APAKAH TERMASUK SUAP KETIKA MEMBERI DENGAN PAMRIH?

JKS

Deskripsi Masalah

                Ada seorang pemimpin lembaga sosial (Pesantren atau Panti Asuhan misalnya) pada saat yang sama ia adalah pemimpin ORMAS/ORPOL. Karena posisinya tersebut ia sering kedatangan pejabat negara dan pengusaha dengan membawa bantuan baik materi maupun fasilitas lain. Pemberian itu diberikan tidak selalu dengan penegasan (ikrar) untuk keperluan apa. Apakah untuk kepentingan pribadi, pesantren ataukah ORMAS yang dipimpinnya. Rasanya mustahil bila bantuan itu diberikan dengan cuma-cuma tanpa ada harapan (dalam hati) akan mendapat imbalan tertentu (politis) pada saat diperlukan nanti.

Pertanyaan:

a- (1) Untuk keperluan apakah seharusnya bantuan itu di tasharrufkan?

   (2) Adakah skala prioritas untuk siapa bantuan itu?: Apakah untuk pesantren ataukah ORMAS atau yang lain?
b- Mengingat bahwa hampir tidak ada penguasa atau pengusaha yang memberikan bantuan secara ikhlas karena Allah, apakah pihak penerima seharusnya meminta klarifikasi tentang maksud di balik pemberian tadi?
c- Kalau ternyata si pemberi tidak mau menjelaskan maksudnya (no. b) apakah seharusnya bantuan tersebut ditolak atau diterima?
d- Bolehkah bantuan tersebut digunakan untuk keperluan pribadi (beli rumah, kendaraan dan sebagainya).

Jawaban

(a.1)Sebelumnya perlu kita ketahui bahwa status dari bantuan tersebut terdapat beberapa kemungkinan:

  • Jika pemberi bantuan adalah calon pejabat, maka bantuan tersebut termasuk risywah, bila fihak penerima adalah salah satu penentu jadi dan tidaknya calon tersebut. Dan bisa berstatus ujrah atau ju’lu ketika dilakukan aqad dan ‘amalnya terdapat kulfah, seperti ia sebagai Team Sukses.
  • Dan jika pemberi bantuan adalah pengusaha maka bantuan tersebut tergolong hibbah/ hadiah serta boleh diterima, kecuali ORMAS/ORPOL yang dipimpin fihak penerima menjadi penentu keputusan hukum saat usaha yang digeluti pengusaha tersebut bermasalah.
  • Dan jika pemberi bantuan adalah Pejabat resmi yang menyalurkan bantuan pemerintah kepada ORMAS/ORPOL atau Lembaga Sosial maka statusnya adalah dana bantuan (hibah) dan tentunya boleh diterima.

Dengan demikian tasharruf dari bantuan yang haram (risywah) adalah dikembalikan kepada pemiliknya atau dialokasikan kepada baitul maal (kas Negara)/masholihul muslimin. Sedangkan untuk bantuan yang boleh diterima, cara pen-tasharufan-nya harus disesuaikan dengan urutan obyek alokasi berikut ini: Pertama: sesuai tujuan pemberi (qashd al-muhdi), kedua: sesuai tanda dan bukti (qarinah), ketiga: sesuai urf atau adat yang terlaku, keempat: klarifikasi pada fihak pemberi, kelima:  menanti kejelasan (tawaqquf), dan terakhir dialokasikan ke baitul maal (kas Negara).

(a.2). Tidak ada, karena status barang yang diterima adalah pemberian, sehingga skala prioritas dalam berbagai sudut pandang harus mengikuti fase-fase di atas.

(b). Untuk bantuan yang tergolong risywah, tidak perlu ada klarifikasi. Namun jika tergolong bukan risywah, maka perlu dilakukan klarifikasi bila tidak diketahui maksud ataupun indikasi dari pemberian.

(c). Diterima, kecuali bantuan tersebut diyakini haram, sehingga penerima wajib menanyakan kepada orang-orang terdekatnya.
(d). Boleh, selama tujuan dari pemberi adalah untuknya. Atau terdapat qarinah atau tujuan tabassuth (keleluasaan tasyaruf) yang mengindikasikan pemberian itu termasuk untuk dirinya.

Referensi :

Al Aziz syarah al Kabir juz 12 hal. 468- 469

Al Amal wal Hukam hal. 41

Kifayatul Akhyar hal. 262

Asnal Matholib juz 4 hal. 300

Itsmadil ‘Ain Hamitsi Bughyah hal. 171

Ihya Ulumaddin juz 2 hal. 152-153

Faidlul Qodir juz 1 hal 525

Lubbul Usul hal. 102

Fatawi Subki juz 2 hal. 203-207