SEJARAH EKASILA DAN TRISILA DALAM PEMBAHASAN RUU HIP


Masalah Trisila dan Ekasila kembali muncul di tengah pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) pada 2020. Masalah ini kembali menjadi perbincangan publik dengan beragam tafsiran dan kecurigaan dari berbagai kelompok perihal dasar negara. Trisila (tiga sila) sendiri yang terdiri atas nasionalisme, demokrasi, dan ketuhanan adalah perasan dari Pancasila (lima sila). Sedangkan Ekasila yaitu gotong royong adalah perasan dari Trisila.

Awal Mula Trisila dan Ekasila Trisila dan Ekasila muncul dari pidato Sukarno pada rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1 Juni 1945 ketika para pendiri bangsa mendiskusikan antara lain dasar negara Indonesia. Pada pidato itu, Sukarno menyebutkan Pancasila sebagai prinsip bernegara. Setelah menjelaskan Pancasila, Sukarno menyebutkan secara opsional kepada para hadirin. “Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras sehingga tinggal tiga saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah perasan yang tiga itu?” (Sukarno, Camkan Pancasila: Pancasila Dasar Falsafah Negara, [Jakarta, Departemen Penerangan RI: 1964 M], halaman 31).

Sukarno menyebut rincian trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Ia juga menjelaskan nasionalisme, demokrasi, dan ketuhanan seperti apa yang cocok sebagai prinsip negara Indonesia. Setelah itu, ia kemudian menawarkan perasan trisila menjadi ekasila kepada para anggota sidang. “Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-democratie, dan ketuhanan. Kalau tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu? (Sukarno, 1964 M: 31). Gotong royong.

Menurut Sukarno, kalau memang mau diperas lagi Indonesia dapat berdiri di atas satu prinsip, yaitu gotong royong. Ia berpikir keras untuk memeras tiga sila itu menjadi satu sila yang menjadi pijakan setiap kelompok dalam menegakkan Indonesia Merdeka. Tentu saja hal ini bersifat opsional. “Semua buat semua! jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong-royong.’ Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong (tepuk tangan riuh rendah).” (Sukarno, 1964 M: 31-32).

Namun demikian, Trisila dan Ekasila sendiri sebagai dasar negara Indonesia dalam pidato Pancasila Sukarno pada 1 Juni 1945 yang terkenal itu bersifat opsional. Secara sharih Sukarno mengatakan bahwa perasan Pancasila menjadi Trisila, yang kemudian diperas lagi menjadi Ekasila bersifat opsional belaka. Ini menunjukkan kekuatan daya pikir Sukarno dalam menentukan prinsip pokok yang melahirkan Indonesia Merdeka. “Pancasila menjadi Trisila. Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila, ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi.” (Sukarno, 1964 M: 32).

Adapun Pancasila yang disebutkan Sukarno pada awal pidatonya adalah kebangsaan, internasionalisme, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan di mana ia mencita-citakan sebuah masyarakat Indonesia yang teguh dalam memegang agamanya masing-masing di satu sisi dan menghargai praktik beragama pemeluk agama lain yang berbeda pada sisi lainnya. Sukarno menyebutnya “bertuhan secara kebudayaan.” “Prinsip yang kelima hendaknya: menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa. Prinsip ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoism-agama. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan.” (Sukarno, 1964 M: 29-30). (bersambung…)