BERANGAN ANGAN TENTANG PENDIDIKAN NU DI MASA DEPAN
Selama ini melihat NU dalam mengembangkan pendidikan, lebih banyak berpihak pada kalangan masyarakat bawah, seperti petani desa, pedagang, buruh, nelayan dan orang-orang yang berekonomi menengah ke bawah. Kita lihat lembaga pendidikan NU, baik berbentuk pesantren, madrasah, dan sekolah-sekolah, umumnya menampung mereka itu. Namun saya kira, hal itu justru memiliki nilai lebih tersendiri. Saya lihat, jika ada lembaga pendidikan NU yang mengambil posisi lain, misalnya melayani kelas menengah ke atas, jumlahnya belum begitu banyak. Rupanya NU tetap konsisten, ingin mengangkat harkat dan martabat, serta melayani orang-orang kelas menengah ke bawah itu. Ke depan, kiranya NU perlu memikirkan alternatif yang lebih luas dan menyeluruh, agar amal salih yang dilakukan oleh gerakan organisasi keagamaan yang bersifat kultural ini memiliki nilai lebih dan sesuai dengan tantangan zamannya. Sudah barang tentu, apapun yang ditawarkan tidak boleh mengurangi, apalagi mengubah dasar-dasar keyakinan yang selama ini dipertahankan. Salah satu ciri pendidikan di kalangan NU, banyak diurus dan dikembangkan secara pribadi atau secara individual. Pondok pesantren, misalnya, didirikan dan dikembangkan oleh pribadi atau keluarga. Begitu juga madrasah atau sekolah. Jika kemudian mereka mendirikan yayasan, biasanya dimaksudkan sebatas untuk memenuhi ketentuan birokrasi pemerintah. Umpama pemerintah tidak mempersyaratkan itu, mungkin yayasan sebagai pembina lembaga pendidikan di lingkungan NU itu, belum tentu segera dibentuk. Namun begitu, karena kuatnya ikatan ideologis terhadap paham ahlussunah wal jama’h sebagai pandangan keagamaan anggota NU, maka sekalipun lembaga pendidikan yang ada itu dirintis, diurus, dan dikembangkan secara pribadi, tetapi untungnya masih tetap diangggap sebagai milik NU, atau setidak-tidaknya tetap menggunakan identitas atau berlabel NU. Memang secara organisatoris, keadaan seperti itu, dalam hal-hal tertentu, dianggap kurang ideal. Mengikuti kaidah organisasi, lembaga pendidikan di bawah NU seharusnya terkoordinasi secara jelas dan rapi. Tetapi keadaan seperti itu, ternyata ada untungnya. Misalnya, jika di salah satu lembaga pendidikan NU terjadi konflik sebagai ciri khas kehidupan sosial, maka konflik itu bisa terlokalisasi dan gema konflik tersebut tidak menyebar ke mana-mana. Lembaga pendidikan di kalangan NU sangat banyak, baik dari segi jenis maupun jumlahnya. NU memiliki ribuan pondok pesantren, madrasah, dan sekolah. Lembaga pendidikan itu mulai tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Termasuk pendidikan pondok pesantren, mulai dari yang paling kecil dan sederhana, yang diurus secara pribadi oleh orang-orang NU, hingga yang besar dan telah berusia ratusan tahun, semuanya telah dimiliki oleh NU. Lembaga pendidikan milik NU, lebih banyak lagi jumlahnya adalah berbentuk madrasah, mulai dari tingkat dasar yaitu ibtidaiyah, tsanawiyah, maupun aliyah. Agak berbeda dengan Muhammadiyah, NU lebih banyak memiliki pesantren dan madrasah. Muhammadiyah lebih menyukai mendirikan sekolah umum dari pada madrasah atau pesantren. Oleh karena itu, di mana-mana sebagaimana NU memiliki pesantren dan madrasah Muhammadiyah memiliki lembaga pendidikan umum, seperti SD Muhammadiyah, SMP Muhammadiyah dan SMA Muhammadiyah, dan juga perguruan tinggi Muhammadiyah. Memperhatikan banyaknya jenis dan jumlah lembaga pendidikan NU tersebut, maka sudah barang tentu, tatkala berangan-angan tentang pendidikan NU ke depan, seharusnya meliputi semua jenis lembaga pendidikan itu, baik pesantren, madrasah, sekolah, dan perguruan tingginya sekalian. Tulisan singkat dan sederhana berikut ini, hanya sebatas ingin memberikan pandangan sederhana, tentang bagaimana lembaga pendidikan di NU itu ke depan dikembangkan. Pandangan ini didasarkan atas pemahaman terhadap orientasi pendidikan NU, organisasi dan kelembagaan, serta peluang-peluang yang mungkin ada. Orientasi Pendidikan NU Pendidikan dikatakan berhasil, oleh kyai manakala berhasil melahirkan orang yang penuh tawadhu’, tha’at, hurmah, untuk selanjutnya agar yang bersangkutan mendapatkan ridha dan barakah. Pendidikan bagi kyai, bukan sebatas menstransfer ilmu pengetahuan, tetapi adalah proses mentransfer kepribadian. Pendidikan yang dipandang bisa menghasilkan pribadi-pribadi semacam itu, tidak lain adalah pesantren. Oleh karena itu pendidikan di pesantren sesungguhnya sangat berbeda dengan pendidikan di sekolah umum. Pendidikan pesantren, para santri bertempat tinggal bersama kyai atau pengasuh sepanjang waktu. Di pesantren selalu dibangun masjid, rumah kyai, dan tempat tinggal para santri. Semua fasilitas dan pendekatan pendidikan yang diselenggarakan itu, disesuikan dengan tujuan pendidikan yang ingin diraih sebagaimana dikemukakan di muka. Membandingkan pendidikan pesantren dengan pendidikan umum sesungguhnya kurang tepat. Berbeda dengan pesantren, pendidikan umum hanya sebatas mengembangkan ranah nalar, kecerdasan, dan ketrampilan. Sedangkan pendidikan pesantren lebih mengutamakan pada upaya membentuk pribadi luhur berdasar nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu, sesungguhnya kedua jenis pendidikan itu memang berbeda dari banyak aspeknya. Sementara orang, karena kurang mengerti, mengatakan bahwa pendidikan pesantren milik para ulama NU telah mengalami ketinggalan dari sekolah umum. Penilaian seperti itu perlu diperjelas, yaitu dalam hal apa yang dimaksudkan dengan ketertinggalan itu. Kyai tidak pernah merasakan adanya ketertinggalan. Bahkan umpama kyai pengasuh pesantren diminta mengubah lembaga pendidikannya agar menjadi sekolah umum, pasti akan ditolak. Justru sebaliknya, menurut kyai, pendidikan umum selama ini masih menyandang banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Sekolah umum, mungkin benar bisa melahirkan orang pintar, tetapi jika kepintaran itu tidak didasari oleh akhlak yang luhur, maka bisa jadi, akan memintari atau membuat kerusakan bagi kehidupan dirinya maupun orang lain. Akhir-akhir ini sebatas untuk memenuhi tuntutan lingkungan, maka tidak sedikit pesantren, atau lembaga pendidikan NU, membuka sekolah umum, baik berupa madrasah, sekolah, dan bahkan perguruan tinggi. Namun begitu, biasanya kyai tidak akan mengubah apalagi menghilangkan tradisi pesantrennya itu. Lembaga pendidikan modern yang dikembangkan di pesantren, sebatas sebagai upaya beradaptasi dengan perubahan zaman atau tuntutan masyarakat. Posisi lembaga pendidikan umum di pesantren, dimaksudkan untuk memperkukuh pendidikan pesantrennya. Artinya, sekalipun ada sekolah umum, tradisi pesantren berupa pengajaran kitab kuning melalui bandongan, wekton dan sorogan masih harus dipertahankan. Persoalan penting yang sudah sekian lama dihadapi oleh pesantren adalah bahwa keberadaannya belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah, termasuk oleh Departemen Agama sendiri. Padahal pendidikan pesantren sudah lahir sebelum lembaga-lembaga pendidikan modern muncul. Lebih dari itu, pesantren dalam sejarahnya, telah memberikan andil besar pada perjuangan kemerdekaan negeri ini. Dan, dari pesantren pula telah lahir tokoh-tokoh Islam yang memiliki kapabilitas dan integritas yang tinggi terhadap bangsa ini. Persoalan pengakuan terhadap pesantren, terutama pesantren salafiah dan diniyah, akhir-akhir ini semakin dirasakan mendesak untuk diselesaikan. Sebab tanpa pengakuan pemerintah, selain terasa adanya perlakuan diskriminatif, alumni pesantren tidak bisa mengakses peluang-peluang strategis di tengah masyarakat, baik terkait dengan lapangan kerja, studi lanjut, maupun juga peluang bagi alumninya masuk wilayah peran-peran politik yang mempersyaratkan ijazah formal. Pengakuan itu lambat diberikan karena terbentur oleh logika pendidikan yang agaknya berbeda antara pesantren dan pemerintah. Kyai pesantren lebih mengedepankan hal yang bersifat substantive, sedangkan pemerintah menuntut persyaratan yang bersifat formal. Seorang pengasuh pesantren, asalkan oleh masyarakat dianggap alim, sekalipun tidak memiliki ijazah, akan didatangi para santri. Waktu, tempat dan sarana belajar tidak menjadi perhatian. Sedangkan pemerintah lebih mengutamakan persyaratan formal seperti ijazah guru, tempat belajar, waktu belajar, sarana belajar, kurikulum dan seterusnya. Bahkan akhir-akhir ini pemerintah melalui Badan Standar Pendidikan Nasional merumuskan berbagai standard pendidikan, yang harus dipenuhi. Bagi pesantren yang dipentingkan bukan standard itu, melainkan sederhana, ialah niat yang harus diluruskan. Sementara itu, niat bagi orang yang belajar di sekolah umum, rupanya tidak mendapatkan perhatian. Umpama pemerintah dalam melihat pesantren tidak sebagaimana melihat sekolah umum pada umumnya, tetapi melihatnya sebagaimana apa adanya, yaitu pesantren ya pesantren, maka niat baik untuk mengakui pendidikan pesantren tidak ada sesuatu yang sulit. Hambatan itu terjadi, karena pemerintah ingin membuat standard, sementara pesantren karena merupakan pendidikan yang lebih bersifat personal, yaitu tergantung pada personal kyai atau pengasuhnya, maka akan sulit dilakukan. Mestinya, pesantren dilihat sebagaimana adanya. Pesantren memang berbeda dengan sekolah. Sehingga keberadaannya tidak perlu disamakan dengan sekolah, melainkan cukup diakui dan jika mungkin, karena sama-sama memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat, maka diberikan bantuan operasionalnya. Tiga Posisi Strategis Pendidikan NU Peran pendidikan NU yang bersifat alternative adalah pendidikan pesantren sebagaimana dikemukakan di muka. Pendidikan pesantren yang dirintis, dikelola, dan dikembangkan secara individual oleh para ulama dan tokoh NU selama ini sudah memberikan sumbangan besar pada masyaratat, pemerintah, dan bangsa Indonesia ini. Sekalipun para kyai atau ulama tatkala mendirikan pesantren tidak menamakan sebagai milik NU, tetapi mereka memiliki ikatan batin yang kuat pada organisasi NU. Tanpa didaftar sebagai milik NU, pesantren selalu dikatakan milik organisasi keagamaan terbesar ini. NU sekalipun secara organisatoris juga tidak ikut mengurus secara langsung, tetapi karena para pendiri dan pengelola yang sesungguhnya adalah orang NU, maka pesantren tersebut dianggap milik NU. Posisi seperti itu, menjadikan pesantren tidak merepotkan organisasi besar NU. Organisasi NU justru merasa sulit tatkala harus mengkoordinasikannya. Sehingga seringkali pesantren diumpamakan sebagai kerajaan kecil, masing-masing memiliki otonomi dan kewenangannya sendiri-sendiri. NU merasa memilikinya, tetapi sesungguhnya juga tidak berkewenangan apa-apa untuk mengaturnya. Hubungan pesantren dengan NU sebatas pada ikatan emosional atau state of mind, yaitu di antara banyak kyai atau ulama�pemilik pesantren memiliki ikatan ideologis yang sangat kuat, sekalipun tidak terjalin dalam ikatan struktur organisasi formal. Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa antara pesantren dengan NU tidak ada hubungan. Hubungan itu sangat kokoh. Misalnya, NU akan menyelenggarakan kegiatan, baik pada tingkat lokal, regional, dan bahkan nasional, maka pesantren akan mendukung sepenuhnya. Jika NU mengundang pesantren untuk membahas hal terkait dengan keagamaan atau lainnya, maka para kyai dan pengasuh pesantren akan hadir. Akan tetapi, sekali lagi, ikatan secara organisatoris tidak sekokoh ikatan ideologisnya. Otoritas kyai atau pengasuh pesantren seperti itu, di antaranya menjadikan sebab pemerintah mengalami kesulitan dalam memberikan pengakuan terhadap pesantren, terutama bagi pesantren salafiah dan diniyahnya. Pesantren berharap diakui oleh pemerintah, tetapi karena otoritas yang dimiliki sedemikian kuat, maka tidak mudah diselesaikan. Namun, apapun keadaannya, pesantren sesungguhnya telah menjadi alternative dan sekaligus memperkaya khazanah pendidikan di negeri ini. Peran NU lainnya dalam pengembangan pendidikan adalah bersifat partisipatif. Peran ini dirupakan dengan mendirikan sekolah-sekolah formal, seperti madrasah, sekolah, dan bahkan sekolah umum hingga sampai universitas. Dengan peran ini, maka di mana-mana ada madrasah atau sekolah, dan universitas dengan menggunakan nama atau setidak-tidaknya lambang-lambang NU. Lagi-lagi lembaga pendidikan seperti inipun seringkali pada awalnya juga didirikan secara perseorangan, baik yang ada di lingkungan pesantren maupun lainnya. Namun karena para pendiri itu secara idiologis memiliki ikatan dengan NU, maka kemudian lembaga pendidikan yang didirikan itu menggunakan simbol-simbol NU. Kenyataan seperti itu menjadikan pertumbuhannya, terutama dari aspek kuantitatif sangat cepat. Lembaga pendidikan NU menjadi ada di mana-mana, sampai-sampai jumlahnya kadang sulit dihitung secara pasti. Persoalan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan NU seperti ini, adalah terkait dengan keterbatasan penyediaan fasilitas dan dukungan dana. Biasanya biaya untuk mengembangkan lembaga pendidikan tersebut dicukupi secara mandiri. Lembaga pendidikan NU yang didirikan oleh orang-orang NU tetap memliki loyalitas yang sedemikian kuat terhadap organisasinya. Mereka bersemangat untuk berjuang dan sekaligus berkorban. Tidak jarang orang NU tatkala mendirikan lembaga pendidikan, memanfaatkan harta kekayaan pribadinya. Orang-orang NU tidak pernah mendapatkan sesuatu dari organisasinya, melainkan sebaliknya, justru memberikan sesuatu untuk organisasinya. Pemerintah tatkala menghadapi kesulitan memberantas korupsi seperti sekarang ini, mestinya bisa belajar banyak dari sikap mental yang berkembang di organisasi sosial keagamaan seperti NU ini. Di organisasi ini, sekalipun tidak ada pengawasan ketat dan juga ancaman risiko pelaku pelanggaran, ternyata tidak terdengar berita-berita penyimpangan yang dilakukan oleh para pemimpin organisasinya, termasuk di lembaga pendidikannya. Mereka dengan sukarela membesarkan organisasinya dengan kekuatan idiologis yang melahirkan kecintaan dan loyalitas itu. Bangsa ini sesungguhnya juga memiliki idiologi yang semestinya juga bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Selanjutnya, posisi strategis lembaga pendidikan NU lainnya adalah sebagai komplementer. Jenis pendidikan yang dimaksudkan ini berupa pesantren, ma�had, atau diniyah yang menyatu dengan sekolah formal, termasuk lembaga pendidikan yang berstatus negeri. Posisi strategis ini belum banyak dikembangkan, tetapi akhir-akhir ini sudah mulai. Adanya lembaga pendidikan diniyah di berbagai sekolah umum seperti di SD, SMP, dan SMA, SMK dan juga ma’had ‘aly di kampus-kampus kiranya sangat strategis untuk dijadikan basis pengembangan ideologi atau dakwah NU. Saya membayangkan, apabila orang-orang NU, atau mungkin juga diprakarsai secara organisasi, merintis kerjasama dengan sekolah-sekolah di berbagai jenjang pendidikan, mendirikan diniyah di sore hari, maka tanpa menambah jam pelajaran agama, maka NU dapat memanfaatkan peluang yang sangat terbuka ini untuk melengkapi pendidikan umum yang diselenggarakan oleh masing-masing sekolah itu. Pada saat ini rupanya sedang mulai muncul di berbagai tempat, semangat melengkapi pendidikan formal dengan apa yang disebut dengan ma’had ini. Madrasah dan juga sekolah yang mengembangkan pendidikan dengan istilah boarding school tersebut, pada hakikatnya adalah bentuk lain dari pesantren. NU perlu mengambil langkah-langkah strategis, memanfaatkan fenomena bermunculannya konsep boarding school atau ma’had madrasah atau ma’had kampus ini. Dalam mengelola boarding school, kiranya orang-orang NU memiliki pengalaman yang cukup banyak, apalagi bagi mereka yang pernah mengenyam pendidikan pesantren. Namun terlepas dari itu semua, sesungguhnya dengan lahirnya ma’had madrasah, sekolah, atau juga di perguruan tinggi, semisal di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, adalah kemenangan ideologi pesantren. Oleh karena itu jika orang-orang NU tidak segera merespon, maka momentum strategis itu akan hilang percuma dan bisa jadi akan dimanfaatkan bagi pihak-pihak lain. NU dalam sejarahnya, dalam pengembangan pendidikan selalu berada di posisi depan. Sehingga semestinya, tradisi itu tidak boleh dilewatkan begitu saja. Peran dan Langkah Strategis Yang Perlu Dikembangkan Pengurus NU yang membidangi pendidikan dalam hal ini adalah Ma’arif, menurut hemat saya bisa mengambil peran strategis lainnya yang diperlukan seperti misalnya, menjadi mediator, koordinator, dan juga peran-peran advokatif tatkala menghadapi pemerintah, maupun lembaga-lembaga lain yang diperlukan. Ma’arif bisa mengambil peran memperkukuh, sebagai sumber informasi, maupun ide-ide inovatif lainnya. Terkait hubungannya dengan pemerintah misalnya, Ma’arif bisa melakukan mediasi dan advokasi terhadap lembaga pendidikan di bawah organisasi NU. Peran tersebut mungkin dianggap kecil, tetapi sesungguhnya sangat diperlukan oleh lembaga pendidikan NU. Tatkala muncul inovasi pengembangan perguruan tinggi umum berupa rusunawa (rumah susun sederhana untuk mahasiswa), maka Ma’arif mestinya bisa menjadi mediator dan bahkan juga menawarkan konsep-konsep pengembangannya. Tampaknya hingga sekarang rusunawa baru difungsikan sebagai tempat tinggal mahasiswa. Maka NU dengan potensi pikiran cerdas dan pengalamannya, bisa menawarkan konsep pemanfaatan fasilitas tersebut. NU dengan pendidikan pesantrennya sangat kaya pengalaman dalam mengelola rusunawa yang selanjutnya difungsikan sebagai ma�had. Selain itu, pengembangan lembaga pendidikan, selalu memerlukan peran-peran publikatif dan pencitraan. NU selama ini sudah dipercaya secara meluas di berbagai kalangan. NU dijadikan referensi dalam berbagai kegiatan keagamaan. Siapapun, baik lembaga pemerintah maupun swasta, telah mempercayai orang-orang NU melakukan kepemimpinan dalam kehidupan keagamaan. Peran itu sekiranya diperluas, untuk membangun citra positif dan juga publikasi terhadap lembaga pendidikan di lingkungan NU akan luar biasa. Namun setahu saya, peran-peran strategis itu belum banyak dimainkan. Bahkan entah disengaja atau tidak, saya sering mendengar adanya tokoh NU justru menerangkan bahwa lembaga pendidikan NU masih mengalami ketertinggalan. Apa yang dijelaskan oleh tokoh NU itu juga ditunjukkan dengan mengirim anak atau keluarganya ke sekolah-sekolah yang bukan beridentitas NU. Akhirnya, warga NU percaya bahwa lembaga pendidikan NU nyata-nyata tidak maju, sehingga mereka yang mengirim anak atau keluarganya ke lembaga pendidikan NU adalah mereka yang dalam keadaan atau posisi darurat. Terpaksa menyekolahkan ke sekolah NU karena murah atau susah diterima oleh lembaga pendidikan lainnya. Mungkin tokoh NU yang melakukan seperti itu ingin menghargai orang lain di atas miliknya sendiri, tetapi dalam alam kompetitif seperti ini, tidak akan menguntungkan. Tokoh NU harus ikut mempublikasikan dan meyakinkan bahwa lembaga pendidikan yang beridentitas NU, di bawah Ma’arif, bukan sebatas sebagai pelengkap, tetapi memiliki kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki oleh jenis lembaga pendidikan lainnya. Kelebihan itu misalnya, bahwa lembaga pendidikan NU memberikan kekuatan lebih, misalnya dalam membangun watak atau akhlak, spiritual, disamping memberikan bekal ilmu dan ketrampilan sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya. Setidak-tidaknya saya mengajak agar kita semua bangga dengan lembaga pendidikan NU, dan mendukung dengan cara apa saja yang bisa dilakukan. Jika warga NU yang jumlahnya sedemikian besar serta memiliki potensi yang sedemikian banyak, berhasil digerakkan untuk membesarkan lembaga pendidikannya, maka ber NU akan menjadi lebih bangga dan keberadaannya bukan hanya sebatas alasan meneruskan tradisi yang telah diwariskan oleh leluhurnya. NU memang menjadi tempat bagi orang-orang yang ingin mewarisi ajaran Rasulullah, para sahabat, dan para ulama yang hidup sambung-menyambung dari generasi ke generasi. Semua itu memerlukan instrumen yang disebut lembaga pendidikannya. Dengan cara pandang seperti itu, merintis, mengelola dan mengembangkan pendidikan telah didasari oleh ideologi yang kokoh dan kuat, sehingga mendirikan lembaga pendidikan bukan sebatas meniru, karena orang lainb melakukannya. Pendidikan NU akhirnya berhasil menjadi pilihan utama bagi orang-orang NU sendiri, dan syukur juga bagi orang yang lain karena kelebihannya itu. Wallahu a’lam. |