KITAB CETAKAN LUAR NEGERI DAN CETAKAN KUDUS

  K WAHAB             Dekrit Presiden Soekarno Juli 1959 tidak saja meramaikan Indonesia yang umurnya belum genap lima belas tahun. Dekrit yang di antaranya berisi membubarkan DPR itu juga bikin geger di NU, yang waktu itu menjadi partai.

Mbah Bisri Syansuri ngotot agar NU tidak bergabung dengan DPR-GR bentukan Bung Karno. Beliau berdalil bahwa pembubaran DPR hasil pilihan rakyat oleh Bung Karno tidak sah secara fiqih. Hukumnya haram masuk DPR-GR yang main tunjuk itu, apalagi suara Masyumi dihilangkan.

“Bung Karno nggosob. Suara orang Islam jadi kecil karena Masyumi dicoret,” begitu kira-kira kata Mbah Bisri, Wakil Rais Aam PBNU saat itu.

Sementara itu, Rois Aam PBNU, Mbah Wahab Chasbullah punya pikiran lain. Ia bersebrangan dengan wakilnya yang juga iparnya itu.

“Sssst… jangan banter-banter, Kiai. Kita tidak bisa memastikan pencoretan Masyumi itu nggosob atau tidak. Yang pasti, kalau NU tidak masuk DPR-GR, suara orang Islam makin tidak terwakili,” Mbah Wahab menjelaskan dengan kalem.

“Lalu kalau masuk bagaimana?” tanya Mbah Bisri. Mbah Wahab menjawab, juga dengan kalem, “Masuk saja dulu. Nanti kalau mau keluar sih gampang.” Mbah Bisri diam saja, tidak puas, tapi sepertinya mengaku dalilnya patah. Pendek kata, akhirnya beliau mengikuti keputusan Mbah Wahab.

Tapi, tugas Mbah Wahab belum selesai. Ia harus menghadapi Kiai Abdul Jalil dari Kudus. Seperti Mbah Bisri, awalnya Kiai Jalil juga tidak sepahaman NU harus masuk DPR-GR. Tapi tak seperti Mbah Wahab yang ofensif, Kiai Jalil hanya bertanya tentang keabsahan DPR-GR. Ia terkesan hati-hati, mungkin segan dengan Mbah Wahab. “Apa hukumnya masuk DPR-GR?” kira-kira begitu soal Kiai Jalil.

Jawaban Mbah Wahab justru ketus, mungkin tahu dirinya di atas angin. “Sampeyan ikut saya saja, Kiai Jalil. Kitab sampeyan itu cuma cetakan Kudus. Ndak imbang berdebat DPR-GR dengan saya. Kitab saya cetakan luar negeri,” jawab Mbah wahab tanpa tedeng aling-aling.