FAROIDL: PENYEBAB TIDAK MENDAPAT WARISAN, RADD DAN DZAWIL ARHAM

■ Pengembalian Harta Warisan (Radd) dan Dzawil Arham

Jika mayat tidak mempunyai ahli waris maka harta peninggalan tidak boleh diberikan kepada dzawil arham.

Apabila harta peninggalan itu masih bersisa maka tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan bagian pasti. Akan tetapi, harta peninggalan harus diberikan kepada baitul mal.

Namun, kalangan ulama mutaakhirin berpendapat, jika baitul mal masih belum bekerja dengan baik karena pemimpin yang tidak jujur maka harta peninggalan itu diberikan kepada ahli waris yang mendapatkan bagian pasti selain suami atau istri. Pengembalian itu berdasarkan pada bagian-bagian mereka yang telah ditentukan dan dipastikan. Apabila mereka semua tidak ada maka harta peninggalan diberikan kepada dzawil arham karena mengacu pada hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah dari al-Miqdam bin Ma’di Yakrib ra, “ Siapa saja yang meninggal dunia maka ahli warisnya berhak mendapatkan harta peninggalannya, dan aku adalah ahli waris bagi mayat yang tidak mempunyai ahli waris sebagai denda darinya. Bibi dari ibu adalah ahli waris bagi mayat yang tidak mempunyai ahli waris,sebagai denda darinya dan dia pun berhak mendapatkan warisannya. “

Alasan dzawil arham didahulukan dalam hal pengembalian sisa warisan karena kerabat yang berhak atas bagian pasti itu lebih utama. Jika mereka mendapatkan harta warisan maka cara pembagiannya adalah dengan sama rata. Adapun dzawil arham , yaitu selain kerabat yang telah mendapatkan harta warisan.

Jumlahnya ada sepuluh kelompok, sebagai berikut.

1) Ayahnya ibu.

2) Kakek atau nenek yang tidak mendapatkan harta warisan, seperti ayahnya ayah dari ibu dan ibunya ayah dari ibu. Mereka tergolong dalam satu kelompok.

3) Anak-anak dari anak perempuan sekandung seperti cucu perempuan dari anak perempuan atau dari anak laki-laki seperti anak perempuannya anak perempuan dari anak laki-laki, baik mereka dari kalangan laki-laki maupun perempuan.

4) Anak-anak perempuan dari saudara kandung, seayah atau seibu.

5) Anak-anak dari saudari sekandung, seayah atau seibu.

6) Anak laki-laki dan perempuan dari saudara seibu.

7) Paman dari ayah yang seibu.

8) Anak perempuan paman dari ayah kandung, seayah atau seibu dan juga anak laki-lakinya paman dari ayah yang seibu.

9) Bibi dari ayah.

10) Paman dan bibi dari ibu.

Termasuk dzawil arham yaitu mereka yang garis keturunannya melalui kelompok yang telah disebutkan di atas selain dari kakek dan nenek karena terkadang orang yang melalui jalur kakek atau nenek bisa menerima warisan.

■ Faktor-Faktor Penyebab Terhalangnya Pewarisan

Adapun penyebab terhalangnya pewarisan ada empat, yaitu sebagai berikut.

1) Membunuh. Yaitu, pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris kepada orang yang mewariskannya dengan alasan dan cara apa pun, baik pembunuhan itu karena menjalankan qishas, hudud, dan selainnya; lupa atau sengaja; secara langsung atau menggunakan penyebab lain.

Singkatnya ahli waris tidak berhak mendapatkan warisan bila terlibat dalam hal yang menyebabkan orang yang akan mewariskan meninggal dunia.

Adapun dalilnya adalah sabda Rasulullah saw, “ Pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan dari orang yang dibunuh .” Sebab, jika seorang pembunuh mendapatkan warisan bisa jadi mereka akan berusaha untuk membunuh orang yang akan mewariskannya. Pelarangan warisan ini untuk kemaslahatan, sebab pembunuhan bisa mempercepat kematian yang merupakan salah satu unsur diperolehnya warisan.

2) Berbeda agama atau kafir. Orang Islam tidak boleh menerima warisan dari orang kafir begitu juga sebaliknya. Menurut pendapat yang masyhur kafir harbi (orang kafir yang berperang dengan kaum muslimin) tidak boleh mewariskan kepada kafir harbi atau kafir dzimmi (orang kafir yang hidup berdampingan dengan orang Islam dan di bawah kekuasaan pemerintahan Islam). Orang murtad tidak boleh mewarisi dan mewariskan. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Burdah dikatakan, “Rasullullah memerintahkan aku untuk menghukum mati orang yang mengawini ibu tirinya, kemudian membagi lima hartanya karena dia termasuk orang yang telah murtad.”

Orang kafir boleh mewarisi orang yang kafir pula, seperti kafir mu’ahid, dzimmi, dan musta’min walaupun keduanya berbeda agama, seperti Yahudi dari Nasrani dan juga sebaliknya; Nasrani dari Majusi; Majusi dari orang yang menyembah berhala (Paganisme) dan juga sebaliknya karena semua agama itu dikelompokkan dalam satu agama yaitu sama-sama agama batal. Allah SWT berfirman, “ Maka tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan ,” (QS. Yunus [10]: 32).

Ketentuan itu berlaku baik salah satu dari mereka berada di negara Islam dan yang satunya berada di negara kafir maupun tidak.

Adapun dasar atau dalil yang melarang pewarisan beda agama adalah hadits Rasulullah saw, “ Orang kafir tidak boleh menerima waris dari orang Islam dan juga sebaliknya ,” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

3) Budak. Budak atau hamba sahaya tidak berhak mewariskan dan mewarisi karena budak tidak mempunyai hak milik. Allah SWT berfirman, “ Allah membuat perumpamaan seorang hamba sahaya di bawah kekuasaan orang lain, yang tidak berdaya berbuat sesuatu ,” (QS. an-Nahl [16]: 75). Budak muba’adh yaitu budak yang sebagiannya merdeka dan sebagian yang lain masih berstatus budak, ia juga tidak berhak menerima waris.

4) Mati misterius. Apabila ada dua orang bersaudara meninggal dunia karena tenggelam, tertimpa sesuatu, atau raib serta tidak diketahui siapa yang meninggal lebih dulu, maka salah satunya tidak berhak menerima warisan dari yang lain. Harta yang ditinggalkan oleh mereka berdua diberikan kepada ahli waris lainnya.

Sedangkan pembagian warisan bagi orang yang dipenjara atau orang hilang (mafqud ) ditangguhkan sehingga diperoleh informasi yang valid tentang mereka berdua. Apabila dia telah nyata meninggal yang dibuktikan dengan saksi atau dengan perkiraan bahwa orang yang semasa dengan orang yang menghilang telah meninggal maka hakim boleh memutuskan kematiannya. Bila hakim telah memutuskan kematian orang hilang tersebut, maka warisan diberikan kepada ahli waris yang berhak pada saat dia dinyatakan meninggal, bukan pada saat dia dinyatakan hilang.

Jika orang hilang itu mempunyai hak waris maka hak warisnya ditangguhkan dulu sebelum didapatkan informasi akurat bahwa dia masih hidup di saat orang yang mewariskannya meninggal atau telah meninggal lebih dulu. Untuk ahli waris yang lain, lakukanlah kemungkinan yang paling benar. Ahli waris yang terhalang oleh orang hilang itu (mafqud), tidak boleh menerima warisan hingga keberadaan mafqud telah ditemukan. Ahli waris yang berkurang pembagian warisannya karena mafqud masih hidup, maka perkirakanlah bahwa mafqud masih hidup. Bila ahli waris berkurang pembagian warisannya karena mafqud sudah mati, maka perkirakanlah bahwa mafqud sudah meninggal dunia. Sedangkan ahli waris yang bagian warisannya tidak terpengaruh oleh hidup dan matinya mafqud maka berikanlah haknya, seperti anak lakinya mafqud, anak perempuannya, dan suaminya karena suami dalam kondisi apa pun tetap mendapatkan seperempat.

Bilamana mafqud meninggalkan istri yang sedang hamil, maka anak tersebut berhak menerima warisan dengan cara memperkirakan jenis kelaminnya, lelaki atau perempuan. Hal ini dilakukan untuk menjaga hak janin dan hak orang lain sebelum anak itu lahir. Apabila anak itu lahir dalam keadaan hidup sampai masa mafqud dinyatakan telah meninggal dunia, semisal bayi itu lahir prematur (kurang dari enam bulan) dalam status perkawinan masih belum dinyatakan cerai atau lahir kurang dari masa maksimal kehamilan pada waktu perkawinan telah putus, maka bayi itu masih berhak menerima warisan dari mafqud, karena bayi itu masih mempunyai hubungan nasab dengannya. Berbeda halnya jika yang terjadi adalah sebaliknya.

Pewarisan yang berhubungan dengan khunsa musykil -waria yang sulit ditentukan kelaminnya. Khunsa musykil ada dua macam, yaitu sebagai berikut:

1) Khunsa yang tidak berkelamin laki-laki dan perempuan, namun hanya mempunyai lubang yang berfungsi mengeluarkan air seni dan tidak menyerupai kemaluan laki-laki atau perempuan.

2) Khunsa yang mempunyai dua kemaluan laki-laki atau perempuan. Inilah yang sering terjadi di kalangan kaum waria.

Adapun hukumnya yaitu apabila hak warisnya sama baik laki-laki maupun perempuan seperti saudara seibu, maka proses pewarisannya sudah jelas. Namun, bila bagian hak warisnya berbeda, maka selesaikanlah pewarisan itu dengan mengacu pada kelamin yang diyakini.

Bila masih diragukan, maka proses pewarisan ditangguhkan sampai jenis kelaminnya dapat diketahui dengan pasti, baik dari informasi dari dirinya sendiri, haid, atau bisa dilihat dari kecenderungannya pada saat keluar sperma. Selain itu, dapat pula diketahui dengan cara melihatnya pada saat mengeluarkan air kencing. Apabila di saat buang air kecil seperti laki-laki, yaitu air kencingnya memancar ke depan, berarti dia laki-laki.

Apabila di saat buang air kecil seperti perempuan, yaitu berjongkok, maka dia adalah perempuan.