MENGENAL WALI ALLOH DAN DALIL KEBERADAANYA (2)

  1. Dalil Aqli (rasio)

 

Di antara dalil aqli dan qat’i yang berkaitan dengan kemungkinan munculnya karamah adalah:

 

Dalil 1

 

Sesungguhnya hamba Allah adalah wali-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,

 

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak merasa takut dan sedih” (QS Yunus [10]: 62).

 

Allah juga wali hamba-Nya, seperti dinyatakan dalam firman-Nya,

 

“Allah itu pelindung (wali) orang-orang beriman” (QS Al-Baqarah [2]: 257).

“Dia terus-menerus melindungi orang-orang yang saleh” (QS al-A’raf [7]: 196).

“Sesungguhnya penolong kalian (waliyyukum) adalah Allah dan Rasul-Nya” (QS Al-Maidah [5]: 55).

“Engkaulah Penolong kami (maulana)” (QS Al-Baqarah [2]: 286).

“Demikianlah, sesungguhnya Allah menjadi pelindung (maula) orang-orang beriman” (QS Muhammad [47]: 11).

 

Jadi, jelaslah bahwa Allah adalah wali hambaNya dan hamba adalah wali Allah. Begitu juga Allah adalah kekasih hamba, sebaliknya hamba adalah kekasih Allah, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,

 

“Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya” (QS Al-Maidah [5]: 54).

“Orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah” (QS Al-Baqarah [2]: 165).

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri “(QS al-Baqarah [2]: 222).

 

Jadi, bisa dikatakan bahwa jika seorang hamba telah mencapai ketaatan, maka ia akan terdorong untuk melaksanakan segala yang diperintahkan Allah dan semua hal yang diridhai-Nya, dan akan meninggalkan semua perbuatan yang dilarang dan dicegah olehNya. Bagaimana mungkin ia tidak melaksanakan perbuatan yang dikehendaki Tuhan Yang Maha Penyayang lagi Maha Mulia sekali saja, padahal hanya Tuhanlah yang utama baginya, karena hamba sesungguhnya tidak berdaya dan lemah ketika mengerjakan semua hal yang dikehendaki dan dititahkan Allah, sedangkan Tuhan Yang Maha Penyayang melakukan hal-hal utama yang dikehendaki hamba-Nya dalam sekali hitungan saja. Hal ini berdasarkan pada firman Allah,

 

“Penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu.” (QS Al-Baqarah [2]: 40)

 

Dalil 2

 

Jika ketidakmunculan karamah membuat manusia menuduh Allah tidak ahli melakukan perbuatan seperti itu, maka itu termasuk mencela kekuasaan Allah dan dihukumi kufur. Atau jika ketidakmunculan karamah membuat manusia menuduh seorang mukmin tidak patut dikaruniai karamah oleh Allah, alasan ini tidak sah, karena mengetahui zat, sifat, perbuatan, hukum-hukum dan nama-nama Allah, cinta dan ketaatan kepada-Nya, serta terus-menerus menyucikan, mengagungkan, dan menyambut gembira nama-Nya dan membacakan tahlil untuk-Nya itu jauh lebih mulia daripada hanya memberikan sepotong kue untuk menundukkan ular atau harimau. Ketika Allah menganugerahi seorang mukmin ma’rifat, mahabbah, zikir, dan syukur tanpa permohonan, hal itu lebih utama daripada hanya memberi sepotong kue sebagai hidangan.

 

Dalil 3

 

Nabi Muhammad Saw. bersabda bahwa Allah berfirman,

 

“Tidak ada yang lebih mendekatkan seorang hamba kepada-Ku yang sebanding dengan menunaikan semua kewajiban yang Kuperintahkan dan senantiasa mendekati-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunnah hingga Aku mencintainya. Dan jika Aku telah mencintainya, maka aku menjadi pendengaran, penglihatan, lidah, hati, tangan, dan kakinya. Ia mendengar melalui Aku, ia melihat melalui Aku, ia berbicara melalui Aku, dan berjalan melalui Aku.’

 

Khabar ini menunjukkan tidak adanya ruang dalam pendengaran mereka untuk selain Allah, tidak juga dalam penglihatan dan keseluruhan anggota tubuhnya. Sebab kalau masih ada ruang untuk selain Allah, tentunya Allah tidak akan berkata, “Aku mendengar dan melihat-Nya.” Maka tidak ada keraguan lagi bahwa inilah maqam yang lebih mulia daripada kemampuan menundukkan ular dan binatang buas, atau memberi sepotong roti, setangkai anggur dan segelas air kepada seseorang yang kelaparan dan kehausan di padang tandus. Ketika Allah dengan rahmat-Nya mengantarkan hamba-Nya sampai derajat yang tinggi, maka apa susahnya memberi sepotong roti atau air minum di padang tandus kepada seseorang?

 

Dalil 4

 

Nabi Muhammad Saw. menceritakan bahwa Allah berfirman, “Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka ia benar-benar menyatakan peperangan dengan-Ku.” Menyakiti wali sama dengan menyakiti Allah, hal ini sesuai dengan firman-Nya:

 

“Orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah” (QS Al-Fath [48]: 10).

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin (untuk memilih ketetapan lain), apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan” (QS Al-Ahzab [33]: 36).

“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya akan dilaknat oleh Allah di dunia dan akhirat” (QS Al-Ahzab [33]: 57).

 

Berjanji setia (bai’at) kepada Nabi Muhammad Saw. berarti berjanji setia kepada Allah, ridha kepada Nabi Muhammad Saw. berarti ridha kepada Allah, menyakiti Nabi Muhammad Saw. berarti menyakiti Allah. Tidak diragukan lagi, derajat Muhammad adalah derajat tertinggi. Inilah arti dari firman Allah dalam sebuah hadis qudsi, “Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka ia telah menyatakan peperangan dengan-Ku.” Hadis qudsi ini menunjukkan ketetapan Allah bahwa menyakiti wali sama dengan menyakiti-Nya.

 

Hal ini diperkuat dengan khabar masyhur yang menyatakan bahwa pada hari kiamat nanti Allah Swt. berfirman,

 

“Aku sakit, tetapi kau tidak menjengukku. Aku meminta minum tetapi kau tidak memberiku mimun. Aku meminta makan kepadamu tapi kau tidak memberiku makan.” Orang-orang bertanya, “Ya Tuhan, bagaimana kami melakukan hal ini, sementara Engkau adalah Tuhan Penguasa alam?” Allah menjawab, “Sesungguhnya hamba-Ku si Fulan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya. Apakah kamu tidak tahu kalau saja kamu menjenguknya, maka kamu akan menemukan Aku di sisinya.”

 

Demikian juga ketika kita memberi minum dam makan wali-Nya berarti kita juga memberi minum dan makan Allah. Seluruh khabar di atas membuktikan bahwa para wali Allah telah mencapai derajat ini.

 

Dalil 5

 

Kita melihat bahwa dalam kebiasaan, seseorang yang diangkat sebagai pelayan khusus oleh seorang raja dan diizinkan masuk ke ruang untuk bersenang-senang, maka ia juga diberi kekhususan untuk melakukan apa yang tidak bisa dilakukan orang lain. Bahkan akal sehat juga menyaksikan bahwa kedekatan dengan seorang raja akan menimbulkan naiknya pangkat (kedudukan). Kedekatan adalah asal atau pokok, sementara kedudukan adalah pengiring. Sedangkan Raja Paling Agung adalah Tuhan Penguasa alam. Jika Allah memuliakan seorang hamba dengan mengantarkannya ke pintu pengabdian dan derajat karamah, menganugerahinya rahasia ma’rifat dan kemampuan menyingkap hijab antara Allah dan dirinya, serta mendudukkannya dalam kedekatan, maka tidak ada kesulitan baginya untuk menampakkan sebagian karamah di dunia ini.

 

Dalil 6

 

Tidak diragukan lagi bahwa yang menguasai perbuatan adalah ruh, bukan badan. Begitu juga penguasaan Allah atas ruh sama dengan penguasaan ruh atas badan, berdasarkan penafsiran kami atas firman Allah, “Dia menurunkan malaikat dengan (membawa) ruh (wahyu) berupa perintah-Nya” (QS Al-Nahl [16]: 2). Rasulullah Saw. bersabda, “Aku bermalam di sisi Tuhanku yang memberiku makan dan minum.” Dari hadis ini, kita tahu bahwa semakin banyak pengetahuan seseorang tentang alam gaib, maka semakin kuat hatinya dan semakin sedikit kelemahannya. Karena itu, ‘Ali bin Abi Thalib berkata, “Demi Allah, gerbang Khaibar itu tidak aku dobrak dengan kekuatan jasadiah, tetapi gerbang itu terlepas dengan kekuatan rabbaniyyah.” Hal tersebut karena pada waktu perang Khaibar, ‘Ali memutus pandangannya dengan alam jasad, dan malaikat memancarkan cahaya alam keagungan, sehingga ruh ‘Ali menjadi kuat dan menyerupai subtansi ruh malaikat serta memancarkan kilauan cahaya alam kesucian dan keagungan. Maka ‘Ali memiliki kemampuan seperti malaikat yang tidak dimiliki oleh orang lain. Demikian pula hamba lain yang terus-menerus taat, ia akan tiba pada maqam yang difirmankan Allah dalam sebuah hadis qudsi, “Aku menjadi pendengaran dan penglihatannya.” Ketika cahaya keagungan Allah menjadi pendengarannya, maka ia mampu mendengar suara yang dekat maupun yang jauh. Ketika cahaya Allah menjadi tangannya, maka ia memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan yang sulit maupun mudah, jauh maupun dekat.

 

Dalil 7

 

Menurut hukum akal, subtansi ruh bukanlah raga yang fana, rusak, dapat dipisah-pisah, dan dipotong-potong. Namun ruh adalah substansi malaikat, penghuni langit, sesuatu yang kudus dan suci. Hanya saja ketika ruh terikat dengan tubuh dan terbelenggu dengan kehendaknya, maka ia akan melupakan negeri asal dan tempat tinggalnya yang lama, dan secara keseluruhan ia serupa dengan tubuh yang rusak, kekuatannya melemah, kekokohannya lenyap hingga ia tidak kuasa melakukan apa-apa. Ketika ruh senang dengan ma’rifat dan mahabbah kepada Allah, serta jarang mengikuti kehendak tubuh, maka ruh-ruh penghuni langit dan ‘arsy akan memancarkan kilauan cahaya mereka atasnya dan menyelubunginya, kemudian ia akan diberi kekuatan hingga mampu menguasai alam materi, seperti ruh-ruh penghuni langit, dan inilah yang disebut karamah.

 

Menurut mazhab kami, ruh manusia berbeda dengan benda-benda cair. Ruh manusia mengandung kekuatan dan kelemahan, cahaya dan kegelapan, kehormatan dan kehinaan, demikian juga ruh-ruh falakiyah (wilayah langit). Tidakkah kau lihat Jibril, ketika Allah menyifatinya dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan dan kedudukan tinggi di sisi Allah Pemilik ‘Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya” (QS Al-Takwir [81]: 19-21). Allah berfirman tentang sekelompok malaikat lainnya, dan berapa banyak malaikat di langit yang syafa’atnya tidak berguna kecuali setelah Allah memberikan izin kepada yang dikehendaki dan diridhai-Nya.

 

Demikianlah, ketika jiwa berpadu dengan kekuatan yang suci dan mendasar, cahaya substansi, keluhuran tabiat, ditambah dengan berbagai macam riyadhah (olah spiritual) yang membersihkan debu dunia wujud dan kerusakan dari wajahnya, maka jiwanya akan bercahaya, berkilauan, dan mampu menguasai alam nyata dan fana dengan bantuan cahaya ma’rifat yang mulia dan kekuatan cahaya Sang Maha Perkasa lagi Maha Mulia. Penjelasan yang mulia ini mengandung rahasia-rahasia terselubung dan fenomena-fenomena yang mendalam, karenanya kita memohon pertolongan Allah agar dapat memahaminya. Barangsiapa tidak bisa mencapainya, berarti ia tidak meyakininya.

 

Para penyangkal adanya karamah memiliki beberapa argumen:

 

Para penyangkal karamah berlaku tidak adil dan menyesatkan karena berpendapat bahwa munculnya peristiwa luar biasa merupakan bukti kenabian, kalau muncul di tangan selain nabi, maka bukti ini menjadi batal. Adanya bukti tetapi tidak ada yang dibuktikan akan menodai eksistensi bukti tersebut dengan demikian bukti tersebut menjadi batal.

Mereka berpegang pada sabda Rasulullah dalam sebuah hadis qudsi yang menceritakan tentang Allah, “Orang-orang yang mendekat kepada-Ku itu tidak akan pernah dekat kepada-Ku, hingga mereka menunaikan hal-hal yang Ku-wajibkan atas mereka.” Mereka mengatakan hadis ini adalah bukti bahwa mendekat kepada Allah dengan cara menjalankan semua perintah-perintah-Nya yang wajib lebih agung daripada mendekat kepada-Nya dengan menjalankan perbuatan sunnah. Jika orang yang mendekat kepada-Nya karena menjalankan perbuatan wajib saja tidak memperoleh karamah apa pun, maka apalagi orang yang mendekat kepada Allah dengan menjalankan perbuatan sunnah tidak patut memperoleh karamah.

Mereka berpegang pada firman Allah, “Dan dia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang tidak sanggup kamu capai kecuali dengan kesukaran-kesukaran yang memayahkan diri”(QS Al-Nahl [16]: 7). Pendapat mereka yang menyatakan bahwa wali itu pindah dari satu negeri ke negeri yang jauh tidak sesuai bahkan bertentangan dengan ayat ini. Demikian juga. Nabi Muhammad Saw. tidak akan bisa berjalan dari Mekah ke Madinah kecuali dalam tempo yang lama dengan disertai kepayahan-kepayahan. Bagaimana mungkin dapat dipahami bahwa seorang wali meninggalkan negerinya untuk beribadah haji dalam waktu satu hari saja?

Mereka bertanya apakah wali yang memperlihatkan karamah karena mengharapkan uang dari manusia bisa dituntut untuk menunjukkan bukti kewaliannya atau tidak? Kalau kita menuntutnya untuk menunjukkan bukti, maka itu sia-sia belaka, karena tampaknya karamah menunjukkan bahwa ia tidak berdusta. Sudah ada dalil meyakinkan mengapa harus mencari dalil perkiraan, tetapi kalau kita tidak menuntutnya untuk menunjukkan bukti, berarti kita telah mengabaikan Sabda Nabi SAW. yang berbunyi, “Bukti itu ada pada orang yang menyatakannya.” Ini menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan adanya karamah itu batil.

Apabila karamah bisa muncul pada sebagian wali, maka ia juga bisa terjadi pada orang lain. Jika karamah sudah begitu banyak sampai menjadi hal yang tak luar biasa lagi, maka akan sama dengan adat. Apabila kemunculan karamah begitu sering, maka karamah itu menjadi biasa saja, dan hal inilah yang akan menodai mukjizat dan karamah.

 

Jawaban atas argumen yang pertama:

 

Umat muslim berbeda pendapat tentang apakah seorang wali boleh menyatakan kewaliannya?

 

 

Kelompok Al-Muhaqqiqun (orang-orang yang menyatakan kebenaran) tidak membolehkannya. Berdasarkan pendapat ini, kita bisa membedakan antara mukjizat dan karamah. Mukjizat muncul setelah pengakuan kenabian, sementara karamah tidak muncul setelah pengakuan kewalian. Karena perbedaan inilah, para nabi diutus kepada makhluk untuk menyeru dari kekufuran kepada keimanan, dari maksiat kepada ketaatan. Kalau pengakuan kenabian tidak dinyatakan, maka kaum mereka tidak akan beriman, dengan kata lain tetap kufur. Jika para nabi menyatakan kenabian dan menampakkan mukjizat mereka, maka kaum yang diserunya akan mempercayai mereka. Langkah-langkah Nabi Muhammad Saw. menyatakan kenabiannya bukan bertujuan untuk mengagungkan diri, tetapi untuk menunjukkan kasih sayangnya kepada makhluk, agar mereka hijrah (beralih) dari kufur menuju iman. Adapun pernyataan kewalian seseorang tidak menyebabkan orang yang tidak mengakui kewalian-nya menjadi kafir atau menyebabkan orang yang mengakui kewalian-nya menjadi beriman. Jadi, pengakuan kewalian dinyatakan karena nafsu, oleh karenanya Nabi wajib menyatakan secara jelas pengakuan kenabiannya, sedangkan wali tidak diperkenankan menyatakan pengakuan kewaliannya, sehingga tampaklah perbedaan antara keduanya.

 

Sementara orang yang berpendapat bahwa seorang wali boleh menyatakan pengakuan kewaliannya, menyebutkan perbedaan mukjizat dan karamah ditinjau dari beberapa segi:

 

1) Kemampuan melakukan hal-hal luar biasa menunjukkan pelakunya bebas dari maksiat. Adapun peristiwa luar biasa yang diiringi dengan pengakuan kenabian menunjukkan pengakuan kenabiannya itu benar, sedangkan peristiwa luar biasa yang diiringi dengan pengakuan kewalian menunjukkan pengakuan kewaliannya itu benar. Dengan demikian, jelas bahwa mengakui adanya karamah para wali tidak berarti menyangkal mukjizat para nabi.

2) Nabi Saw. menunjukkan mukjizatnya dan meyakinkan dirinya, sedangkan wali ketika menunjukkan karamahnya tidak untuk meyakinkan dirinya. Karena mukjizat wajib ditampakkan, sementara karamah tidak.

3) Melawan orang-orang yang menyangkal mukjizat itu wajib, sedangkan para penyangkal karamah tidak wajib dilawan.

4) Seorang wali tidak boleh memperlihatkan karamahnya ketika ia menyatakan pengakuan kewaliannya, kecuali jika untuk memper kuat dakwah agama Nabi Saw. Bila hal ini terjadi, maka karamah itu menjadi mukjizat bagi Nabi dan mengukuhkan risalahnya. Dengan demikian, tindakan memperlihatkan karamah tidak berarti menyangkal kenabian seorang nabi, tetapi justru menjadi penguat kenabiannya.

 

Jawaban atas argumen yang kedua: Taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) dengan melakukan amalan-amalan wajib tentu lebih sempurna daripada taqarrub dengan amalan-amalan sunnah. Seorang wali hanya akan menjadi wali ketika ia menunaikan ibadah fardhu dan sunnah. Tidak diragukan lagi, kondisi ini lebih baik daripada orang yang membatasi diri pada hal-hal yang fardhu semata. Jadi, jelaslah perbedaannya.

 

Jawaban atas argumen yang ketiga: Firman Allah dalam QS Al-Nahl [16]: 7 yang berbunyi, “Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang tidak sanggup kamu capai kecuali dengan kesukaran kesukaran yang memayahkan diri”, mencakup kebiasaan-kebiasaan umum. Sedangkan karamah para wali adalah fenomena yang langka, pengecualian dari kebiasaan-kebiasaan umum.

 

Jawaban atas argumen yang keempat: Berpegang pada Sabda Nabi Saw. yang menyatakan, “Bukti itu ada pada orang yang mengaku.”

 

Jawaban atas argumen yang kelima: Orang-orang yang taat itu sedikit jumlahnya, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, “Dan sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang bersyukur/taat”(QS Saba’ [34]: 13). Dan seperti yang dikatakan iblis dalam firman-Nya, “Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur/taat” (QS Al-A’raf [7]: 17). Jadi, ketika orang yang memperlihatkan karamah sangat sedikit, maka itu berarti berbeda dengan kebiasaan.