KIRIM DO’A DAN SHODAQOH SERTA AMAL YANG BAIK UNTUK MAYIT
Masalah ini adalah bagian dari masalah khilafiyah yang sering menjadi perdebatan dan pertentangan di kalangan umat Islam, yang mana masing-masing kelompok itu sendiri sebetulnya mempunyai dalil/dasar yang dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan kegiatan ibadahnya
Menurut Imam Ibnu Taimiyah : Sesungguhnya orang yang sudah meninggal itu dapat mengambil kemanfaatan dari bacaan-bacaan Al Qur`an sebagaimana kemanfaatan yang diterima dari ibadah maliyah seperti shodaqoh dan sejenisnya. Sedangkan pendapat beliau dalam kitab Ar Ruh dikatakan bahwa : Sebaik-baik perkara yang dapat dihadiahkan kepada orang meninggal adalah shodaqoh, istighfar, do`a dan melaksanakan haji untuk orang yang sudah meninggal. Adapun bacaan Al Qur`an yang dibaca tanpa upah ( menurut mayoritas Ulama bahwa ta`limul Qur`an diperbolehkan mengambil upah) yang dikirimkan kepada orang yang sudah meninggal, pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji ( yang diqodlo` oleh keluarganya ). Masih menurut Imam Ibnu Taimiyah dan dikuatkan oleh pendapatnya Imam Ibnu Qoyyim dalam kitab yang lain menyebutkan, bahwa pelaksanaan kirim do`a, shodaqoh dll sebagaimana diatas harus diniyati dihadiahkan pada orang yang sudah meninggal, walaupun tidak disyaratkan dengan talafudz / melafalkan. (Adapun apabila dilafalkan seperti :
اللهمّ اوصِلْ واهدِ ثواب ماقرأناه من القرأن العظيم وما صلينا وما سبّحنا وما هللنا ومااستغفرنا….
Seorang mufti negara Mesir Al `Allamah Syaich Hasanain Muhammad Mahluf telah mengutip pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, beliau berpendapat: Bahwa menurut madzhab Imam Abu Hanifah, sesungguhnya orang yang melakukan ibadah, baik shodaqoh, membaca Al Qur`an, atau amal baik yang lain, pahalanya dapat dihadiahkan pada orang lain, dan pahala itu akan sampai padanya. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Al Muhibbu At Thobary, bahwa akan sampai pahala ibadah yang dikerjakan semata-mata dihadiahkan pada orang yang sudah meninggal, baik ibadah wajib maupun sunnah. ( Menurut ihthiyat / kehati-hatian para Ulama apabila ada orang yang sudah meninggal masih meninggalkan sholat, maka sebaiknya keluarganya mengqodlo sholat tersebut, dengan niyat :
اصلّى فرض الظهر اربع ركعات عن ……. لله تعالى
Artinya: Saya sholat dhuhur dengan 4 roka’at dari …………… karena Allah yang maha luhur.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, bahwa orang meninggal yang masih memiliki tanggungan sholat, maka keluarga wajib membayar fidyah yang besarnya 1 mud tiap-tiap 1 kali sholat yang ditinggalkan.
Demikian juga orang meninggal yang masih mempunyai tanggungan puasa Romadhon, maka wajib diqodlo keluarganya, sebagaimana sabda Rosululloh SAW :
من مات وعليه صيام صام عنه ولـيّه ( متّفق عليه )
Artiya: Orang meninggal yang masih memiliki tanggungan puasa, maka wajib diqodlo oleh keluarganya
Niyatnya sebagai berikut :
نويت أداء فرض الصوم عن …….. المرحوم لله تعالى
Adapun menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik , hanya wajib dibayar kifarat, sebgaimana Hadits Marfu` riwayat Ibnu Umar , Rosululloh bersabda :
من مات وعليه صيام اُطعِمَ عنه مكان كلّ يومٍ مسكينٌ
Artiya: Orang meninggal yang masih memiliki tanggungan puasa, maka wajib dibayarkan berupa makanan pokok kepada orang miskin, sebesar 1 mud sebagai ganti setiap 1 hari puasa.
Didalam syarah Al Mukhtar disebutkan bahwa : Dibenarkan kepada setiap orang yang hendak menjadikan pahala sholat dan amal baik lainnya, untuk orang lain dan pahala tersebut akan sampai kepadanya. Sebagaimana pendapat Al `Alim Al `Allamah Syaich Muhammad Nawawi bin `Aroby yang menjadi pimpinan para Ulama Hijaz, dalam kitab Nihayatuz Zain, beliau berpendapat : Salah satu bentuk sholat sunnah adalah sholat 2 rokaat untuk orang meninggal di dalam kubur. Pendapat ini didasarkan pada sabda Rosulloh SAW :
لايأتي على المـيّت أشدّ من الليلة الأولى فارحموا بالصدقة من يموت فمن لم يجد فليصلّ ركعتين , يقرأ فيهما اى في كلّ ركعة منهما فاتحة الكتاب مرّةً وأية الكرسيّ مرّةً وألهاكم التكاثر مرّةً وقل هوالله احد عشر مرّاتٍ , ويقول بعد السلام اللهمّ إنّي صليتُ هذه الصلاةَ وتعلم مااُريد , اللهمّ ابعث ثوابـها إلى قبر ….. فيـبعث الله من ساعته إلى قبره ألفَ ملكٍ مع كلّ ملك نورٌ وهديّةٌ يؤنّسونه إلى يوم يُنفخ في الصور
Artinya: tidak ada sesuatu yang datang kepada mayit yang Paling berat siksaan bagi orang meninggal adalah keadaan malam pertama, maka belas kasihanilah dengan shodaqoh, apabila tidak ada maka sholatlah 2 roka`at yang mana pada tiap roka`atnya membaca Al Fatihah 1 x , ayat kursi 1 x , Alhakumut takatsur 1 x , dan Al Ihlas 10x , setelah salam berdo`a : Ya Alloh aku mengerjakan sholat ini, dan Engkau mengerti apa yang aku harapkan, Ya Alloh hadiahkan sholatku ini kepada ………….. “
Di dalam kitab Fathul Qodir, diriwayatkan oleh Sayyidina Ali KW,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من مرّ على المقابر وقرأ قل هوالله احد إحدى عشرة ثمّ وهب أجرها للأموات اُعطِي من الأجر بعدد الأموات
Rosululloh SAW bersabda : Barangsiapa lewat di pekuburan, lalu membaca Surat Al Ikhlash 11 x , kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang yang meninggal di dalam pekuburan tersebut, maka ia akan memperoleh pahala sejumlah orang yang meninggal . ( Hadits ini menunjukkan bahwa hadiah bacaan Al Qur`an itu bisa sampai pada orang meninggal, dan yang membacanya juga memperoleh pahala yang besar )
Sedangkan menurut riwayat Anas RA ,
أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم سُئل فقال السائل : إنّـا تصدّق عن موتانا وتحُجَّ عنهم وتدعو لهم , هل يصل ذلك إليهم ؟ قال نعم إنّه لَيَصِلُ إليهم وانّهم ليفرحون به كما يفرح احدكم بالطَبْق اذا اُهدِيَ اليهم
Rosululloh pernah ditanya seseorang , Wahai Rosululloh, aku shodaqoh untuk keluargaku yang telah meninggal, aku juga menghajikan mereka, berdo`a untuknya, apakah bisa sampai pahala-pahala tersebut kepada mereka ? Rosululloh bersabda : Ya , sungguh itu semua sampai kepada mereka, sedangkan mereka merasa bahagia sebagaimana seseorang yang sedang menerima bingkisan.
Didalam kitab Washiyatul Musthofa,
أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم قال : يا عليُّ تصدّقْ على موتاك فإنّ الله تعالى قد وكّل ملائكةً يحملون صدقات الاحياء إليهم فيفرحون بها اشدّ ما كانوا يفرحون في الدنيا
Rosululloh bersabda: Wahai Ali, shodaqohlah untuk orang mati kalian, sesungguhnya Alloh akan mengirim Malaikat membawa shodaqo-shodaqoh orang hidup kepada mereka, sedangkan mereka akan bergembira sebagaimana bergembira ketika menerima bingkisan waktu di dunia
Menurut Madzhab Syafi`i, sesungguhnya shodaqoh itu pahalanya akan sampai pada orang yang telah meninggal secara pasti (tanpa batasan). Adapun membaca Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, maka pendapat yang dipilih oleh beliau sebagaimana dalam syarah Al Minhaj, adalah sampainya pahala tersebut tapi perlu keyakinan dan kemantapan dalam niyat menyampaikannya, karena merupakan bentuk do`a ( ciri-ciri do`a adalah bisa dikabulkan dan bisa tidak )
Menurut madzhab Maliki , sudah tidak ada ikhtilaf lagi tentang sampainya pahala shodaqoh pada orang meninggal, sedangkan untuk baca`an Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, masih khilafiyah walaupun para Ulama Muta`akhirin lebih cenderung menerima pendapat diterimanya pahala membaca Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, kepada orang yang telah meninggal. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Ibnu Farohun, beliau berpendapat bahwa sampainya pahala membaca Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, adalah pendapat yang paling rojih / unggul .
Menurut Imam Nawawi dalam kitab Al Majmu` bahwa Al Qodli Abu Thoyyib pernah ditanya tentang khataman Al Qur`an di pekuburan, Beliau menjawab: Pahalanya untuk yang membaca, sedangkan orang-orang yang meninggal seperti orang yang menghadiri acara khataman tersebut dengan berharap rahmat dan barokah dari Al Qur`an. Berdasar ini maka khotmil Qur`an di makam hukumnya boleh. Demikian juga berdo`a yang mengiringi khotmil Qur`an, maka lebih memungkinkan dan lebih mudah diijabahi, dan do`a tersebut akan memberi manfa`at pada orang yang meninggal. Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar yang mengambil referensi dari sebagian besar Ulama-Ulama Syafi`iyah, bahwa pahala membaca Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, akan sampai pada orang meninggal. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ulama-Ulama madzhab Ahmad bin Hanbal
Menurut Imam Sya`rony dalam kitab Mizan Al Kubro, beliau berpendapat bahwa diterimanya pahala membaca Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, memang ada ikhtilaf, dan masing-masing memiliki dasar / hujjah. Dan madzhab Ahlus Sunnah menyatakan bahwa seseorang bisa menjadikan pahala dari amal baiknya kepada orang lain, dan pendapat ini sesuai dengan Imam Ahmad bin Hanbal.
Imam Muhammad Ibnu Al Marwizy pernah mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : Apabila kalian memasuki area makam, bacalah Al Fatihah, Al Ikhlas dan Al Mu`awwidzatain, dan hadiahkan pahalanya untuk ahli kubur, maka akan sampai pahalanya. Dan setelah itu berdo`alah : Allohumma aushil wa ahdi tsawaba ma qoro`tuhu minal Qur`anil `Adhim ila man fi hadzihil maqbaroh, khususon ila ………..
Menurut Al `Allamah Muhammad `Aroby dalam kitab Majmu` Tsalatsi Rosa`il, bahwa sesungguhnya membaca Al Qur`an untuk orang meninggal hukumnya boleh, dan pahalanya akan sampai padanya, walaupun dalam pembacaannya tersebut dengan upah. Pendapat ini yang dipakai pegangan para Ulama Fiqih madzhab Ahlus Sunnah, yang didasarkan pada hadits riwayat Abu Hurairah RA :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من دخل المقابر ثمّ قراء فاتحة الكتاب وقل هوالله احد وألهاكم التكاثر , ثمّ قال إنّي جعلتُ ثواب ما قرأتُ من كلامك لأهل المقابر من المؤمنين والمؤمنات كانوا شفعاءَ له الى الله تعالى
Rosulullah S.A.W bersabda: “Barangsiapa memasuki area makam, kemudian membaca Al Fatihah, Al Ikhlas dan At Takatsur, lalu berdo`a menghadiahkan baca`annya kepada ahli kubur yang mukmin dan mukminat, maka kelak ahli kubur tersebut akan memohonkan pertolongan pada Alloh untuknya “
Kesimpulan :
Menurut Madzhab Syafi`i : Pahala shodaqoh akan sampai pada orang yang meninggal secara pasti (tanpa batasan). Adapun membaca Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, adalah sampainya pahala tersebut tapi perlu keyakinan dan kemantapan dalam niyat menyampaikannya, karena merupakan bentuk do`a
Menurut Madzhab Maliki : Tidak ada ikhtilaf lagi tentang sampainya pahala shodaqoh untuk orang meninggal
Menurut Madzhab Hanbali : Pahala membaca Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, akan sampai pada orang meninggal.
MEMBANGUN KESHOLIHAN DENGAN PENGAMALAN SURAT YASIN
Selain Al Fatihah, Al Ikhlas dan Al Muawwidzatain, mungkin surat Yasin adalah surat yang paling banyak berinteraksi dengan kaum Muslim. Yasin dibaca dalam setiap pertemuan kaum Muslim, ketika tahlilan, ziarah kubur, bahkan dijadikan amal wasilah demi terkabulnya hajat. Yasin menjadi perekat sosial secara horizontal dan media berdialog dengan Allah secara vertikal. Disinilah urgensi Yasin menjadi penting. Hakikatnya yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat baik individu maupun sosial menjadikan Yasin begitu dibutuhkan bukan cuma sebagai ayat suci dalam relasi khalik dan makhluk tapi ayat sosial dalam relasi masyarakat.
Karenanya, menjadi wajar dan begitu urgen kalau surat Yasin dihaturkan ke hadapan masyarakat dengan disertai pemahaman. Misi agar Yasin menjadi nilai-nilai hidup dalam masyarakat inilah yang mengilhami penulis, KH Abd Basith AS menghadirkan buku ini. Surat Yasin yang telah melembaga dalam batin masyarakat akan lebih bernilai jika dia hidup, lebih-lebih jika amanat dalam surat Yasin menjadi perilaku teladan masyarakat kita.
Buku ini terbagi dalam 4 bab dengan menyajikan Yasin secara per kelompok mengikuti sistematika ayat yang tematik. Rujukannya sudah lebih dari cukup untuk menyajikan Yasin dari berbagai perspektif. Beberapa kitab muktabarah dijadikan rujukan dalam buku ini sehingga warna intelektualnya begitu mewarnai. Perspektif ilmu Tafsir dan Ulumul Quran tercermin dari referensi Tafsir Jalalain, Tafsir Al Maraghi, Hasyiyatul Allamah As Shawi Ala Tafsiril Jalalain, Tafsiru Surat Yasin Syekh Hamami Zadah, juga Qabas min Nuril Quran Muhammad Ali Asshabuni. Sementara tasawuf dan pendidikan adab menggunakan rujukan Ihya’ Ulumuddin, Sirajut Thalibin dan Mau’idhatul Mu’minin.
Dimulai dengan tafsir ayat pertama Surat Yasin yang sifatnya diskursus. Penulis nampaknya memilih pendapat jumhur ulama ahlusunnah untuk menyerahkan penafsiran lafal Yasin di pembuka surat pada Allah. Meski penulis juga menyebutkan penafsiran Yasin menurut sejumlah ulama. Aspek keragaman nampak diperhatikan, meski penulis hanya menyebutkan arti Yasin menurut Ibnu Katsir dan Jalalain. Keragaman pemaknaan lafal Yasin yang disebut penulis, sebenarnya ditemukan sejak tafsir Abdullah bin Abbas, Qatadah, Ikrimah, Al Mawardi dan Tafsir Al Kasyaf. Selain itu, pada bab pertama ini penulis menyebut identitas penyantun sebagai manifestasi rahmah dalam Islam. Sebuah upaya tak terputus untuk menyambungkan aspek sakral Al Rahim pada ayat kelima Yasin dengan aktivitas sosial.
Pemilihan referensi sebagai rujukan nampaknya jitu dan mengena. Ambil contoh, dalil tentang keesaan tuhan yang dirujuk dari As Shabuni menyebutkan bahwa tanda-tanda di alam semesta sejak relasi bumi dan hujan, siang dan malam, peredaran bulan dan matahari serta fakta transportasi (19-23). Pemilihan tema ini sifatnya mengena karena bersifat identifikatif-observasif bagi setiap Muslim. Artinya setiap Muslim pasti menjumpai fenomena alamiah di atas sehingga tadabbur lebih mudah diaktifkan sesuai tingkat keilmuan masing-masing individu.
Selain aspek intelektual, sosial dan tauhid, buku ini juga menyertakan kekhasan sebagai buku warga NU. Di awal buku dicantumkan dalil tentang fadhilah Yasin yang mungkin bagi kalangan Wahabi bersifat problematik serta tak lupa di akhir buku penulis mencantumkan doa populer surat Yasin karya Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad.
Walhasil, buku ini ternyata tak sesederhana tampilannya. Meski hanya 54 halaman, ilmu yang dituangkan Kiai Abd. Basith menjangkau jauh lebih banyak dari sekedar 54 halaman. Ada kalimat-kalimat tak tercetak yang disuguhkan penulis yang hanya bisa dipahami jika buku ini dibaca dengan penuh penghayatan dan ghirah untuk menghidupkan kesalehan. Sesuai misinya, buku ini cocok dibaca sejak lapisan elit, intelektual sampai masyarakat bawah.
Judul Buku: Surah Yasin: Menghadirkan Nilai-nilai Al Quran Dalam Kehidupan
Penulis: KH Abdul Basith AS
Penerbit: LTN NU Sumenep dan Muara Progresif
Halaman: XII dan 53 Halaman
Tahun terbit: Juni 2013
ISBN: 978-602-17206-5-3
Peresensi:Syarif Hidayat Santoso, pustakawan, warga NU Sumenep.