CARA AGAR KITA BERMANFAAT UNTUK ORANG LAIN

MANF1.Pertanyaan: Bagaimana caranya agar kita menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain?

Jawaban: Diantara hamba-hamba Allah yang paling dicintaiNya adalah orang yang banyak mendatangkan kemanfaatan bagi orang lain. Pada dasarnya banyak cara yang dapat kita lakukan untuk memberi manfaat bagi orang lain. Tentunya disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kemampuan kita.

Al Thabrani (Mu’jam Kabir jilid 11 hlm. 83) menulis sebuah hadits Nabi Saw. yang menjelaskan hal itu;

Diriwayatkan dari Ibn Umar, bahwasanya seseorang pernah menghadap Nabi Saw. seraya berkata; Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah ? dan amal apakah yang paling dicintaiNya ? Rasulullah saw menjawab, Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitanya atau engkau melunasi utangnya atau menghilangkan kelaparannya. Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (menuaikan) suatu kebutuhan lebih aku sukai daripada aku beritikaf di masjid ini yaitu Masjid Madinah selama satu bulan. Dan barangsiapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barangsiapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan). (HR. Thabrani)

Hadits tersebut memuat banyak hikmah tentang berbagai cara supaya dapat mendatangkan kemanfaatan bagi orang lain baik dari sikap, ucapan, simpati, berkorban harta benda dan lain-lain. Sangat bijak ungkapan ulama yang menyatakan :

Kebaikan yang merata (dapat dirasakan orang lain) lebih utama ketimbang kebaikan yang terbatas (hanya dirasakan diri sendiri).

Intinya mendatangkan kebaikan bagi orang lain apapun bentuknya selama tidak bertentangan dengan syariat agama adalah sangat dianjurkan.

  1. Pertanyaan: Bagaimana cara yang baik untuk mengajak teman/tetangga kita yang belum pernah atau belum mau menjalankan ibadah kepada Allah SWT?

Jawaban: Para ulama menerangkan bahwa dakwah kepada Allah Azza wa Jalla itu hukumnya fardhu kifayah, selama negeri-negeri itu memiliki para du’at (juru dakwah) yang tinggal di dalamnya. Terkadang berdakwah itu hukumnya menjadi fardhu ‘ain apabila seseorang berada di suatu tempat yang tidak ada seorang pun yang melaksanakannya kecuali ia. Namun dianjurkan kepada tiap orang Islam hendaknya mengajak saudaranya menuju kejalan Allah. Prinsip dakwah sebagaimana diterangkan dalam Al Qur’an adalah dengan kebijakan, mauidzah, mujadalah

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari JalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Dapat dijelaskan bahwa kata al-hikmah berarti perkataan yang jelas disertai dalil atau argumen yang dapat memperjelas kebenaran dan menghilangkan keraguan, metode al-maw’izat al-hasanah berarti nasehat yang baik. Juga berarti menasehati dan mengingatkan akibat suatu perbuatan, menyuruh untuk mentaati dan memberi wasiat agar taat. Sedangkan mujadalah berarti dengan berdialog dan berdiskusi agar mereka patuh dan tunduk. Namun intinya dalam mengajak kepada kebaikan dapat dilakukan dengan lisan, perbuatan (contoh), menarik simpati, dengan harta atau dengan pikiran/argument dan juga disertai do’a.

  1. Pertanyaan: Apakah ada do’a khusus untuk mengobati hati yang sedang sakit, atau malas mengerjakan ibadah kepada Allah SWT?

Jawaban: Penyakit hati memang dapat menghinggapi siapa saja kecuali mereka yang dijaga oleh Allah. Selain dengan usaha menjaga dan membersihkan hati secara terus menerus, juga dibarengi dengan permohonan kepada Allah supaya diberi hidayah dan dijauhkan dari perbuatan yang dapat menyebabkan suburnya penyakit hati. Salah satu do’a yang diajarkan Rasulullah Saw. sebagaimana ditulis dalam kitab Sunan Nasai hadits ke 5553

Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam, berkata; “aku tidaklah mengajarkan kepada kalian semua kecuali apa yang telah Rasul Saw. ajarkan kepada kami. Yakni Rasul berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari sifat lemah, malas, kikir, takut, pikun, dan dari siksa kubur. Ya Allah, berikan hati kami sifat taqwa serta sucikan (dari sifat jelek), karena Engkau adalah sebaik-baik orang yang mensucikan hati, Engkau adalah penguasa hati. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari hati yang tidak dapat khusyu’, jiwa yang tidak pernah puas, ilmu yang tak bermanfaat, dan do’a yang tak terkabulkan.

  1. Pertanyaan: Shalatnya baik (rajin) tetapi maksiatnya jalan terus, hal itu bagaimana?

Jawab: Merupakan salah satu fungsi shalat adalah mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan munkar, sebagaimana firman Allah;

Dan dirikanlah shalat, karena sesungguhnya (dengan mendirikan) shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar. (al ‘Ankabut: 45)

Namun pada kenyataanya memang sering terjadi, seseorang shalatnya rajin namun maksiatnya juga tetap rajin. Hal tersebut juga telah diisyaratkan dalam hadits Nabi Saw. (dalam Mu’jam Kabir Al Thabrani, jilid 9 hlm. 268)

Diriwayatkan dari Ibnu Abas RA, Rasul Saw. bersabda; “barang siapa shalatnya tidak mampu mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, maka niscaya tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh” (HR. Thabrani)

Sedangkan menurut Ibnu Mas’ud (dalam Tafsir Al Thabari, Jilid 20 hlm. 42) dan Al Ghazali (dalam Faidl Al Qadir, jilid 6 hlm. 287), yang demikian itu setidaknya disebabkan oleh dua hal; karena tidak memenuhi ketentuan-ketentuan shalat yang benar, dan karena shalatnya dilakukan tidak dengan khusyu’ dan Oleh karena itu imam Ghazali menganggap khusyu’ sebagai bagian dari syarat shalat.

Ibnu Mas’ud berkata; “Barang siapa yang tidak taat pada shalatnya maka tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh. Hal itu karena, yang dimaksud taat seseorang pada shalatnya berarti menunaikanya sesuai dengan ketentuan-ketentuanya. Ketaatan seseorang pada shalatnya akan mampu mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar.

Dengan dasar ayat tersebut (al ‘Ankabut; 45), Imam Ghazaliberpendapat bahwa khusyu’ merupakan salah satu syarat shalat. Beliau berkata: (alasannya) karena sesungguhnya shalatnya orang yang lalai tidak akan mampu mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar.

Walaupun demikian, bila mana seseorang ketika melakukan maksiat masih ingat kepada Allah dengan rsa takut serta khawatir atas apa yang ia lakukan, maka ia masih bisa diharapkan (mendapat ampunanNya). Demikian menurut Ibnu Hajar dalam Fath Al Bari Jilid 20 hlm. 481.

  1. Pertanyaan: Shalat kakinya mengikat anjing, walaupun shalatnya ditempat yang suci, bagaimana hukumnya?

Jawaban: Shalatnya tidak syah, karena salah satu syarat shalat adalah suci pakaian termasuk yang terbawa. Dalam Roudlotut Thalibin jilid 1 hlm. 101 dijelaskan:

Apa yang dipakai mushalli (orang yang shalat) harus suci bila mushalli memegang ujung tali atau kain atau mengikatkanya pada tangan, atau kaki atau perutnya sedangkan ujung tali yang lain terkena najis atau bersambung dengan najis maka ada tiga pendapat, pendapat yang paling benar shalatnya batal. Pendapat kedua tidak batal. Pendapat ketiga; jika ujung tali itu najis atau besambung dengan ujud najis missal pada leher anjing maka shalatnya batal.

  1. Pertanyaan: Shalat witir rekaatnya ada yang 2-1 dengan 2x salam, ada 3 rekaat sekaligus dengan satu kali salam. Mohon dijelaskan masing-masing dasar/haditsnya!

Jawaban: menurut mayoritas Ulama, Shalat Witir hukumnya sunah berdasar hadts Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunan Abi Dawud Jilid 4 hlm. 426.

Diriwayatkan dari Abu Ayyub al Anshari, ia berkata: Rasulullah bersabda; “Shalat witir merupakan hak atas tiap muslim. Barang siapa hendak berwitir dengan lima rekaat maka kerjakanlah, yang suka tiga rekaat maka kerjakanlah, yang suka serekaat maka kerjakanlah.

Bilangan shalat witir paling sedikit satu rakaat, dan paling banyak (menurut pendapat yang disepakati) adalah 11 rekaat. Cara pelaksanaanya, menurut para ulama, yang paling utama adalah dengan memisahkan antara bilangan rekaat yang genap dengan yang ganjil dengan salam, misalnya shalat 3 rekaat dilakukan dengan dua rekaat kemudian salam diteruskan satu rekaat kemudian salam. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Saw, riwayat Ibn Hibban.

Dari Ibnu Umar berkata; Nabi Saw. memisahkan antara bilangan rekaat yang genap dan rekaat yang ganjil dengan salam yang bisa kami dengar.

Dalam I’anah Thalibin jilid 1 hlm. 289 dijelaskan secara lebih rinci:

Bagi seseorang yang hendak menambah shalat witir lebih dari satu rekaat diperbolehkan memisahkan tiap dua rekaat dengan salam yang demikian lebih utama daripada menyambung dengan satu tasyahud atau dua tasyahud pada dua rekaat terakhir. Dan tidak diperbolehkan lebih banyak dari dua tasyahud. Menyambung (keseluruhan rekaat witir) merupakan khilaf al aula (bertentangan dengan yang utama/yang sering dilakukan Nabi) bahkan menyambung tiga rekaat sekaligus hukumnya makruh karena ada larangan sebagaimana terdapat pada hadits Nabi:

Rasulullah bersabda: Janganlah berwitir dengan tiga rekaat sekaligus, dan janganlah menyerupai (rekaat) shalat maghrib. Melainkan berwitirlah sebanyak lima atau tujuh rekaat.

Dengan memisah antara rekaat yang genap dengan yang ganjil berarti akan akan niat, takbir dan salam kembali dan hal ini akan semaki menambah keutamaanya, sesuai dengan kaidah fikih:

(ibadah yang lebih banyak perbuatanya maka lebih banyak keutamaanya). Sedangkan pendapat menyambung keseluruhan rekaat shalat witir (yang merupakan bukan pendapat yang utama) berdasar pada hadits Nabi Saw. diantaranya yang terdapat pada Mustadrak ‘Ala Shahihain jilid 1 hlm 412:

Sesungguhnya Aisyah Ra. menceritakan: sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah shalat witir sebanyak lima rekaat dan beliau tidak duduk (tasyahud) dan juga tidak salam kecuali pada rekaat kelima.

  1. Pertanyaan: Wudlu apa bisa dianggap sabab shalat syukril wudlu diwaktu larangan shalat?Apakah shalat syukril wudlu hulu atau shalat tahiyatul masjid dulu yang sebaiknya dilakukan? Ada yang mengatakan dua shalat dapat digabung, niatnya bagaimana?

Jawaban: Shalat sunah ada yang memiliki sebab dan ada yang tidak memiliki sebab (sunah muthlak). Shalat sunah yang tidak memiliki sebab (sunah muthlak) atau sebabnya datang belakangan seperti shalat istikharah, shalat sunah ihram, tidak boleh dilakukan pada waktu yang haram shalat. Sedangkan shalat sunah yang memiliki sebab yang beriringan seperti shalat khusuf (gerhana) atau sebab yang mendahului seperti shalat syukril wudlu, dua rekat thawaf, tahiyyat masjid maka boleh dilakukan pada saat waktu-waktu tersebut.

Dalam kitab ‘Ianah Thalibin jilid 1 hlm 143 disebutkan;

Makruh tahrim melakukan shalat yang tidak memiliki sebab seperti shalat sunah muthlak termasuk didalamnya shalat tasbih, atau memiliki sebab yang datang belakangan seperti dua rekaat shalat istikharah, shalat sunah ihram, pada waktu setelah shalat subuh sampai matahari naik sekitar satu tombak, setelah shalat ashar sampai terbenam matahari, ketika matahari persis ditengah-tengah selain hari jum’at. Namun tidak makruh bagi shalat yang memiliki sebab yang mendahului seperti dua rekaat shalat sunah wudlu, shalat sunah thawaf, shalat sunah tahiyat masjid dan seperti shalat sunah karena gerhana.

Shalat syukril wudlu hukumnya sunah sesuai hadits Nabi Saw. (dalam Sunan Abu Dawud hadits ke 906):

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir al Juhny sesungguhnya Rasul Saw. bersabda; “tidak seorangpun yang berwudlu dengan baik kemudian ia shalat dua rekaat dengan hati dan wajahnya menghadap (khusyu’), kecuali (masuk) surga wajib baginya

Sebaiknya dilakukan selama belum terpisah lama antara wudlu dengan shalatnya, atau sebelum berpaling ke ibadah yang lain, atau sebelum anggota wudlu kering. Bila memungkinkan waktunya, baik shalat syukril wudlu dan shalat tahiyat dilakukan semuanya, namun jika tidak memungkinkan misalnya karena shalat jama’ah sudah hendak dimulai, atau hanya cukup untuk shalat qabliyah saja, maka baik shalat syukril wudlu maupun tahiyat sudah tercukupi dengan melakukan shalat fardlu atau dua rekaat shalat sunah lain yang dilakukan, meskipun tidak diniatkan untuk keduanya. Dijelaskan dalam I’anah Thalibin jilid 1 298 sebagai berikut:

Dua rekaat shalat tahiyyat dan shalat sunah (yang disebut) setelahnya (yakni shalat sunah wudlu) telah tercukupi dengan melakukan dua rekaat atau lebih dari shalat fardlu atau shalat sunah lainya dan meskipun tidak menyertakan niat keduanya dalam niat shalat dilakukanya (fardlu atau sunah lainya). Maksudnya tuntutan melakukan shalat tahiyat dan shalat wudlu telah gugur dengan melakukan shalat fardlu datu sunah lainya.

  1. Pertanyaan: Letak mayat yang dishalati apakah boleh kepala mayat menghadap ke selatan? Tapi dari yang saya tahu harus menghadap ke barat (kiblat) bagaimana yang betul menurut aturan agama?

Jawaban: Ketika hendak dishalati, posisi kepala mayit laki-laki sunah diletakkan disebelah kiri imam dan imam berdiri dekat kepalanya. Sedangkan untuk kepala mayit perempuan diletakkan di sebelah kanan imam dan imam berdiri dekat dengan pantat mayit. Demikian dijelaskan dalam kitab Tanwir al Qulub hlm. 212;

Disunatkan menshalatkan mayit dimasjid dan dengan tiga shaf atau lebih dan sunah meletakan kepala mayit laki-laki disebelah kiri imam dan imam berdiri dekat kepalanya, sedangkan kepala mayit perempuan diletakan disebelahkanan imam dan imam berdiri dekat dengan pantatnya (tengah-tengah)