TALAQ DALAM HATI DAN TALAQ DALAM KEADAAN SANGAT MARAH

HUKUM THALAK YANG HANYA TERLINTAS DALAM HATI

Bagaimana hukumnya terlintas di dalam hati menthalak istri, tapi tidak diucapkan di mulut. Apakah menjadi thalak?

JAWABAN :

Menthalaq dengan niat mengucapkan, tapi tidak melafadzkan (mengucapkan kata thalaq), maka tidak jatuh thalaqnya, ini kesepakatan ulama’. Bagi orang yang mampu bicara, thalaq yang hanya dengan memberi isyarat tanpa diucapkan tidaklah jatuh thalaqnya. Sama dengan hal-nya orang menthalaq dengan niat tidak diucapkan. Sedangkan thalaq harus dengan ucapan sekiranya terdengar kepada dirinya sendiri. Seperti hal-nya orang yang sedang I’tidal dalam shalat. Intinya thalaq tidak akan jatuh apabila tidak menggerakan lisan (lidah) Sekiranya terdengar pada dirinya sendiri. Syarat dari jatuhnya talak itu adalah dengan ucapan yang jelas atau dengan kata-kata yang terang, orang yang mentalak tersebut mengeraskan suaranya kira2 dapat memberi pendengaran dirinya sendiri jika dia baik pendengaranya. Dan tidak pula jatuh thalaq dengan tanpa ucapan dan tidak jatuh thalaq dengan ucapan suara yang lirih kira2 tidak dapat memberi pendengaran dirinya sendiri.

– Almausu’ah fiqhiyyah :

الموسوعة الفقهية ( 29 / 23 ) :” فإذا نوى التّلفّظ بالطّلاق ثمّ لم يتلفّظ به : لم يقع بالاتّفاق ؛ لانعدام اللّفظ أصلاً

وخالف الزّهريّ ، وقال بوقوع طلاق النّاوي له من غير تلفّظ ودليل الجمهور قول النّبيّ صلى الله عليه وسلم : ( إنّ اللّه تجاوز لأمّتي عمّا حدّثت به أنفسها ، ما لم تعمل أو تكلّم به

– Alfiqhu ‘alal madzahibil arba’ah :

الفقه على المذاهب الأربعة

الشافعية قالوا: الإشارة لا يقع بها الطلاق من القادر على الكلام بأي وجه وعلى أي حال،كما لا يقع بالنية ولا بالكلام النفسي، بل لا بد من التلفظ به ولا بد من أن يسمع به نفسه في حالة الاعتدال، فلو فرض وتكلم به وكان سمعه ثقيلاً، أو كان بحضرته لغط كثير، فلا بد من أن يرفع به صوته بحيث لو كان معتدل السمع لسمع بهذا الصوت، فلا يقع بتحريك اللسان من غير أن يسمع نفسه

– Nihayatuz Zain halaman 332 :

وَشَرْطُ الوُقُوْعِ الطَّلاَقِ بِصَرِيْحٍ اَوْكِنَا يَةٍ رَفَعَ صَوْتَهُ بِحَيْثُ يُسْمِعُ نَفْسَهُ لَوْكَانَ صَحِيْحَ السَّمْعِ وَلاَعَارِضٍ, وَلاَيَقَعُ بِغَيْرِ لَفْظٍ وَلاَ بِصَوْةٍ خَفِيٍّ بِحَيْثُ لاَ يُسْمِعُ بِهِ نَفْسَهُ.

– Bujairimy dan I’anatuththoolibiin :

البجيرمي على الخطيب :

وشرط وقوعه بصريح أو كناية رفع صوته بحيث يسمع نفسه لو كان صحيح السمع ولا عارض ولا يقع بغير لفظ عند أكثر العلماء قاله م ر في شرحه وقوله ( ولا يقع بغير لفظ ) أي ولا بصوت خفي بحيث لا يسمع نفسه وقوله ( عند أكثر العلماء ) أشار به إلى خلاف سيدنا مالك فإنه قال يقع بنيته .ا هـ .

اعانة الطالبين :

(قوله: وللتلفظ به الخ) أي ولا أثر للتلفظ بالطلاق تلفظا مصورا بحالة، هي كونه لا يسمع نفسه، وذلك لانه يشترط في وقوع الطلاق التلفظ به حيث يسمع نفسه، فإن اعتدل سمعه ولا مانع من نحو لغط، فلا بد أن يرفع صوته به بقدر ما يسمع نفسه، بالفعل وإن لم يعتدل سمعه أو كان هناك مانع من نحو لغط فلا بد أن يرفع صوته بحيث لو كان معتدل السمع ولا مانع لسمع فيكفي سماعه تقديرا وإن لم يسمع بالفعل

SAHKAH TALAK DALAM KONDISI SANGAT MARAH?

Apakah talak dalam kondisi sangat marah sehingga menghilangkan kesadaran normalnya itu sah (jatuh)? .

JAWABAN :

Dalam kehidupan rumah tangga perselisihan antara suami-isteri merupakan hal yang tak bisa dielakkan. Ini merupakan hal biasa dalam kehidupan rumah tangga. Namun acapkali di tengah-tengah perselisihan itu muncul kemarahan yang sangat luar biasa, sehingga tanpa sadar terucap kata talak dari pihak suami.

Sedang mengenai jatuh apa tidaknya talaknya orang yang dalam kondisi sangat marah, para ulama terjadi perselisihan pendapat. Namun dalam kasus ini ada yang menarik dari penjelasan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, salah satu ulama pengikut madzhab hanbali.

Pertama-tama yang dilakukan beliau sebelum menetapkan sah atau tidaknya talak dalam kondisi marah. Beliau terlebih dahulu membagi bentuk kemarahan. Setidaknya ada tiga klasifikasi atau level kemarahan. Level pertama, kemarahan yang biasa, yang tidak mempengaruhi kesadarannya. Artinya, pihak yang marah masih menyadari dan mengetahui apa yang ia ucapkan atau maksudkan dalam kondisi tersebut. Dalam kasus kemarahan yang seperti ini jika sampai terucap kata talak maka talaknya sah atau jatuh.

Kedua, kemarahan yang sangat luar biasa sehingga menyebabkan orang yang mengalami kemarahan ini tidak menyadari apa yang terucap dan apa yang dikehendaki. Apa yang terucap ketika dalam kemarahan yang seperti ini tidak memiliki konsekwensi apa-apa. Dengan demikian, jika seseorang mengucapkan kata talak dalam kondisi kemarahan yang sangat luar biasa maka talaknya tidak sah atau jatuh. Alasannya adalah ketika seseorang dalam kondisi marah yang sangat luar biasa itu seperti orang gila yang tidak menyadari apa yang diucapkan dan tidak mengerti maksud dari apa yang diucapkan tersebut.

Ketiga, kemarahan yang berada di tengah yang berada antara kemarahan pada level pertama dan kedua. Kemaran pada level tidak menjadikan seseorang seperti orang yang gila. Bagi Ibnu al-Qayyim, jika ada seseorang mengalami kemarahan pada level ini kemudian terucap kata talak maka talak tersebut tidak sah atau tidak jatuh.

قُلْتُ : وَلِلْحَافِظِ ابْنِ الْقَيِّمِ الْحَنْبَلِيِّ رِسَالَةٌ فِي طَلَاقِ الْغَضْبَانِ قَالَ فِيهَا : إنَّهُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ : أَحَدُهَا أَنْ يَحْصُلَ لَهُ مَبَادِئُ الْغَضَبِ بِحَيْثُ لَا يَتَغَيَّرُ عَقْلُهُ وَيَعْلَمُ مَا يَقُولُ وَيَقْصِدُهُ ، وَهَذَا لَا إشْكَالَ فِيهِ .وَالثَّانِي أَنْ يَبْلُغَ النِّهَايَةَ فَلَا يَعْلَمُ مَا يَقُولُ وَلَا يُرِيدُهُ ، فَهَذَا لَا رَيْبَ أَنَّهُ لَا يَنْفُذُ شَيْءٌ مِنْ أَقْوَالِهِ .الثَّالِثُ مَنْ تَوَسَّطَ بَيْنَ الْمَرْتَبَتَيْنِ بِحَيْثُ لَمْ يَصِرْ كَالْمَجْنُونِ فَهَذَا مَحَلُّ النَّظَرِ ، وَالْأَدِلَّةُ عَلَى عَدَمِ نُفُوذِ أَقْوَالِهِ

“Saya berkata, bahwa al-hafizh Ibn al-Qayyim al-Hanbali memeliki risalah mengenai talak dalam kondisi marah. Dalam risalah tersebut ia mengatakan bahwa kemarahan itu ada tiga macam. Pertama, adanya dasar-dasar kemarahan bagi seseorang namun nalarnya tidak mengalami kegoncangan sehingga ia masih mengerti apa yang dikatakan dan dimaksudkan. Dan dalam konteks ini tidak ada persoalan sama sekali. Kedua, ia sampai pada puncak (kemarahannya) sampai tidak menyadari apa yang dikatakan dan dikehendaki. Dan dalam konteks ini tidak ada keraguan bahwa apa yang terucap tidak memiliki konsekwensi(akibat) apa-apa. Ketiga, orang yang tingkat kemarahannya berada di tengah di antara level yang pertama dan kedua. Dan dalam konteks perlu ditinjau lebih lanjut lagi (mahall an-nazhar). Namun, dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa apa yang terucap tidak memiliki konsekwensi(akibat) apa-apa. (Lihat Ibnu Abidin, Hasyiyatu Durr al-Mukhtar, Bairut-Dar al-Fikr, 1421 H/2000 M, juz, 10, h. 488)

Namun jika seseorang mengalami kemarahan pada level ketiga, yaitu di antara level pertama dan kedua kemudian terucap darinya kata talak, maka menurut mayoritas ulama talaknya sah. Artinya dalam pandangan mereka kemarahan yang tidak sampai berakibat pada hilangnya kesadaran dan rasionalitas seseorang, meskipun menyebakan ia keluar dari kebiasaanya tetaplah jatuh. Sebab, ia tidak seperti orang gila.

اَلثَّالِثُ : أَنْ يَكُونَ الْغَضَبُ وَسَطًا بَيْنَ الْحَالَتَيْنِ بِأَنْ يَشَتَدَّ وَيُخْرِجُ عَنْ عَادَتِهِ وَلَكِنَّهُ لَا يَكُونُ كَالْمَجْنُونِ الَّذِي لَا يَقْصِدُ مَا يَقُولُ وَلَا يَعْلَمُهُ وَالْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ الْقِسْمَ الثَّالِثَ يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ

“Ketiga, adanya kemarahan itu pada level sedang yaitu di antara level pertama dan kedua. Artinya, ada kemarahan yang sangat sehingga ia keluar dari kebiasannya, akan tetapi ia tidak seperti orang gila yang tidak menyadari kemana arah dan tujuan apa yang diucapkannya dan tidak mengetahuinya. Menurut mayoritas ulama talaknya seseorang yang mengalami kemarahan pada level ketiga ini jatuh” (Lihat Abdurraham al-Jujairi, al-Fiqh ‘ala Madzahab al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 4, h. 142 )

Hasil verifikasi atau tahqiq yang dilakukan para ulama dari kalangan madzhab hanafi menyatakan bahwa kemarahan yang mengakibatkan seseorang keluar dari karakter dan kebiasannya, dimana igauan mendominasi(menguasai) perkataan dan tindak lakunya adalah ini tidak jatuh, meskipun ia menyadari apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan.

Alasan yang dikemukakan mereka adalah, bahwa ia dalam keadaan mengalami kegoncangan pemahaman. Karenanya, apa yang kehendaki atau dimaksudkan tidak didasarkan pada pemahaman yang sahih. Jadi, ia seperti orang gila.

وَالتَّحْقِيقُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّ الْغَضْبَانَ الَّذِي يُخْرِجُهُ غَضَبُهُ عَنْ طَبِيعَتِهِ وَعَادَتِهِ بِحَيْثُ يَغْلُبُ الْهَذَيَانُ عَلَى أَقْوَالِهِ وَأَفْعَالِهِ فَإِنَّ طَلَاقَهُ لَا يَقَعُ وَإِنْ كَانَ يَعْلَمُ مَا يَقُولُ وَيَقْصِدُهُ لِأَنَّهُ يَكُونُ فِي حَالَةٍ يَتَغَيَّرُ فِيهَا إِدْرَاكُهُ فَلَا يَكُونُ قَصْدُهُ مَبْنِيًّا عَلَى إِدْرَاكٍ صَحِيحٍ فَيَكُونُ كَالْمَجْنُونِ

“Hasil verifikasi kalangan madzhab Hanafi menyatakan bahwa kemarahan yang menyebabkan seseorang keluar dari tabiat dan kebiasaannya, dimana igauan menguasai perkataan dan perbuatannya, maka talaknya tidak jatuh meskipun ia mengetahui apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan. Sebab, ia berada dalam kondisi mengalami kegoncangan pemahaman. Karenanya, apa yang dikehendaki itu tidak didasarkan atas pemahaman yang sahih sehingga ia menjadi seperti orang gila” (Lihat Abdurraham al-Jujairi, al-Fiqh ‘ala Madzahab al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 4, h. 144 )

Berangkat dari penjelasan ini, maka jawaban untuk pertanyaan di atas adalah bahwa talaknya orang yang dalam kondisi sangat marah sehingga hilang kesadarannya adalah tidak jatuh atau tidak sah.

Begitu juga talak tidak sah ketika kemarahan itu sampai membuat seseorang keluar dari tabiat dan kebiasannya, meskipun ia menyadari apa yang diucapkan dan apa yang dimaksudkan. Dalam ini tentunya berbeda dengan pandangan mayoritas ulama, yang menyatakan tetap jatuh atau sah talaknya.

Demikian jawaban ini. Semoga bisa dimengerti dengan baik. Bagi para suami agar selalu mengontrol kemarahannya, dan bagi para isteri agar tidak perlu memancing kemarahan suami.

Wallahu a’lamu bisshowab..