telah tertawan di Madinah, dan salah satu adalah Abul Ash. suaminya. Ayyuhai! Siapakah yang akan menebus suaminya sebagai tawanan kaum muslimin? Zainab sang istri yang akhirnya menebus pembebasannya.

Demikianlah kethaatan seorang istri yang beriman terhadap suaminya yang masih kafir, sementara belum ada perintah larangan Nabi untuk memisahkan suami istri yang berbeda iman. Belum turun wahyu dari Allah SWT yang memerintahkan seorang istri harus terpisah dari suaminya karena perbedaan iman.

Dari Makkah, Zainab mengirimkan tebusan untuk membebaskan suaminya sejumlah harta tebusan dan seuntai kalung batu Onyx Zafar pemberian ibundanya tercinta. Ini kalung teramat istimewa bagi Rasulullah karena mengingatkan akan istri tercintanya. Kalung itu juga hadiah pernikahan Zainab dari ibunya, Khadijah.

Ketika Nabi melihat kalung itu, ingatannya melayang ke masa lalunya pada cinta sejatinya, Khadijah. Nabi berseru pada kaum muslimin Madinah, jika mereka setuju Nabi meminta agar Abul Ash dibebaskan dan kalung itu dikembalikan ke Zainab, putri kesayangannya yang masih tertinggal di Mekkah. Begitulah adab Nabi, meski sebagai pemimpin yang berkuasa penuh namun dia masih meminta persetujuan umat menyangkut kemaslahatan keluarganya (terkait kalung tebusan tawanan).

Berita gembira kembalinya Abul Ash kepada istri yang sangat mencintainya, Zainab, ternyata juga membawa kabar yang sangat memiriskan hati pasangan suami istri tersebut. Nabi bersabda bahwa iman telah memisahkan mereka sebagai pasangan istri. Iman telah menjadi batas hubungan suami istri. Dan Zainab diminta berhijrah ke Madinah oleh Nabi.

Zainab harus berhijrah ke Madinah, menempuhi jarak 400 KM, karena kewajiban iman guna memenuhi perintah Rasulullah. Kala itu Zainab sedang mengandung buah cinta dengan Abul Ash dan kelak akhirnya keguguran karena terjatuh dari untanya. Keduanya, Zainab dan Abul Ash, harus berpisah dengan air mata menggenang. Demikianlah kethaatan Zainab kepada agamanya dan kesetiaan pada suaminya.

Sementara dalam masa yang sama, ada seorang laki-laki di Mekkah diriwayatkan melakukan hijrah ke Madinah karena ingin menemui wanita yang akan dinikahinya.

Beberapa waktu sebelum Fathul Makkah (penaklukan Mekkah), Abul Ash memimpin kafilah dagang dari Syam. Lagi-lagi, seluruh hartanya disita kaum muslimin. Ketika gelap malam merayapi kota Madinah, Abul Ash diam-diam menemui Zainab, setelah terpisah selama 6 tahun, dan meminta Zainab memberi perlindungan. Zainab pun menyanggupi permintaan suaminya.

Zainab pun berseru dari balik dinding masjid ketika Rasul dan kaum muslimin berdiri menegakkan shalat Subuh.

“Wahai kaum muslimin, Abul Ash berada dalam perlindungan Zainab.”

Abul Ash dan hartanya pun selamat.

Dan ini klimaks dari kisah cinta sejati putri sulung Rasulullah SAW. Sepulang kembali ke Makkah dan menunaikan amanat orang Quraisy, Abul Ash berseru dan berikrar syahadat memasuki ke haribaan Islam.

Abul Ash pun dengan sangat segera menyusul istri yang sangat menyayanginya, Zainab binti Rasullah SAW, ke Madinah. Kembali kepada belahan jiwanya setelah 6 tahun berpisah karena iman. Abul Ash dan Zainab pun kembali bersatu cintanya juga karena iman. Berpisah dan bersatunya pasangan suami istri ini bukan karena cinta.

Maka sangat tercela apabila seorang muslim maupun muslimah terlalu mengagung-agungkan CINTA. Mendudukkan perasaan cinta di atas segala-galanya.

Cinta dan kasih sayang Zainab kepada suaminya akhirnya tergenapkan. Kerinduan sang istri agar berkas cahaya iman bersemayam di dada suaminya pun terpenuhi. Tak berselang lama, hanya setahun kemudian wafatlah Zainab binti Muhammad SAW.

Cinta Abul Ash, entah bagaimana, telah menyebabkan tangisannya begitu menyayat sehingga yang mendengarnya pun ikut menangis. Usai dimandikan, Nabi bersabda :

“Kafanilah ia dengan kain ini.”

Dalam perjalanannya ke negeri Syam, Abul Ash mengenang istri tercinta,

”Puteri Al-Amiin, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan dan setiap suami akan memuji sesuai dengan yang diketahuinya.’

Demikianlah ridha suami telah dibawa serta oleh Zainab untuk menemaninya di alam kubur. Itu bayangan kecintaan Zainab, putri pemimpin para Nabi, kepada suaminya.