PERBEDAAN PERBEDAAN ANTARA QURBAN DAN ZAKAT

Apa yang berkembang di tengah masyarakat untuk menyamakan antara qurban dan zakat, sedikit banyak memang ada benarnya. Pada salah satu dimensi kecil ibadah qurban, memang kita temukan nuansa sosial, yaitu ketika daging qurban itu diberikan kepada fakir miskin.

Namun tujuan utama penyembelihan hewan qurban bukan terletak pada dimensi sosialnya. Jadi meski sama-sama punya dimensi sosial dan terkait dengan ibadah yang menggunakan harta benda (ibadah maliyah), namun keduanya tetap saja berbeda.

Dan kalau kita dalami lebih jauh, ternyata perbedaan antara qurban dan zakat cukup banyak, dan bukan hanya pada tataran teknis, tetapi termasuk juga pada tataran perbedaan prinsip dasar.

Oleh karena itu sebagai muslim yang baik, kita perlu mempelajari lebih dalam masing-masing karakter antara qurban dengan zakat. Tujuannya agar ibadah kita bisa lebih optimal, dan tentu saja tujuan utamanya adalah demi terjaganya keaslian (ashalah) syariah Islam yang kita jalankan.

Diantara sekian banyak perbedaan antara qurban dengan zakat adalah :

  1. Qurban Hukumnya Sunnah Zakat Hukumnya Wajib

Satu perbedaan yang paling fundamental antara qurban dan zakat adalah dari sisi hukumnya. Ibadah menyembelih hewan qurban hukumnya bukan wajib melainkan sunnah muakkadah. Sedangkan hukum mengeluarkan harta zakat bagi yang sudah memenuhi ketentuannya adalah wajib.

Oleh karena itu, secara logika dasar, seharusnya kita lebih mendahulukan dan mementingkan bayar zakat ketimbang berqurban. Jangan sampai terbalik, berqurban terlalu rajin tetapi bayar zakat malah tidak pernah.

  1. Qurban : Ibadah Ritual, Zakat : Ibadah Sosial

Yang dimaksud dengan ibadah ritual adalah ibadah yang maknanya tidak bisa dipahami dengan akal sehat dan nalar yang logis. Segala tata cara dan ketentuannya telah ditetapkan langsung oleh Allah SWT. Dan terkadang memang kita sulit memahaminya dengan akal sehat.

Oleh karena itu para ulama sering menyebut ibadah ritual dengan julukan : ibadah ghairu ma’qulil ma’na (غير معقول المعنى). Sebuah jenis ibadah yang maknanya tidak bisa didekati dengan nalar dan logika.

Dalam hal ini, intisari ibadah qurban tidak terletak pada sedekah dan bagi-bagi daging kepada fakir miskin, tetapi justru pada penyembelihannya itu sendiri. Asalkan hewan qurban itu sudah disembelih dengan benar, maka selesailah sudah ibadahnya.

Ketika Nabi Ibarahim alaihissalam selesai menyembelih kambing, tidak ada saat itu acara bagi-bagi daging kambing kepada masyarakat. Memang kebetulan tempat dimana beliau menyembelih itu, yaitu Mina, saat itu memang tidak ada penduduknya. Namun meski dagingnya cuma dibuang begitu saja, ritual penyembelihan qurban sudah sah, dan persembahan kepada Allah tentu sudah diterima.

Dan ternyata 40 abad kemudian, yaitu hari ini, Mina sebagai tempat penyembelihan hewan qurban, dam dan hadyu, tetap saja masih tidak berpenghuni. Mina didatangi manusia dalam setahun cuma empat hari saja, yaitu tanggal 10,11,12 dan 13 Dzulhijjah. Di luar keempat hari itu, Mina kosong tak berpenghuni.

Sebaliknya, di empat hari itu, tiba-tiba jutaan manusia tumplek ke Mina dan masing-masing bawa hewan ternak untuk disembelih. Maka jutaan tubuh hewan qurban itu dibuang begitu saja. Kalau pun sebagiannya dibekukan atau dikemas dalam kaleng, tetap saja tidak akan bisa mengkover seluruhnya. Sebab jumlah hewannya bisa jutaan ekor.

Akibatnya, hewan-hewan sembelihan itu dibiarkan begitu saja membusuk. Nah, inilah yang secara nalar sulit diterima akal sehat, tetapi karena memang menyembelih qurban itu merupakan ibadah ritual, hukumnya sudah sah, walaupun dagingnya cuma dibuang dan dimakan hewan pemakan bangkai.

Oleh karena itu, yang lebih afdhal dan utama, kita sendirilah yang melakukan penyembelihannya, setidaknya ikut menghadiri penyembelihan itu. Sebab ibadahnya justru pada penyembelihannya dan bukan pada distribusi dagingnya.

Kalau kita berniat mau memberi makan fakir miskin, apalagi ingin mengangkat mereka dari kemiskinannya, justru sebaiknya kita tidak usah berqurban, tetapi kita memberi zakat, infaq atau sedekah. Sebab zakat memang semata-mata bertujuan unntuk memberikan harta kepada mereka. Dan bentuknya tidak harus berupa daging.

Kita bisa beri mereka dalam bentuk uang, karena mereka justru lebih membutuhkan uang ketimbang daging. Sebab barangkali mereka perlu bayar kontrakan rumah yang sudah menunggak beberapa bulan. Dan bisa juga dijadkan sebagai biaya sekolah anak, atau biaya untuk berobat ke rumah sakit dan seterusnya.

Dan tidak mungkin bagi orag miskin membayar semua kebutuhan hidup itu dengan memakai daging qurban. Sebab daging qurban bukan alat pembayaran yang sah. Mana mau sekolah dibayar dengan daging qurban?

  1. Penerima Qurban Berbeda Dengan Penerima Zakat

Yang berhak makan daging qurban amat luas. Dan boleh dibilang siapa saja boleh memakannya, termasuk yang utama adalah kita sendiri yang menyembelih, malah disunnahkan untuk ikut memakannya.

Selain itu, daging hewan qurban itu boleh kita hadiahkan kepada siapa saja yang kita sukai, tidak harus mereka yang miskin. Orang kaya dan makmur hidupnya, boleh saja kita hadiahi. Bahkan boleh jadi si kaya itu pun menyembelih hewan qurban juga. Malah bisa saja dia lebih banyak menyembelih hewan ketimbang kita.

Ibaratnya, kita cuma menyembelih seekor kambing kurus. Sedangkan tetangga kita yang kaya raya itu menyembelih sapi, bukan cuma seekor tetapi tujuh ekor sendirian. Tetap saja kita boleh memberinya hadiah sekantung daging kambing yang kita sembelih kepadanya.

Bagaimana dengan zakat?

Syariat Islam tegas menyebutkan bahwa penerima zakat amat terbatas, yaitu hanya apabila mereka termasuk salah satu dari delapan ashnaf. Dan ketentuan itu tidak bisa diotak-atik seenaknya. Sebab yang menetapkan langusng Allah SWT dan bukan kita.

Bahkan janda dan anak yatim sekali pun, bukan termasuk ashnaf yang berhak menerima zakat, selama mereka bukan orang miskin. Masjid, madrasah, pesantren dan pengajian majelis taklim juga bukan penerima zakat yang sah.

Orang kafir dan keluarga Nabi SAW juga termasuk yang diharamkn menerima harta zakat.

Sedangkan daging hewan qurban, boleh saja dimakan oleh orang orang kafir dan keluarga Nabi SAW. Satu saja yang haram dilakukan atas daging qurban, yaitu dijual atau dijadikan alat pembayaran jagal dan panitia. Jagal dan panitia boleh ikut makan, tetapi bukan dalam rangka ‘upah’ dan ‘honor’ kerja mereka.

  1. Qurban Harus Berbentuk Hewan Tertentu Yang Disembelih

Namanya saja qurban, maka bentuknya harus berwujud hewan tertentu yang disembelih. Jenis hewannya pun tidak boleh sembarangan, harus kambing, sapi dan unta, atau variannya. Menyembelih ayam pedaging walaupun jumlahnya 200 ekor, tetap saja tidak bisa dibilang qurban.

Begitu juga menyembelih burung perkutut juara berkicau yang harganya ratusan juta, tetap saja tidak sah untuk dijadikan hewan qurban.

Sedangkan zakat, bentuknya bisa berupa uang tunai, tetapi bisa juga dalam bentuk hewan, hasil panen, emas, perak, dan lainnya. Semua tergantung jenis zakatnya.

  1. Qurban Tidak Mensyariatkan Amil

Ibadah penyembelihan hewan qurban tidak mensyariatkan keberadaan amil qurban sebagaimana lazimnya zakat. Kalau ada semacam kepanitiaan penyembelihan hewan qurban, statusnya jauh berbeda dengan status amil zakat.

Keberadaan amil zakat ditetapkan di dalam Al-Quran Al-Karim, bahkan apa yang menjadi hak amil zakat pun jelas landasannya. Karena dari delapan ashnaf penerima zakat, amil zakat malah berada dalam urutan ketiga, setelah fakir dan miskin.

Artinya, amil zakat memang diperlukan keberadaannya dan diakui hak-haknya. Jumhur ulama sepakat bahwa hak amil adalah 1/8 atau 12,5% dari total harta zakat yang terkumpul.

Bagaimana dengan panitia qurban?

Al-Quran sama sekali tidak menyebut-nyebut pensyariatan panitia penyembelihan hewan qurban. Dan wujudnya di dalam kehidupan Rasulullah SAW pun tidak seperti masa sekarang ini.

Ali bin Abu Thalib radhiyallahuanhu pernah dimintai tolong oleh Rasulullah SAW untuk mengurus hewan-hewan qurban. Tetapi sifatnya memang benar-benar menolong secara ikhlas tanpa mengharapkan imbalan atau pamrih apa pun.

Dan tetap saja Rasulullah SAW tidak pernah mendirikan institusi yang disebut sebagai panitia penyembelihan hewan qurban. Sebagaimana beliau juga tidak pernah mendirikan panitia penyelenggaraan Shalat Idul Fithri dan Shalat Idul Adha.

Namun bukan berarti keberadaan panitia qurban itu menjadi bid’ah atau terlarang, mentang-mentang di masa Nabi SAW tidak pernah didirikan. Hanya yang perlu kita catat, keberadaan panitia itu sifatnya teknis saja sesuai dengan kebutuhan.

  1. Amil Qurban Tidak Boleh Diupah Dengan Daging Qurban

Harus dijelaskan dengan gamblang bahwa bukan tidak boleh buat panitia ikut makan dan kebagian pembagian daging hewan qurban. Kalau orang kafir saja dibolehkan ikut makan dan kebagian daging qurban, masak panitia yang membagikan malah tidak boleh ikut makan dan tidak boleh kebagian?

Yang tidak boleh buat panitia itu bukan ikut makan atau kebagian daging, tetapi yang diharamkan adalah panitia mengambil daging atau bagian tubuh hewan qurban sebagai upah atau honor. Kalau sebagai anggota masyarakat yang menerima pembagian, tentu boleh saja hukumnya.

Sayangnya, banyak orang yang susah membedakan antara pembagian daging dan upah lelah jadi panitia. Ada begitu banyak panitia penyembelihan hewan qurban yang merasa dirinya seperti amil zakat, yaitu merasa berhak mendapatkan imbalan dari daging hewan.

Buktinya, kalau dalam pembagian daging, masyarakat cuma dapat satu kantung untuk tiap kepala keluarga, maka anggota panitia qurban bisa bawa pulang 5 hingga 10 kantung. Bahkan masih ditambah lagi jatah kepala, kaki, kulit dan lainnya.

Bahkan panitia merasa berhak menjual kepala, kulit, kaki dan bagian lain dari tubuh hewan qurban, lalu uangnya dibagi-bagi sebagai ‘honor’ tambahan. Seolah-olah hewan qurban yang sudah diserahkan oleh pemiliknya itu 100% berubah jadi milik panitia secara mutlak.

Lalu apakah panitia tidak boleh diberi uang lelah?

Jawabnya tentu saja boleh, bahkan sudah seharusnya mereka dibayar secara profesional. Selain dapat jatah pembagian daging, kantung mereka seharusnya diisi dengan uang, misalnya masing-masing dapat 200 ribu bersih.

Cuma yang jadi catatan, sumber uang honor buat panitia itu harus diambilkan dari luar bagian hewan qurban. Misalnya, pihak yang menitipkan hewan qurban memberikan uang kelebihan di luar harga kambing. Katakanlah untuk seekor kambing yang dititipkan, ada uang jasa panitia sebesar 200 ribu.

Bagaimana dengan zakat?

Nah, disinilah bedanya qurban dengan zakat. Di dalam syariat zakat, amil zakat bukan cuma boleh digaji, tetapi malah wajib digaji dan gajinya diambilnya dari harta zakat yang terkumpul. Dengan kata lain, amil zakat berhak MEMOTONG dana zakat sampai 12,5% alias 1/8 bagian.

Sebuah angka yang cukup tinggi nilainya. Dan hal itu diharamkan dalam kepanitiaan penyembelihan hewan qurban.

  1. Qurban Tidak Memberlakukan Nishab, Haul dan Kadar Yang Dikeluarkan

Dalam zakat kita mengenal nishab, haul dan kadar zakat yang wajib dikeluarkan. Bila suatu harta belum mencapai nilai nishab dan masa kepemilikanya belum satu haul (tahun), maka belum wajib zakat.

Misalnya orang yang punya 80 gram emas, tentu belum wajib berzakat, karena nishab emas yang 85 gram belum terpenuhi. Atau mungkin emasnya 100 gram, tetapi masa kepemilikannya belum genap setahun, maka juga tidak wajib berzakat.

Ketika nishab dan haulnya sudah terpenuhi, barulah wajib dikeluarkan zakatnya. Itu pun masih ada hitungan dan ketentuannya, yaitu yang wajib dizakati hanya sekian persen saja.

Bagaimana dengan qurban?

Kita tidak mengenal batas nishab dan haul dalam penyembelihan hewan qurban. Tidak ada batas minimal dan nilai tertentu yang mewajibkan seseorang berqurban. Dan hewan qurban atau pun uang untuk membelinya tidak harus dimiliki dulu selama setahun.

Dalam ibadah qurban, siapa saja yang merasa mampu membeli hewan qurban, silahkan saja dia menyembelihnya. Orang yang jumlah kekayaannya trilyunan boleh saja menyembelih seekor kambing. Sedangkan yang jumlah kekayaannya cuma milyaran, boleh menyembelih sapi. Semua boleh dilakukan suka-suka, toh hukumnya pun bukan kewajiban.

  1. Waktu Pelaksanaan

Di antara perbedaan antara qurban dengan zakat adalah dalam masalah waktu pelaksanaan. Qurban dilaksanakan seusai shalat Idul Adha, hingga tiga hari berikutnya. Tepatnya sejak selesai shalat Idul Adha pada tanggal 10 dan berakhir hingga masuk Maghrib di tanggal 13 bulan Dzulhijjah. Berarti total selama empat hari lamanya.

Sedangkan waktu untuk melaksanakan ibadah zakat, tentu berbeda dengan qurbn.

Khusus untuk zakat fithrah, dilakukan sebelum shalat Idul Fithri. Dan sudah boleh dilakukan sejak 2 atau 3 hari sebelumnya. Bahkan ada pendapat ulama yang membolehkan dilakukan sejak awal Ramadhan.

Di luar zakat al-Fithr, waktu pelaksaan zakat-zakat yang lain malah sepanjang tahun tanpa ada batasnya. Dua belas bulan dalam setahun, 30 hari dalam sebulan, dan 7 hari dalam seminggu, semua adalah waktu untuk berzakat. Semua kembali kepada jatuh tempo masa kepemilikan yang sudah memenuhi haul sejak tembus nilai nishabnya.

Zakat pertanian, rikaz dan ma’adin dikeluarkan saat seseorang menerima harta itu.

Prinsipnya, setiap jenis harta ada waktunya sendiri-sendiri untuk membayarkan zakatnya. Sehingga orang yang punya beberapa jenis harta yang berbeda, bisa saja dalam setahun mengeluarkan zakat berkali-kali. Hari ini bayar zakat panen hasil pertanian, besok bayar zakat ternak, lusa bayar zakat simpanan emas dan perak, setelah itu bayar zakat al-fithr dan begitu seterusnya.

Sedangkan penyembelihan hewan qurban hanya boleh dilakukan dalam empat hari itu saja. Di luar empat hari yang sudah ditetapkan, sudah tidak sah lagi sebagai qurban.

Sebenarnya masih banyak lagi perbedaan antara qurban dengan zakat. Tetapi di cukupkan saja sampai disini. Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam bishshawab,