MEMINTA KERINGANAN KERJA KARENA SEDANG HAMIL

  1. wanhaBagaimana hukumnya harta pensiunan, jika si pemilik pensiunan tersebut sudah meninggal dunia? Apakah harta tersebut termasuk tirkah yang tersebut dalam ilmu faraidl? Jika tidak, siapakah yang menjadi pemilik harta tersebut?
  2. Bagaimana pandangan hukum terhadap orang yang mempunyai kadar seksual yang tinggi, kemudian ia menikah lagi dengan alasan untuk mengimbangi keadaannya demi menjaga dari kemaksiatan. Padahal jika perrnikahan itu dilaksanakan maka akan menyakiti hati isterinya yang pertama. Apakah agama menganjurkan untuk izin dahulu kepada isteri pertama? Dan bagaimana sikap isteri yang tidak menyetujui kehendak suaminya tersebut?
  3. Bagaimana hukumnya orang yang menginginkan air maninya keluar tanpa berhubungan dengan isterinya, tetapi cukup dengan mendekapnya sehingga keluarlah air mani dan merasa puas dengan pekerjaan ini dengan alasan menjarangkan kehamilan? Bagaimana sikap suami yang isterinya meminta kelonggaran untuk hamil lagi? Apakah sikap isteri tersebut berdosa?
  4. Bagaimana tanda-tanda selesainya nifas, sebab kadang-kadang sudah bersih ternyata ada sedikit cairan putih kekuning-kuningan dan sudah melewati masa 40 hari dan sudah terlanjur shalat begitut mengetahui sudah bersih?
  5. Bagaimana kita berbuat baik kepada orang tua dan mertua? Apakah harus disamakan sikap dan pelayanan kita terhadap keduanya?

Jawaban

  1. Uang pensiun itu tidak dikenal dalam kitab-kitab fiqih klasik, sebab:
    • Uang pensiun tersebut berasal dari tabungan yang diambil dari sebahagian gaji pegawai penerima pensiun sewaktu masih aktif dan jumlah pensiun yang diterima oleh pegawai tersebut setelah pensiun atau oleh isterinya setelah pegawai penerima pensiun tersebut meninggal dunia adalah diperhitungkan dengan jumlah gaji yang diterima oleh pegawai tersebut sewaktu masih aktif. Dari ini, maka pensiunan itu dapat dianggap sebegai harta warisan. Akan tetapi, orang-orang yang berhak menerima uang pensiun tidak semua ahli waris menurut fara’id, akan tetapi sudah ditentukan oleh Pemerintah pemberi pensiun. Dan jika pegawai penerima pensiun tersebut sudah meninggal dunia, maka yang boleh menerima uang pensiun hanyalah isterinya saja yang jumlahnya sudah dikurangi dengan hak suaminya.
    • Uang pensiun yang diberikan kepada penerima pensiun tersebut tidak sepenuhnya berasal dari jumlah uang tabungan dari penerima pensiun, karena apabila ada seseorang pegawai negeri tetap yang baru bekerja enam bulan misalnya, kemudian dia meninggal dunia, maka isterinya berhak menerima pensiun selama hidupnya, dengan catatan tidak kawin lagi dengan orang lain. Sebaliknya jika ada seseorang pegawai negeri yang sudah 40 tahun bekerja, kemudian meninggal dunia dan setelah 5 bulan isterinya kawin lagi dengan orang lain, maka isteri tersebut sudah tidak berhak menerima uang pensiun, padahal menurut perhitungan akal, tabu ngan mantan suaminya masih banyak jumlahnya.

Jadi uang pensiunan yang diberikan oleh Pemerintah itu tidak ada hukumnya dalam fikih Islam karena hanya merupakan santunan yang aturannya sudah ditetapkan oleh Pemerintah sendiri. Berbeda dengan uang pensiunan dari perusahaan swasta, yang boleh diminta sekali gus (tidak diterima setiap bulan seperti pensiunan yang diberikan oleh Pemerintah), maka uang tersebut berupa tirkah yang dapat diwaris menurut fara’id.

  1. Agama Islam tidak menganjurkan kepada orang laki-laki yang sudah beristeri untuk meminta izin kepada isterinya waktu mau kawin lagi. Jika karena kawin lagi isterinya sakit hatinya, maka sang suami tidak akan dituntut di akhirat, sebab menurut ajaran agama Islam seorang laki-laki itu boleh kawin sampai empat orang. Orang laki-laki yang kawin lebih dari satu orang isteri itu akan dituntut di hari kiamat manakala dia tidak adil kepada isteri-isterinya dalam mas’alah nafkah lahir maupun batin dan masalah giliran.

Dasar pengambilan:

Al Qur’an surat An Nisa’ ayat 3 yang antara lain berbunyi:

… فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ … الآية

Dan kawinlah wanita-wanita yang kamu sekalian sukai dua, atau tiga atau empat …

  1. Hukum mengeluarkan air mani tersebut boleh menurut Imam Ghozali dan makruh menurut ulama’ madzhab Syafi’i. Kebolehan mengeluarkan air mani di luar farji isterinya tersebut harus mendapat izin dari isterinya, jika isterinya adalah orang merdeka; dan jika budak belian maka tidak harus idzin. Menurut madzhab Hanafi, apabila ada udzur seperti bepergian jauh atau di negeri musuh yang tidak dikehendaki kelahiran anak, maka diperbolehkan tanpa idzin isterinya.

Dasar pengambilan:

Kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu Juz 7 Halaman 332-333

اَلْعَزْلُ ( إِلْقَاءُ مَنِيِّ الرَّجُلِ خَارِجَ الْفَرْجِ ) قَالَ الشَّافِعِيَّةُ: يُكْرَهُ الْعَزْلُ لِمَا رَوَتْ جُذَامَةُ بِنْتُ وَهْبٍ قَالَتْ: حَضَرْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَسَأَلُوْهُ عَنِ الْعَزْلِ فَقَالَ: ذلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيُّ .

Azal (mengeluarkan mani laki-laki di luar farji), para ulama Madzhab Syafi’i berpendapat: Azal itu makruh berdasar riwayat Judzamah binti Wahab, katanya: Saya hadir pada Rasulullah saw., kemudian para sahabat bertanya kepada beliau tentang azal, lalu beliau bersabda: “Azal itu adalah mengubur anak hidup-hidup yang samar.”

وَقَالَ الْغَزَالِيُّ: يَجُوْزُ الْعَزْلُ، وَهُوَ الْمُصَحَّحُ عِنْدَ الْمُتَأَخِّرِيْنَ، لِقَوْلِ جَابِرٍ: كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ . وَالْقَوْلُ بِجَوَازِ الْعَزْلِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بَيْنَ الْمَذَاهِبِ الأَرْبَعَةِ ، لِحَدِيْثِ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ مَرْفُوْعًا عِنْدَ أَحْمَدَ: إِنَّا نَأْتِي النِّسَاءَ وَنُحِبُّ إِتْيَانَهُنَّ فَمَا تَرَى فِي الْعَزْلِ؟ فَقَالَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِصْنَعُوْا مَابَدَا لَكُمْ فَمَا قَضَى الله تَعَالَى فَهُوَ كَائِنٌ، وَلَيْسَ مِنْ كُلِّ الْمَاءِ يَكُوْنُ الْوَلَدُ. وَيَحْرُمُ الْعَزْلُ عَنِ الْمَرْأةِ الْحُرَّةِ إلاَّ بِإِذْنِهَا لِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَعْزِلَ عَنِ الْحُرَّةِ إِلاَّ بِإِذْنِهَا.

Imam Ghozali berpendapat: Azal itu hukumnya boleh, pendapat ini dibenarkan oleh ulama’ Muta’akhirin berdasarkan ucapan Jabir: “Kami melakukan azal pada masa Rasulullah saw dan Al Qur’an sedang turun.” Pendapat mengenai kebolehan azal itu disepakati di antara madzhab empat, berdasar hadits Abu Said Al Khudri secara marfuk menurut Imam Ahmad: “Sesungguhnya kami mendatangi para isteri dan kami senang mendatangi mereka; maka bagaimana pendapat tuan mengenai azal? Rasulullah saw. bersabda: Lakukanlah apa yang nampak bagimu. Karena apapun yang telah ditetapkan oleh Allah ta’ala, niscaya hal itu terjadi, dan tiadalah dari setiap air itu menjadi anak.” Azal dari isteri orang merdeka itu haram kecuali dengan izinnya, berdasar hadits dari Umar ra. Katanya: Rasulullah saw. melarang azal dari isteri orang merdeka kecuali dengan izinnya.
Pada halaman 107 – 108 disebutkan:

وَقَالَ مُتَأَخِّرُوْ الْحَنَفِيَّةِ: يَجُوْزُ الْعَزْلُ بِغَيْرِ إِذْنِ الْمَرْأَةِ، كَأَنْ يَكُوْنَ فِيْ سَفَرٍ بَعِيْدٍ ، أََوْ فِيْ دَارِ الْحَربِ ، فَخَافَ عَلَى الْوَلَدِ ، أَوْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ سَيِّئَةَ الْخُلُقِ وَيُرِيْدُ فِرَاقَهَا فَخَافَ أَنْ تَحْبَلَ .

Para ulama’ muta’akhkhir dari madzhab Hanafi berpendapat: Azal itu boleh tanpa izin isteri, seperti apabila dalam perjalanan jauh atau berada di negeri musuh sehingga takut akan kelahiran anak, atau isterinya berakhlak jelek dan sang suami ingin menceraikannya sehingga dia mengkhawatirkan apabila isterinya hamil.

  1. Menurut kitab-kitab fiqih, nifas itu paling sedikit satu kali keluar dan paling banyak 60 (enam-puluh) hari dan biasanya 40 hari. Jadi apabila sesudah 40 hari dan sebelum 60 hari masih ada darah yang keluar, maka hukumnya adalah darah nifas. Dan jika setelah waktu 60 hari masih keluar, maka hukumnya darah istihadlah (darah penyakit). Sedang yang mengalami darah istiha-dlah ini wajib melakukan shalat.

Dasar pengambilan:

Kitab At Tadzhib halaman 35:

وَأَقَلُّ النِّفَاسِ لَحْظَةٌ ، وَأَكْثَرُهُ سِتُّوْنَ يَوْمًا ، وَغَالِبُهُ أَرْبَعُوْنَ يَوْمًا.

Yang paling sedikit dari waktu nifas itu adalah satu pandangan, yang paling banyak adalah enampuluh hari dan umumnya adalah empatpuluh hari.

  1. Bagi seorang suami disamping kewajiban untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, sebagaimana disebutkan dalam surat al Isyra’ ayat 23 dan 25, juga mempunyai kewajiban untuk berbuat baik kepada mertuanya yang telah menyerahkan anak perempuannya sebagai isterinya. Sebagaimana kita ketahui bahwa orang tua yang wajib kita taati itu ada 3, yaitu: orang tua yang menjadi sebab kelahiran kita; orang yang mengajarkan agama kepada kita dan kedua orang tua dari isteri kita.

Dasar pengambilan

Kitab Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu Juz 2 halaman 46:

إِحْتِرَامِى أُمَّهُ وَأَعْلَمِى أَنَّهَا أُمُّهُ قَبْلَ أَنْ تَكُونِى زَوجَتَهُ . وَأَنَّ اللهَ فَرَضَ عَلَيْهِ طَاعَتَهَا وَحُبَّهَا. إِحْتِرَامِى أَبَاهُ وَاتَّخِذِيْهِ لَكِ أَبًا.

Hormatilah ibunya dan ketahuilah bahwa sesungguhnya beliau adalah ibunya sebelum anda menjadi isterinya. Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada suami mentaati dan menyintai ibu isterinya. Hormatilah ayahnya dan jadikanlah beliau ayahmu.