MENGIKUTI ORANG YANG SHOLIH DAN BERDO’A DENGAN PERANTARA MEREKA

MENGIKUTI ORANG YANG SHOLIH

Marilah berjalan di atas manhaj Salaf yang sholeh berdasarkan apa yang disampaikan oleh Imam Mazhab yang empat, pemimpim / imam ijtihad kaum muslim pada umumnya (Imam Mujtahid Mutlak) yang bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salaf yang sholeh sehingga mendapatkan pemahaman Salaf yang sholeh langsung dari lisannya mereka serta melihat sendiri penerapan, perbuatan serta contoh nyata dari Salaf yang sholeh.

Ingat manhaj Salaf yang sholeh bukan manhaj salaf karena salaf (orang-orang terdahulu) ada yang sholeh dan ada pula yang tidak sholeh seperti kaum khawarij. Contohnya Abdurrahman ibn Muljam adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Shalat dan shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi kebiasaan rata-rata orang di zaman itu.Namun terpangaruh oleh hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) orang-orang Khawarij yang selalu berbicara mengatasnamakan Islam. Sampai akhirnya, dialah yang ditugasi menjadi eksekutor pembunuhan Imam Sayyidina Ali ra.

Istilah manhaj salaf maupun mazhab salaf tidak pernah disampaikan oleh Imam Mazhab yang empat. Kedua istilah tersebutnya tampaknya disampaikan oleh mereka yang mengaku-aku mengikuti Salaf yang sholeh namun tidak pernah bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf yang sholeh.

Manhaj Salaf yang sholeh artinya jalan yang telah dilalui kaum muslim terdahulu sehingga mencapai muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan

Nasehat Imam Sayyidina Ali ra kepada puteranya sebagai berikut:

“Sejak awal aku bermaksud menolong mengembangkan akhlak yang mulia dan mempersiapkanmu menjalani kehidupan ini. Aku ingin mendidikmu menjadi seorang pemuda dengan akhlak karimah, berjiwa terbuka dan jujur serta memiliki pengetahuan yang jernih dan tepat tentang segala sesuatu di sekelilingmu.

Pada mulanya aku hanya ingin mengajarimu Kitab Suci, secara mendalam, mengerti seluk-beluk (tafsir dan takwil)nya, membekalimu dengan pengetahuan yang lengkap tentang perintah dan larangan-Nya (hukum-hukum dan syariat-Nya) serta halal dan haramnya. Kemudian aku khawatir engkau dibingungkan oleh hal-hal yang diperselisihkan di antara manusia, akibat perbedaaan pandangan di antara mereka dan diperburuk oleh cara berpikir yang kacau, cara hidup yang penuh dosa, egoisme dan kecenderungan hawa nafsu mereka, sebagaimana membingungkan mereka yang berselisih itu sendiri.

Oleh karena itu, kutuliskan, dalam nasihatku ini,prinsip-prinsip dasar dari keutamaan, kemuliaan, kesholehan, kebenaran dan keadilan. Mungkin berat terasa olehmu, tetapi lebih baik membekali engkau dengan pengetahuan ini daripada membiarkanmu tanpa pertahanan berhadapan dengan dunia yang penuh dengan bahaya kehancuran dan kebinasaan. Karena engkau adalah pemuda yang sholeh dan bertaqwa, aku yakin engkau akan mendapatkan bimbingan dan pertolongan Ilahi (taufik dan hidayah-Nya) dalam mencapai tujuanmu. Aku ingin engkau berjanji pada dirimu untuk bersungguh-sungguh mengikuti nasihatku ini.

Ketahuilah wahai putraku, bahwa sebaik-baiknya wasiat adalah taqwa kepada Allah, bersunguh-sungguh menjalankan tugas yang diwajibkan-Nya atasmu, dan mengikuti jejak langkah Rasullullah dan orang-orang yang sholeh dari keluargamu”.

Jadi kalau tidak sholeh artinya telah gagal mengikuti Salaf yang sholeh telah gagal mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam suri tauladan bagi seluruh manusia

Firman Allah ta’ala :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Yang artinya,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)

Lantas aku (Sa’d bin Hisyam bin Amir) bertanya; “Wahai Ummul mukminin, beritahukanlah kepadaku tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ ‘Aisyah menjawab; Bukankah engkau telah membaca Al Qur’an? Aku menjawab; Benar, Aisyah berkata; Akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Al Quran (HR Muslim 1233)

Dan telah menceritakan kepada kami Syaiban bin Farukh dan Abu Rabi’ keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Abdul Warits dari Abu At Tayyah dari Anas bin Malik dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah “orang yang paling baik akhlaknya” (HR Muslim 4273)

Rasulullah bersabda “Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kalian ialah yang paling bagus akhlaknya.” (HR Bukhari 5569)

Imam Mazhab yang empat telah menasehatkan bahwa untuk mencapai muslim yang sholeh atau muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang ihsan adalah menjalankan perkara syariat sebagaimana yang mereka uraikan dalam kitab fiqih dan sekaligus menjalankan tasawuf

Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]

Begitupula dengan nasehat Imam Malik ~rahimahullah bahwa menjalankan tasawuf agar manusia tidak rusak dan menjadi manusia berakhlak baik

Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (perkara syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar” .

Muslim yang Sholeh atau Muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang Ihsan adalah tujuan Rasulullah diutus oleh Allah Azza wa Jalla

Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)

Seorang muslim dikatakan telah mengikuti atau mentaati Allah dan RasulNya sehingga mendapatkan maqom disisiNya atau dekat dengan Allah Azza wa Jalla adalah 4 golongan manusia yakni para Nabi (Rasulullah yang utama), para Shiddiqin, para Syuhada dan muslim yang sholeh

Firman Allah ta’ala :
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
Yang artinya
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )

Semakin dekat kita kepada Allah sehingga menjadi kekasihNya (Wali Allah)

Maqom Shiddiqin atau kedekatan dengan Allah

Semakin berilmu kita maka kita semakin takut kepada Allah Azza wa Jalla

Rasulullah bersabda ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (berma’rifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11)

Firman Allah ta’ala :
ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampu” (QS Al Faathir [35]:28)

Sungguh luas ilmuNya, semakin kita mendalami ilmuNya semakin tersungkur sujud kepadaNya

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh

Sekali lagi kami sampaikan bahwa tanda-tanda muslim yang dekat dengan Allah adalah muslim yang sholeh atau muslim yang telah mencapai Ihsan atau muslim yang telah bermakrifat, minimal mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau yang terbaik mereka yang dapat melihat Allah dengan hati, maka mereka mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah sesuai dengan tujuan beragama atau sesuai dengan tujuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla.

Jika belum dapat menyaksikan Allah dengan hati atau belum mencapai ma’rifat maka setiap kita akan bersikap atau melakukan perbuatan, ingatlah selalu perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa “Jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11)

BERDO’A DENGAN PERANTARA MAKHLUK YANG DI CINTAI OLEH ALLOH SWT.

Firman Allah ta’ala,

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar” (QS Az Zumar [39]: 3 )

Sebagian orang menyalahgunakan firman Allah ta’ala ini untuk mensesatkan atau bahkan mengkafirkan kaum muslim yang berdoa dengan bertawassul dengan orang sholeh yang sudah wafat.

Padahal “maa na’buduhum illaa liyuqarribuunaa ilaa allaahi” (QS Az Zumar [39]:3]) menjelaskan bahwa mereka menyembah selain Allah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Juga ditegaskan dalam ayat tersebut bahwa mereka adalah orang-orang pendusta dengan kata lain apa yang mereka katakan “mendekatkan diri kepada Allah” adalah dusta belaka

Sedang orang yang bertawassul dengan orang sholeh yang sudah wafat sama sekali tidak menyembahnya. Tetapi ia mengetahui bahwa orang sholeh itu memiliki kemuliaan di sisi Allah lalu ia bertawassul dengannya karena dimuliakanNya.

Berdoa dengan bertawassul adalah perintahNya

Firman Allah ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (washilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS Al Maa’idah [5]: 35 )”

Bertawassul adalah adab berdoa, berperantara pada kemuliaan seseorang, kemuliaan tempat, kemuliaan benda , kemuliaan waktu, kemulian doa atau dzikrullah dihadapan Allah Azza wa Jalla

Boleh berperantara pada kemuliaan seseorang baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat karena kemuliaan seseorang di hadapan Allah tak akan sirna walaupun mereka sudah wafat. Terlebih lagi mereka yang meraih kemuliaan disisiNya tetap hidup sebagaimana para Syuhada

Firman Allah ta’ala :
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَٰكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
Yang artinya
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada), (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al Baqarah [2]: 154 )

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.

“Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih dengan komentarnya : hadits diriwayatkan oleh Al Bazzaar dan para perawinya sesuai dengan kriteria hadits shahih)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات فإن كان خيرا استبشروا، وإن كان غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا

“Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).

Justru mereka yang membedakan bolehnya bertawassul pada yang hidup saja dan mengharamkan pada yang sudah wafat, maka mereka itu malah dirisaukan akan terjerumus pada kemusyrikan karena menganggap makhluk hidup bisa memberi manfaat, sedangkan akidah kita adalah semua yang hidup dan yang sudah wafat tak bisa memberi manfaat apa apa kecuali karena Allah ta’ala memuliakannya, bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat dihadapan Allah, berarti si hidup itu sebanding dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala?, si hidup bisa berbuat sesuatu pada keputusan Allah ?

Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah bisa memberi manfaat dan madlorot kepadanya dan jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bisa memberi manfaat dan madlorot, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlorot sesungguhnya hanyalah Allah semata.

Bertawassul adalah adab berdoa , salah satu usaha agar do’a yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah Subhanahu wa ta’ala

Bertawassul dengan kemulian orang yang sudah wafat, sebagaimana yang tercantum dalam Tafsir Ibnu Katsir surat An-nisa ayat 64,

Al-Atabi ra menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat kubur Nabi Shallallahu alaihi wasallam, datanglah seorang Arab Badui, lalu ia mengucapkan,

“Assalamu’alaika, ya Rasulullah (semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah). Aku telah mendengar Allah ta’ala berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
Yang artinya, ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka menjumpai Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang‘ (QS An-Nisa: 64),

Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah) dan meminta syafaat kepadamu (agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku.”

Kemudian lelaki Badui tersebut mengucapkan syair berikut , yaitu:
“Hai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan, dan kemuliaan.“

Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan dengan serta-merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur.

Dalam tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam., lalu beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hai Atabi, susullah orang Badui itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya!”

Bertawassul dengan kemulian tempat seperti berdoa di Multazam, Raudoh, Maqam Ibrahim dll

Bertawassul dengan waktu seperti berdoa pada sepertiga malam terakhir, berdoa ketika wukuf di pada Arafah, dll

Bertawassul dengan kemuliaan benda seperti berdoa memohon kesembuhan kepada Allah dengan perantaraan ludah orang-orang yang mulia disisi Allah

Telah menceritakan kepadaku Shadaqah bin Al Fadl telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari ‘Abdurrabbihi bin Sa’id dari ‘Amrah dari ‘Aisyah dia berkata; Biasanya dalam meruqyah, beliau membaca: BISMILLAHI TURBATU ARDLINA BI RIIQATI BA’DLINA YUSYFAA SAQIIMUNA BI IDZNI RABBINA (Dengan nama Allah, Debu tanah kami dengan ludah sebagian kami semoga sembuh orang yang sakit dari kami dengan izin Rabb kami. (HR Bukhari 5305)

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb serta Ibnu Abu ‘Umar dan lafazh ini miliknya Ibnu Abu ‘Umar dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari ‘Abdu Rabbih bin Sa’id dari ‘Amrah dari ‘Aisyah bahwa apabila seseorang mengadukan suatu penyakit yang dideritanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti sakit kudis, atau luka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berucap sambil menggerakkan anak jarinya seperti ini -Sufyan meletakkan telunjuknya ke tanah, kemudian mengangkatnya- Bismillahi turbatu ardhina biriiqati ba’dhina liyusyfaa bihi saqiimuna bi idzni rabbina. (Dengan nama Allah, dengan debu di bumi kami, dan dengan ludah sebagian kami, semoga sembuhlah penyakit kami dengan izin Rabb kami). Ibnu Abu Syaibah berkata; ruqyah tersebut berbunyi; Yusyfaa saqiimunaa’. Dan Zuhair berkata; Doa ruqyah tersebut berbunyi; Liyusyfaa saqiimunaa.’ (HR Muslim 4069)

Yang dimaksud ludah sebagian kami adalah ludah hambaNya yang disisiNya

Bertawassul dengan kemuliaan doa atau dzikrullah seperti berdoa memohon kesembuhan kepada Allah dengan perantaraan bacaan surat Al Fatihah

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi; Telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Abu Bisyr dari Abu Al Mutawakkil dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa beberapa orang sahabat melakukan perjalanan jauh dan berhenti untuk istirahat pada salah satu perkampungan ‘Arab, lalu mereka minta dijamu oleh penduduk kampung itu. Tetapi penduduk enggan menjamu mereka. Penduduk bertanya kepada para sahabat; ‘Adakah di antara tuan-tuan yang pandai mantera? Kepala kampung kami digigit serangga.’ Menjawab seorang sahabat; ‘Ya, ada! Kemudian dia mendatangi kepala kampung itu dan memanterainya dengan membaca surat Al Fatihah. Maka kepala kampung itu pun sembuh. Kemudian dia diberi upah kurang lebih tiga puluh ekor kambing. Tetapi dia enggan menerima seraya mengatakan; ‘Tunggu! Aku akan menanyakannya lebih dahulu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah aku boleh menerimanya.’ Lalu dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakannya hal itu, katanya; ‘Ya, Rasulullah! Demi Allah, aku telah memanterai seseorang dengan membacakan surat Al Fatihah.’ Beliau tersenyum mendengar cerita sahabatnya dan bertanya: ‘Bagaimana engkau tahu Al Fatihah itu mantera? ‘ Kemudian sabda beliau pula: ‘Terimalah pemberian mereka itu, dan berilah aku bagian bersama-sama denganmu.’ Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Abu Bakr bin Nafi’ keduanya dari Ghundar Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Abu Bisyr melalui jalur ini, dia menyebutkan di dalam Haditsnya; ‘Kemudian orang itu mulai membacakan Ummul Qur’an, dan mengumpulkan ludahnya lalu memuntahkannya, setelah itu orang itu sembuh. (HR Muslim 4080)

Berdoa dengan bertawassul perantaraan sholawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam

Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tiada doa kecuali terdapat hijab di antaranya dengan di antara langit, hingga bershalawat atas Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka apabila dibacakan shalawat Nabi, terbukalah hijab dan diterimalah doa tersebut, namun jika tidak demikian, kembalilah doa itu kepada pemohonnya“

Rasulullah bersabda “Jika salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaknya dia memulainya dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian dia bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, kemudian setelah itu baru dia berdoa sesukanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)

Mereka bertanya kenapa kita harus bertawasul dalam berdoa sedangkan kita dijanjikan oleh Allah Azza wa Jalla akan mengabulkan segala permohonan hambaNya sebagaimana firmanNya yang artinya
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS Al Baqarah [2]:186 )

Kadang kita dalam memahami ayat di atas mengambil hanya sebagaian dari ayat itu yakni “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku“. Sehingga sebagian muslim, ketika selesai berdoa, seolah-olah “menagih janji” Allah Subhanahu wa Ta’ala berdasarkan apa yang dipahaminya itu.

Padahal dalam ayat itu juga telah dijelaskan jalan/cara/syarat agar Allah ar Rahmaan ar Rahiim mengabulkan doa hambaNya pada kalimat berikutnya “maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” maknanya doa akan terkabul tergantung kedekatan kita kepada Allah Azza wa Jalla atau tergantung kadar ketaatan kepada Allah dan RasulNya.

Seorang Muslim yang dikatakan telah mentaati Allah dan RasulNya sehingga mendapatkan maqom disisiNya adalah 4 golongan manusia sebagaimana firmanNya :
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
Yang artinya “Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )

Maqom Shiddiqin atau kedekatan dengan Allah
Semakin dekat kita kepada Allah bahkan sampai menjadi kekasihNya (Wali Allah) maka Allah telah menjanjikan pasti akan mengabulkan segala permintaan

Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah bersabda, Allah ta’ala berfirman “jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya. (HR Bukhari 6021)

Contohnya bagaimana Sayyidina Umar bin Khathab ra yang kita tahu setingkat beliau tentu bisa berdoa langsung kepada Allah ta’ala , namun beliau menjadikan Uwais ra seorang Tabi’in menjadi perantara bagi doanya kepada Allah Azza wa Jalla mengikuti pesan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Suatu hari Umar r.a. kedatangan rombongan dari Yaman, lalu ia bertanya :
“Adakah di antara kalian yang datang dari suku Qarn?”.
Lalu seorang maju ke dapan menghadap Umar. Orang tersebut saling bertatap pandang sejenak dengan Umar. Umar pun memperhatikannya dengan penuh selidik.
“Siapa namamu?” tanya Umar.
“Aku Uwais”, jawabnya datar.
“Apakah engkau hanya mempunyai seorang Ibu yang masih hidup?, tanya Umar lagi.
“Benar, Amirul Mu’minin”, jawab Uwais tegas.
Umar masih penasaran lalu bertanya kembali “Apakah engkau mempunyai bercak putih sebesar uang dirham?” (maksudnya penyakit kulit berwarna putih seperti panu tapi tidak hilang).
“Benar, Amirul Mu’minin, dulu aku terkena penyakit kulit “belang”, lalu aku berdo’a kepada Allah agar disembuhkan. Alhamdulillah, Allah memberiku kesembuhan kecuali sebesar uang dirham di dekat pusarku yang masih tersisa, itu untuk mengingatkanku kepada Tuhanku”.
“Mintakan aku ampunan kepada Allah”.
Uwais terperanjat mendengar permintaan Umar tersebut, sambil berkata dengan penuh keheranan. “Wahai Amirul Mu’minin, engkau justru yang lebih behak memintakan kami ampunan kepada Allah, bukankah engkau sahabat Nabi?”
Lalu Umar berkata “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “Sesungguhnya sebaik-baik Tabiin adalah seorang bernama Uwais, mempunyai seorang ibu yang selalu dipatuhinya, pernah sakit belang dan disembuhkan Allah kecuali sebesar uang dinar di dekat pusarnya, apabila ia bersumpah pasti dikabulkan Allah. Bila kalian menemuinya mintalah kepadanya agar ia memintakan ampunan kepada Allah”
Uwais lalu mendoa’kan Umar agar diberi ampunan Allah. Lalu Uwais pun menghilang dalam kerumunan rombongan dari Yaman yang akan melanjutkan perjalanan ke Kufah. (HR Ahmad)

Hadits senada diriwayatkan oleh Imam Muslim

Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb; Telah menceritakan kepada kami Hasyim bin Al Qasim; Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Al Mughirah; Telah menceritakan kepadaku Sa’id Al Jurairi dari Abu Nadhrah dari Usair bin Jabir bahwa penduduk Kufah mengutus beberapa utusan kepada Umar bin Khaththab, dan di antara mereka ada seseorang yang biasa mencela Uwais. Maka Umar berkata; Apakah di sini ada yang berasal dari Qaran. Lalu orang itu menghadap Umar. Kemudian Umar berkata: ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: Sesungguhnya akan datang kepadamu seorang laki-laki dari Yaman yang biasa dipanggil dengan Uwais. Dia tinggal di Yaman bersama Ibunya. Dahulu pada kulitnya ada penyakit belang (berwarna putih). Lalu dia berdo’a kepada Allah, dan Allahpun menghilangkan penyakit itu, kecuali tinggal sebesar uang dinar atau dirham saja. Barang siapa di antara kalian yang menemuinya, maka mintalah kepadanya untuk memohonkan ampun kepada Allah untuk kalian. Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Muhammad bin Al Mutsanna keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami ‘Affan bin Muslim; Telah menceritakan kepada kami Hammad yaitu Ibnu Salamah dari Sa’id Al Jurairi melalui jalur ini dari ‘Umar bin Al Khaththab dia berkata; Sungguh aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sebaik-baik tabi’in, adalah seorang laki-laki yang dibiasa dipanggil Uwais, dia memiliki ibu, dan dulu dia memiliki penyakit belang ditubuhnya. Carilah ia, dan mintalah kepadanya agar memohonkan ampun untuk kalian.’ (HR Muslim 4612)