TENTANG ACARA HIPNOTIS UYA EMANG KUYA DI TV
Di sebuah stasiun televisi (TV) ada sebuah tayangan acara yang berjudul Uya Memang Kuya.
Dalam acara tersebut seseorang yang telah setuju untuk dihipnotis disuruh menatap bandul sebuah lingkaran, kapas yang dibakar dan sebagainya. Kemudian seketika itu matanya terpejam seperti orang yang tertidur.
Dalam keadaan itu orang tadi dilontari berbagai macam pertanyaan baik yang berkaitan dengan pribadi maupun orang lain yang ia ketahui tanpa menyembunyikan suatu rahasia apapun.
Anehnya ia akan menjawab pertanyaan dengan sejujur-jujurnya tanpa menghiraukan apakah yang dibicarakan ada di sampingnya atau tidak. Singkat kata, orang tersebut tunduk patuh terhadap perintah penghipnotis.
Proses hipnotis dalam Uya Memang Kuya di samping mendapat izin dari pihak yang dihipnotis juag sebelum tayang telah diperlihatkan dan disensor sendiri oleh yang di hipnotis mana yang ditayangkan dan mana yang tidak.
- Bagaimana hukum hipnotis dalam perspektif fiqih?
- Bagaimana hukum menyetujui untuk di hipnotis dan hukum merelakan apa yang terjadi untuk ditayangkan?
- Bolehkah menggunakan sarana hipnotis untuk menguak sebuah kasus kriminal dan bagaimana konsekuensi hukumnya?
1. Hukum hipnotis dipilah sebagai berikut :
- Apabila menggunakan perantara yang dilegalkan syariat, seperti hipnotis modern yang mengakibatkan dampak seperti tidur, maka hukumnya diperbolehkan.
- Apabila menggunakan perantara cara-cara yang diharamkan seperti sihir, maka hukumnya haram.
Referensi :
- At-Tasyri’ al-Jina’i juz, 1 hal. 477
- Hasyiyah al-Jamal Juz, 7 Hal. 6
- Hasyiyah Syabromalisi ‘ala an-Nihayah, juz 6 hal. 441
- Al-Mausu’ah al-’Arobiyyah al-’Alamiyyah hal. 5
2. Hukum menyetujui untuk dihipnotis dan merelakan apa yang terjadi untuk ditayangkan adalah haram, apabila saat seseorang terhipnotis melakukan hal-hal yang diharamkan, seperti menceritakan kemaksiatan dan ifsya’us sirri (membuka rahasia) yang dipertontonkan sebagai hiburan.
Referensi :
- Al-Mantsur fi al-Qowa’id, juz 2 hal. 168
- Al-Adzkar & Futuhat ar-Robbaniyah, Juz 7 Hal. 77-78
- Faidlul Qodir, juz 5, hal. 16
- Faidlul Qodir, juz 5, hal. 15
- Ihya’ al-’Ulum ad-Din, juz 3, hal. 132
- Mauidzoh al-Mu’minin, juz 1, hal. 293
- Fath al-Bari, juz 11, hal. 80
- Al-fatawa al-haditsiyyah, juz 1, hal. 103
3. Boleh, dan hanya bisa digunakan untuk wasilah mencari bukti-bukti awal dalam penelusuran kasus. Bahkan menurut madzhab Maliki bisa digunakan untuk mencari qorinah yang mengantarkan kuatnya dugaan sebagai alat penetapan hukum.
Catatan :
Rumusan di atas adalah dalam pernyataan selain iqror.
Sedangkan mengenai iqror, sementara belum disepakati musyawirin.
Referensi :
- Bughiyyah al-Mustarsyidin, hal. 276-277
- Ath-Thuruq al-Hukmiyyah, hal. 97-100
- Thoro’iq al-Hukmi fi asy-Syari’ah, hal. 352
- Ahkam as-Sulthoniyyah, hal. 219-220
- Al-Fiqh al-Islamiy, juz 8, hal.6127-6128
- Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, juz 4, hal. 95-96
- Qurrotul ‘Ain, Juz 7 Hal. 317-318