KISAH HIKMAH ULAMA BERISTERI GALAK DAN MINTA CERAI KARENA HAL SEPELE DI ANCAM NABI SAW

Ancaman Nabi Muhammad pada Istri yang Minta Cerai karena Hal Sepele

Bahtera rumah tangga tidak selamanya berjalan dengan tenang, hening, dan nyaman. Ombak pertengkarangan antara pasangan suami istri pasti selalu ada di dalamnya. Di antara mereka ada yang dapat melewati terjangan ombak tersebut dengan baik dan mulus. Namun tidak sedikit pula jalinan rumah tangga yang tenggelam dalam derasnya ombak. Artinya, perjalanan rumah tangganya hancur di tengah jalan. Entah suami atau istri yang minta cerai.

Siapa pun pasangan suami istri pastinya tidak menghendaki perceraian. Selain dibenci Allah, perceraian juga tidak jarang memutus silaturahim ikatan dua keluarga yang tadinya terjalin dengan baik ketika pasangan suami istri masih menjalani rumah tangganya. Namun cerai juga bisa menjadi solusi ketika suami, misalnya, merusak cinta suci yang diikat dengan tali pernikahan dengan cara selingkuh, berbuat kekerasan, berjudi dan mabuk-mabukan.

Sebaliknya, jika perceraian terjadi hanya karena permasalahan yang tidak begitu besar di mata masyarakat umum, maka bisa jadi yang terlebih dulu meminta cerailah yang dibenci Allah, baik suami maupun istri.

Perlu diketahui bahwa dalam mazhab Syafi’I yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia, perkataan “Saya cerai kamu” yang diucapkan suami itu sudah termasuk cerai dalam hukum Islam, walaupun belum masuk di persidangan perceraian di kejaksaan. Artinya, ketika sudah mengatakan demikian, secara fikih, suami itu sudah tidak boleh melakukan hubungan suami istri, kecuali sudah rujuk terlebih dulu. Karenanya, untuk hati-hati, para suami jangan sembarangan mengucapkan kata cerai kepada istrinya.

Begitupun istri, jangan mudah meminta cerai kepada suami karena masalah sepele dalam rumah tangga. Dalam hal ini Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Seorang istri yang mudah meminta cerai suaminya hanya karena permasalahan sepele, maka dia tidak akan mencium baunya surga” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Artinya, istri yang dengan mudah meminta cerai pada suaminya dikhawatirkan tidak akan masuk surga bersama suaminya yang saleh.

Karenanya, ulama mengklasifikasi permasalahan apa saja yang memperbolehkan istri menggugat atau meminta cerai pada suaminya.

Pertama, suami sering melakukan kekerasan fisik dan seksual terhadap istri, sehingga membuatnya cacat.

Kedua, suami sering meninggalkan salat, berjudi, mabuk, main perempuan.

Ketiga, suami tidak memenuhi kebutuhan sandang dan pangan anak dan istri selayaknya, padahal ia mampu.

Keempat, suami enggan memenuhi kebutuhan biologis istri padahal ia mampu.

Karenanya, alangkah baiknya bila suami atau istri tidak mudah mengucapkan kata cerai. Apalagi jikamasih dapat dikomunikasikan dengan baik di antara keduanya. Bila perlu, keduanya mendatangkan orang lain untuk mendamaikan perseteruan rumah tangganya.

Kisah hikmah Ulama Beristri Galak

Tidak ada rumah tangga yang tidak pernah didera prahara. Semuanya pasti mengalami masalah-masalah entah kecil atau besar, atau juga masalah kecil yang dibuat besar. Rumah tangga para ulama pun demikian. Jangan dikira semua rumah tangga para ulama ataupun kiai pasti berjalan mulus tanpa halangan suatu apapun. Bahkan, rumah tangga Nabi Saw pun pernah diterpa prahara.

Banyak sekali cerita maupun kisah para ulama dan orang-orang saleh yang memiliki istri berperangai kurang baik—semoga Allah memberi kita pasangan yang bisa menenteramkan hati—yang bisa ditemui. Namun demikian, dalam menghadapi cobaan tersebut mereka selalu mengedepankan kebijaksanaan. Meskipun emosi mereka setiap kali diuji baik ketika dalam keadaan berduaan maupun di hadapan khalayak.

Mereka tidak pernah naik darah dengan secara spontan melemparkan kata talak. Bahkan yang mereka tunjukkan adalah kebijaksanaan yang merupakan buah dari kedalaman ilmu. Mereka yakin bahwa semua itu adalah kesempatan untuk meraih ziyadah pahala dan ganjaran, pun untuk melebur segala kesalahan dan dosa. Bahkan, para ulama memandsang bahwa cobaan semacam itu adalah salah satu tanda kewalian. Al-Ghazali dalam Ihya` Ulum al-Din berkata:

الصبر على لسان النساء مما يمتحن به الأولياء

“Bersabar dari kata-kata (menyakitkan) yang keluar dari mulut para istri adalah salah satu cobaan para wali.” (Ihya ‘Ulumu al-Din, 2:49)

Senada dengan Al-Ghazali, Syaikh Abd al-Wahhab Al-Sya’rani berkata dalam Lawaqih al-Anwar,

“Tuan guru saya ‘Ali Al-Khawwas pernah berkata: sedikit sekali ada auliya` kecuali ia memiliki istri yang senantiasa menyakiti dengan lisan maupun perbuatannya.” (Lawaqih al-Anwar: 261).

Bersabar dan mengalah kepada istri bukanlah hal yang merendahkan. Itu bukanlah tanda bahwa ia adalah lemah ataupun tanda ketidakjantanan, seperti yang disangka kebanyakan manusia. Namun hal tersebut merupakan akhlak orang-orang yang berilmu dan tanda kedalaman agama yang dimiliki. Kisah di bawah ini mungkin bisa menjadi percontohan.

Tuan Guru Besar Syaikh Muhammad Al-Rifa’I (lahir 500 H). Beliau adalah seorang ulama besar dan dikenal sebagai seorang wali yang namanya masyhur di segala penjuru. Seorang mursyid dan pendiri Tarekat Al-Rifa’iyyah yang sudah tidak asing. Biografi beliau banyak ditemui dalam banyak karangan ulama, seperti Al-Thabaqat Al-Kubra (juz 1 hlm 250) karangan Al-Sya’rani, Al-Kawakib (juz 2 hlm 29) karangan Al-Manawi, Syadzarat al-Dzahab (juz 6 hlm 327), dan seterusnya.

Suatu kali muridnya bermimpi bahwa sang Syaikh duduk di singgasana para shiddiqin, namun sang murid memendam dan tidak menceritakan mimpinya itu. Kebetulan Syaikh Al-Rifa’I itu memiliki istri yang kasar kata-katanya. Sering berbuat jelek juga menyakiti beliau. Pada satu kesempatan sang murid sowan ke rumah Syaikh dan melihat istri Syaikh sedang memegang kayu pengorek tungku masak.  Lalu istri tesebut memukul punggung Syaikh sampai baju beliau menjadi hitam terkena bekas arang dari tungku masak. Namun Syaikh hanya terdiam.

Tidak terima melihat gurunya diperlakukan semena-mena, ia memprovokasi teman-temannya. Ia berkata, “Wahai teman-teman, guru kita mendapat perlakuan yang demikian-demikian dari seorang wanita. Apa kalian akan diam saja?”

“Mahar dari isteri guru kita itu 500 dinar, sedangkan beliau itu fakir.” Timpal yang lainnya.

Lalu ia pun mengumpulkan uang sebanyak itu demi membabaskan gurunya dari wanita itu. Lalu datanglah sang murid kepada Syaikh Al-Rifa’I dengan membawa 500 dinar dalam sebuah talam kecil. Syaikh berkata, “Apa ini?”

“Ganti untuk mahar untuk isteri anda yang telah memperlakukan anda dengan tidak baik.” Jawab murid.

Syaikh Al-Rifa’I tersenyum dan berkata, “Jika bukan karena kesabaranku dalam menghadapi pukulan atau kata-katanya, maka kamu tidak akan melihatku(Dalam mimpi) duduk di singgasana itu.”

Wallahu a’lam.