ARISAN QURBAN DAN RUMITNYA MASALAH YANG HARUS DI PAHAMI

1. DISKRIPSI MASALAH
AR                   Berbagai cara digunakan untuk bisa melaksanakan ibadah Kurban yang diantaranya melalui arisan kurban dengan praktek masing-masing dari anggota arisan mengadakan iuran wajib misalnya sebesar Rp.50 ribu, lalu uang yang telah terkumpul diberikan kepada anggota yang namanya keluar pada saat undian (mbetok), kemudian dibelikan kambing untuk kurban. Namun lama-lama harga kambing mulai naik, sehingga jika iuran tetap Rp. 50 ribu dana yang terkumpul tidak akan cukup dibelikan kambing. Berangkat dari hal tersebut ada sebagian anggota punya keinginan iuran harus ditambah (semisal menjadi; Rp 75.000) agar dana yang terkumpul cukup digunakan membeli seekor kambing. Namun sebagian yang lain (kususnya anggota yang telah mbetok) tidak menyetujui iuran ditambah. Hingga pada akhirnya hal tersebut menjadi problem yang sampai saat ini belum ada solusinya.
Pertanyaan;
A. Termasuk aqad apakah arisan kurban tersebut ?
B. Bolehkah menambah iuran ditengah-tengah arisan dengan memandang sebagian anggota tidak menyetujuinya?
C. Bagi anggota yang mbetok apakah wajib melakukan kurban ?

Jawaban;
a. Termasuk aqad Qordu (hutang piutang).
Uraian jawaban
Arisan qurban dianggap sebagai akad hutang piutang karena melihat adanya sekelompok orang yang bersama-sama membeli kambing kemudian kambing itu dihutangkan kepada salah satu dari mereka. Akad utang piutang sangat dianjurkan oleh syara’ karena hutang piutang adalah salah satu bentuk tolong menolong (QS Al Baqoroh: 245)
b. Tidak boleh apabila maqsud aqad tersebut utang-piutang uang (arisan uang).
Uraian jawaban
Dalam hutang piutang (qordlu) ada 3 rukun yang sangat menentukan status hukumnya, 3 rukun tersebut adalah :
1. shîghot (îjab-qobûl) adalah pondasi terhadap keabsahan semua bentuk transaksi termasuk hutang piutang sehingga disini tidak cukup dengan mu’athoh (saling memberi tanpa kata-kata) artinya dalam hutang piutang ini harus ada kata-kata “Saya hutangi kamu” dari yang memberi hutang dan “saya menerima hutang dari kamu” dari orang yang menerima hutang. Atau dengan kata-kata lain yang mempunyai kandungan arti yang sama.
2. ‘Aqidain (yang menghutangi dan yang menerima hutang)
disyaratkan bagi ‘aqidain adalah :
a) orang yang sempurna akalnya, sehingga anak kecil dan orang gila tidak boleh melakukan boleh melakukan hutang piutang
b) tidak terpaksa, karena dasar semua transaksi dalam islam adalah saling rela
c) sanggup berbuat baik (ahli tabarru’)
3. Ma’qud alaih yaitu objek transaksi hutang piutang ini.
Untuk menjawab masalah arisan qurban ini, kita fokuskan pada rukun ketiga yaitu ma’qud ‘alaih, karena perdebatan tentang boleh tidaknya menambah iuran arisan qurban di tengah-tengah arisan sedang berjalan bermula dari ma’qud alaih ini, sehingga perlu kita perjelas dulu ma’qud alaih-nya, apakah ma’qud alaihnya berupa uang atau kambing yang dijadikan qurban.
• Kalau ma’qud alaih-nya adalah uang maka dalam masalah arisan qurban ini ada pengembalian atau pembayaran lebih dari hutang yang telah ditentukan dalam akad sehingga hutang piutang ini termasuk bentuk riba qordlu yaitu hutang piutang dengan pengembalian lebih yang jelas dilarang syara’ (S. Al Baqoroh; 275, QS Al Baqoroh; 278-280)
• Sedangkan kalau ma’qud alaih-nya adalah kambing maka apakah harus dikembalikan dalam bentuk kambing atau boleh dikembalikan dalam bentuk uang?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita harus menengok syarat atau ketentuan ma’qud alaih dalam qordlu, perlu diketahui bahwa ma’qud alaih dalam qordlu ada 2 bentuk :
1. Hal yang ada padanannya persis (mitsliyyan) seperti uang, beras, jagung dan lain-lain
2. Hal yang bernilai (mutaqowwam) seperti hewan, tanah dan lain-lain
Dalam masalah arisan qurban ini ma’qud alaih-nya adalah jenis kedua yaitu mutaqowwam, qordlu yang diperbolehkan dalam mutaqowwam adalah pada mutaqowwam yang jelas kriterianya, sehingga dalam arisan qurban ini kambing yang dijadikan objek arisan ini harus jelas kriterianya seperti besar kecilnya atau jenisnya.
Kemudian dalam pengembalian hutang piutang terhadap mutaqowwam menurut pendapat yang rojih (unggul) harus menggunakan hal yang sepadan walau tidak persis yang dalam istilah fiqhnya disebut pengembalian shurotan artinya harus dikembalikan dalam bentuk kambing walau tidak bisa sama persis. Sedang pendapat yang lain boleh dikembalikan dalam bentuk uang. Dalam masalah ini jelas kita telah mengikuti pendapat yang rojih yaitu pengembalian dalam bentuk kambing.

حاشية القليوبى على المحلى الجزء الثانى ص: 258 دار احياء الكتب
فَرْعٌ : الْجُمُعَةُ الْمَشْهُورَةُ بَيْنَ النِّسَاءِ بِأَنْ تَأْخُذَ امْرَأَةٌ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْ جَمَاعَةٍ مِنْهُنَّ قَدْرًا مُعَيَّنًا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ أَوْ شَهْرٍ وَتَدْفَعُهُ لِوَاحِدَةٍ بَعْدَ وَاحِدَةٍ , إلَى آخِرِهِنَّ جَائِزَةٌ كَمَا قَالَهُ الْوَلِيُّ الْعِرَاقِيُّ
(Far’un) Perkumpulan yang masyhur di kalangan wanita dengan cara ada seorang wanita mengambil sejumlah uang yang ditentukan dari semua anggota setiap jum’at sekali atau setiap bulan sekali, kemudian uang yang terkumpul diberikan kepada seseorang dari mereka secara bergiliran sampai semuanya mendapatkan giliran. Perkumpulan ini hukumnya boleh seperti yang dijelaskan Syaikh Wali Al Iroqy
o مغني المحتاج 3 ص :
( وَيُرَدُّ ) فِي الْقَرْضِ ( الْمِثْلُ فِي الْمِثْلِيِّ ) ; لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إلَى حَقِّهِ وَلَوْ فِي نَقْدٍ بَطَلَ التَّعَامُلُ بِهِ (وَ) يُرَدُّ ( فِي الْمُتَقَوِّمِ الْمِثْلُ صُورَةً ) { لِأَنَّهُ صلى الله عليه وسلم اقْتَرَضَ بَكْرًا وَرَدَّ رُبَاعِيًّا وَقَالَ : إنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً } رَوَاهُ مُسْلِمٌ ; وَلِأَنَّهُ لَوْ وَجَبَتْ قِيمَتُهُ لَافْتَقَرَ إلَى الْعِلْمِ بِهَا , وَيَنْبَغِي كَمَا قَالَ ابْنُ النَّقِيبِ : اعْتِبَارُ مَا فِيهِ مِنْ الْمَعَانِي كَحِرْفَةِ الرَّقِيقِ وَفَرَاهَةِ الدَّابَّةِ , فَإِنْ لَمْ يَتَأَتَّ اُعْتُبِرَ مَعَ الصُّورَةِ مُرَاعَاةُ الْقِيمَةِ ( وَقِيلَ الْقِيمَةُ ) كَمَا لَوْ أَتْلَفَ مُتَقَوِّمًا , وَعَلَيْهِ فَالْمُعْتَبَرُ قِيمَتُهُ يَوْمَ الْقَبْضِ إنْ قُلْنَا يُمْلَكُ بِالْقَبْضِ , وَبِالْأَكْثَرِ مِنْ وَقْتِ الْقَبْضِ إلَى التَّصَرُّفِ إنْ قُلْنَا : يُمْلَكُ بِالتَّصَرُّفِ
Dalam Qordlu (hutang piutang) yang dikembalikan adalah padanannya ketika yang dihutang adalah perkara yang ada padanannya (mitsly), karena hal itu adalah yang lebih mendekati untuk menngembalikan hak orang yang memberi hutang, walau berupa uang yang sudah tidak laku digunakan untuk jual beli lagi. Sedangkan kalau yang dihutang berupa barang yang bernilai (mutaqowwam) maka yang digunakan membayar adalah sesuatu yang mempunyai bentuk yang sama, karena Nabi Muhammad SAW pernah hutang seekor onta Bikru (onta yang menginjak umur 6 tahun) dan membayarnya dengan seekor onta Ruba’i (onta yang menginjak umur 7 tahun), beliau bersabda: sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam membayar hutang. Alasan lain adalah bahwa seandainya harus membayar dengan harganya, maka harus diketahui harganya (ketika akad hutang piutang)
Menurut Ibnu Naqib dalam membayar hutang sebaiknya mempertimbangkan nilai-nilai yang ada pada barang yang dihutang seperti keahlian bekerja pada hamba sahaya dan gemuk atau tidak pada hewan ternak. Kalau hal itu sulit dilakukan maka yang dipertimbangkan selain bentuknya juga harganya.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dipertimbangkan dalam membayar hutang adalah harganya saja, hal ini seperti jika seseorang merusak perkara yang bernilai. Menurut pendapat ini serta mengacu kepada pendapat yang mengatakan bahwa barang yang dihutang menjadi milik orang yang hutang ketika sudah diserahterimakan, maka yang diperhitungkan dalam membayar hutang adalah harga ketika serah terima hutang.
Dan yang diperhitungkan adalah harga tertinggi sejak diserah-terimakan sampai digunakan ketika kita mengikuti pendapat bahwa hutang berpindah kepemilikannya ketika digunakan
o المحلي 2 ص :
قوله : { اقترض بكرا ورد رباعيا } والبكر ما دخل في السنة السادسة والرباعي ما دخل في السابعة ويقال له الثني . قوله : ( أو في صفة المثل ) علم أنه من جملة الصورة كحرفة العبد .وإذا اختلفا في قدر القيمة أو في صفة المثل فالقول قول المستقرض .
(Nabi SAW pernah hutang Bikru dan membayarnya dengan Ruba’i) Bikru adalah onta yang menginjak umur 6 tahun dan Ruba’i adalah onta yang menginjak umur 7 tahun, Ruba’i sering disebut Tsany. Diketahui bahwa sesungguhnya sifat-sifat sepadan (sifatul mitsly) termasuk katagori bentuk seperti kemampuan bekerja hamba sahaya.
Kalau orang yang hutang dan orang yang memberi hutang berselisih tentang harga atau sifat-sifat sepadan maka yang dibenarkan adalah orang yang hutang
c. Tidak wajib kecuali ada ucapan yang mengarah pada nadzar
Uraian Jawaban
Mengacu pendapat jumhurul ulama’ Pada dasarnya hukum Qurban adalah sunnah muakkad, dan bisa menjadi wajib karena adanya Nadzar.
Berbicara tentang Nadzar, Bentuk nadzar ada 2 yaitu
1) Nadzar shorih (jelas) seperti ucapan “untuk Allah, saya akan berqurban, ini adalah hewan qurbanku, aku jadikan hewan ini sebagai qurban”, dalam nadzar ini tidak membutuhkan niat bahkan kalau niat dengan niat yang tidak sesuai ucapannya, niatnya tidak diperhitungkan.
Karena itu yang sering terjadi pada masyarakat awam yaitu ketika mereka pulang dari pasar dengan menuntun kambing kemudian ditanya rekannya kambing siapa itu? Dia menjawab: “ini hewan kurbanku”, maka secara otomatis dia telah bernadzar berkurban.
Namun pendapat ini ditentang sebagian ulama’ antara lain Sayyid Umar Al Bashry yang mengatakan bahwa ucapan “Ini adalah hewan kurbanku” akan menjadi nadzar kurban kalau seseorang mengatakannya tanpa niat memberi tahu (ihbar), kalau ada niat ihbar maka tidak menjadi nadzar.
2) Nadzar kinayah (tidak jelas) seperti ucapan “kalau saya sembuh dari sakitku maka saya akan menyembelih seekor kambing”, dalam nadzar ini hukumnya sangat bergantung terhadap niat
• حاشيتا قليوبي – وعميرة – (ج 1 / ص 97)
كِتَابُ الْأُضْحِيَّةِ قَوْلُهُ : ( لَا تَجِبُ إلَّا بِالْتِزَامٍ ) يُرِيدُ بِهِ أَنَّ نِيَّةَ الشِّرَاءِ لِلْأُضْحِيَّةِ لَا تُوجِبُهَا وَهُوَ كَذَلِكَ عَلَى الْأَصَحِّ ، قَوْلُهُ : ( بِالنَّذْرِ ) أَيْ وَمَا أُلْحِقَ بِهِ كَجَعَلْتُهَا أُضْحِيَّةً أَوْ هَذِه أُضْحِيَّةً
Qurban hukumnya tidak wajib kecuali dengan adanya menerima kewajiban (dengan nadzar), ini mengandung pengertian bahwa niat membeli untuk qurban tidak menjadikan wajibnya qurban. Ini menurut Qoul Ashoh. Qurban menjadi wajib sebab nadzar atau sesuatu yang menyamainya seperti mengatakan : “aku jadikan kambing ini sebagai kurban” atau “kambing ini adalah qurban”
o مغني المختاج 6 ص : 233
وأما الصيغة فيشترط فيها لفظ يشعر بالتزام فلا ينعقد بالنية كسائر العقود وتنعقد بإشارة الأخرس المفهمة , وينبغي كما قال شيخنا انعقاده بكناية الناطق مع النية
Disyaratkan dalam Shighot (ungkapan nadzar), kata-kata yang menunjukkan menerima kewajiban, sehingga tidak sah nadzar hanya dengan niat seperti aqad-aqad yang lain, dan nadzar sah dengan isyarat bagi orang bisu. Dan menurut Syaikhuna nadzar sah dengan bahasa kinayah jika disertai niat
o نهاية المختاج 8 ص: 131
[ فَرْعٌ ] لَوْ قَالَ : إنْ مَلَكْت هَذِهِ الشَّاةَ فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُضَحِّيَ بِهَا لَمْ تَلْزَمْهُ , وَإِنْ مَلَكَهَا لِأَنَّ الْمُعَيَّنَ لَا يَثْبُتُ فِي الذِّمَّةِ بِخِلَافِ إنْ مَلَكْتُ شَاةً فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُضَحِّيَ بِهَا فَتَلْزَمُهُ إذَا مَلَكَ شَاةً لِأَنَّ غَيْرَ الْمُعَيَّنِ يَثْبُتُ فِي الذِّمَّةِ , كَذَا صَرَّحُوا بِهِمَا فَانْظُرْ الرَّوْضَ وَغَيْرَهُ انْتَهَى سم عَلَى مَنْهَجٍ
(Far’un) Kalau ada orang berkata : “Jika aku memiliki kambing ini, maka hanya karena Allah aku akan berkurban dengannya”, maka dia tidak wajib berkurban walau dia benar-benar memiliki kambing tersebut, sebab “sesuatu yang tertentu tidak bisa menjadi tetap dalam tanggungjawabnya”. Berbeda jika ia mengatakan: “Jika aku memiliki seokar kambing maka hanya karena Allah aku akan berkurban dengannya”, maka ia wajib berkurban jika ia benar-benar memiliki seekor kambing, karena “sesuatu yang tidak tertentu itu bisa menjadi tetap dalam tanggungjawabnya”. 2 masalah ini telah dijelaskan oleh ulama’, lihat dalam kitab Roudl dan kitab-kitab lain.