SELAMAT HARLAH NU KE 95 INI PESAN KYAI SAID SEBAGAI KETUA PBNU

NU ONLINE

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyampaikan tiga pesan dalam rangka memperingati Hari Lahir (Harlah) ke-95 NU yang jatuh pada hari ini, Ahad (31/1). Ketiga hal itu adalah soal kontekstualisasi ajaran kitab kuning, soliditas organisasi, dan menyukseskan vaksinasi Covid-19. “Pesan saya untuk menghadapi era ini, mari generasi muda NU mampu mengontekstualisasikan ajaran kitab kuning, ilmu-ilmu yang ada di kitab kuning. Ayo kita harus mampu mengontekstualisasikan,” ujar Kiai Said dalam acara Peringatan Harlah ke-95 NU yang diselenggarakan secara virtual, pada Sabtu (30/1) malam.

Menurut Kiai Said, semua permasalahan dalam kehidupan, terutama yang berkaitan dengan prinsip syariat Islam sudah tersedia di dalam kitab kuning. “Tinggal kita harus mampu agar bagaimana, ajaran di kitab kuning itu muthabaqah li zaman wa munasabah lil waqi’ artinya kontekstual dan cocok dengan zaman sekarang,” lanjutnya. Oleh karena itu, ia mengajak santri di lingkungan NU untuk bangga menjadi bagian yang berasal dari pesantren. Di samping itu, harus bangga pula dengan kitab-kitab kuning yang dipelajari selama bertahun-tahun

 “Kita bangga dengan kiai-kiai yang selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jamaah. Mulai dari kitab Safinatun Najah, Sullamul Munajat, Sullamuttaufiq, Fathul Qarib, Fathul Wahab, Mahalli, hinggga Iqna’,” terang Kiai Said. “Kita bangga dengan kitab Jawahirul Kalamiyah, Tijan Darori, Aqidatul Awwam, dan puncaknya Fathul Majid. Kita bangga mulai Bidayatul Hidayah, Adabuddin, Minhajul Abidin, dan sampai ke Ihya’ Ulumiddin,” sambungnya. Pengasuh Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan ini juga menyatakan bahwa santri harus berbangga dengan prinsip-prinsip yang diwarisi dari para ulama Aswaja. Terutama dari kalangan madzhab fikih Imam Syafi’i, madzhab teologi Imam Asy’ari, dan madzhab tasawuf Imam al-Ghazali. Soliditas organisasi Kiai Said kemudian berpesan dan menekankan kepada pengurus NU di seluruh tingkatan seluruh Indonesia, agar mampu meningkatkan soliditas organisasi. Tak hanya itu, pengurus NU juga diminta untuk meningkatkan ketaatan.

“Ranting harus taat pada MWC, MWC harus taat pada Cabang, Cabang harus taat pada Wilayah, dan Wilayah harus taat pada PBNU. Itu kalau kita ingin menjadi organisasi yang sukses, maka harus disiplin dari tingkat PBNU sampai tingkat ranting, betul-betul punya komitmen, semangat ingin membangun soliditas agar betul-betul berwibawa,” pesan Kiai Said. Ia berharap, NU tidak ditertawakan oleh orang luar karena berjalan sendiri-sendiri. Oleh karenanya, seluruh pengurus NU diminta untuk menunjukkan bahwa organisasi yang didirikan para ulama ini solid.

 “Kita tunjukkan kita solid, tidak ada pertengkaran. Beda pendapat biasa tapi pertengkaran dan perpecahan, tidak ada. NU satu, di bawah pimpinan PBNU, di bawah pimpinan KH Miftachul Akhyar. Semua harus solid, tidak boleh ada yang jalan sendiri tanpa ada komando dari pimpinan pusat. Itulah yang saya maksud soliditas kita harus ditingkatkan,” terang Kiai Said. Sukseskan vaksinasi Dalam menghadapi Covid-19 yang belum juga selesai, Kiai Said sampai hari ini masih tetap mengingatkan bahwa virus itu ada dan sangat membahayakan. Terutama kepada orang lanjut usia (lansia) di atas 60 tahun dengan penyakit seperti jantung, diabetes, dan paru-paru. “Maka mudah sekali terjangkit dan sulit untuk disembuhkan. Kalau masih muda belum ada penyakit, mudah disembuhkan. Maka kita harus terus waspada, menjaga protokol kesehatan. Menjaga jarak, pakai masker, dan cuci tangan,” tegas kiai kelahiran Cirebon, 67 tahun lalu ini. Kemudian jika nanti sudah diselenggarakan program vaksinasi secara massal untuk masyarakat Indonesia, ia meminta Nahdliyin untuk ramai-ramai mengikuti vaksin yang sudah diatur pemerintah. “Karena vaksin itu salah satu hal yang mampu menjaga dan menumbuhkan kekebalan tubuh kita untuk menolak bahayanya virus Corona ini,” terang Kiai Said. Ia mengaku bicara agar warga NU menyukseskan vaksinasi Covid-19 benar-benar ikhlas dan tulus. Tidak ada sama sekali pihak yang membayar Kiai Said agar mau melakukan sosialisasi program vaksinasi. “Jangan disangka saya dibayar ngomong seperti ini. Tidak, wallahi tidak. Tapi betul-betul saya demi keselamatan kita semua. Virus Corona itu ada dan bahaya. Maka ayo kalau ada vaksin nanti pertengahan Maret kita sukseskan vaksinasi ini,” ajaknya. “Saya ngomong begini bukan dibayar, bukan kita pro pemerintah. Tapi betul-betul ingin menyelamatkan kita semua.

Wahai kiai-kiai, ustadz-ustadz, para pengurus NU, Covid-19 itu ada dan membahayakan,” ucap Kiai Said. Terakhir, ia mengucapkan selamat Harlah ke-95 kepada NU berdasarkan masehi dan ke-98 menurut hitungan tahun hijriah. Kiai Said berharap agar Allah memberikan kepada seluruh warga dan pengurus NU. “Sehingga NU semakin bermanfaat berkah untuk bangsa Indonesia dan untuk dunia internasional,” katanya, penuh yakin. Sebagai informasi, acara peringatan Harlah ke-95 NU ini dibarengi dengan Konser Amal Peduli Bencana di Indonesia. Para Nahdliyin yang hadir dalam acara tersebut dipersilakan untuk berdonasi melalui NU Care-LAZISNU di nomor rekening 0681192688 (BCA) atas nama Yay. Lembaga Amil Zakat Infaq & Shadaqah. Acara ini dibuka dengan pembacaan yasin, tahlil, dan doa yang dipimpin HM Nur Hayid (Gus Hayid) dari Lembaga Dakwah (LD) PBNU. Lalu terdapat berbagai penampilan, baik dari individu atau pun beregu. Para pengisi acara itu adalah Paduan Suara dari BPK Penabur yang melantunkan syair Syubbanul Wathan, Penyanyi Ari Lasso,

KH Miftah Maulana Habiburrahman (Gus Miftah), KH Ahmad Muwafiq (Gus Muwafiq), Nasida Ria, Ustadz Yusuf Mansur, Veve Zulfikar, KH Abdurrahman Al-Kautsar (Gus Kautsar), Sahabat Selawat, UKM Seni Islami Universitas Islam Malang, Wahid Hasyim Voice, NU Talent, Musisi Jalanan Center, PCINU Mesir, dan Ghania Paramuda. Di samping itu, ditampilkan pula video ucapan dari seluruh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) seluruh Indonesia dan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama di belahan dunia. Lalu ada juga ucapan video dari para pemimpin umat beragama di Indonesia, duta besar negara sahabat, dan beberapa menteri di Kabinet Indonesia Maju.

PERSPEKTIF ULAMA SALAF TENTANG DUNIA DAN KENISBIANYA

“Perasaan senang, bahagia, tenteram, puas dan lapang dada ternyata tak timbul sebab keserasian suatu raihan manusia dengan keinginannya. Begitu sebaliknya, rasa sedih, masygul dan gundah gulana tak lahir karena kontradiksi harapan dengan  kenyataan. Segala rasa itu adalah kesan maknawi yang dialirkan Sang Ilah ke hati hamba yang Ia kehendaki.”

“Tak jarang, seseorang yang hidup dalam kemiskinan, cacat fisik dan kepelikan lain yang menyusahkan, nyatanya bisa menghirup perasaan legawa, sejahtera, serta bahagia. Rasa hati yang positif itu bisa menjalar ke kawan-kawan dekatnya, bahkan kepada orang yang memandang wajahnya atau menyebut dirinya.”

“Banyak pula orang yang hidup dalam kemewahan materi, keperkasaan raga, jaminan masa depan, dan kenyamanan, tapi, dengan segenap fasilitas itu, ia tak merasakan damai. Hatinya sempit, keruh, susah, sumpek dan penuh gelisah. Siapa saja yang membicarakan orang semacam ini bakal merasakan suntuk, apalagi memandangnya atau berkumpul bersamanya.”

Begitulah Habib Abdullah bin Husein bin Thahir membaca gelagat manusia dalam kehidupannya. Sungguh tepat kiranya. Manusia memang sering teperdaya. Mereka senantiasa menyangka bahwa kebahagiaan hanya bisa direngkuh dengan kebendaan. Kekayaan pun mereka kejar-kejar setengah mati. Dan begitu mereka dapat, ternyata semua itu hampa, kosong, tak ada apa-apanya.

DAJJAL

“Dunia ini tak ada bedanya dengan Dajjal. Sebuah hadis Nabi SAW mengenalkan sosok Dajjal kepada kita: Ia (Dajjal) datang dengan membawa surga dan nerakanya sendiri. Surga versi Dajjal yang disaksikan orang-orang, hakikatnya adalah neraka yang membakar. Sedang neraka milik Dajjal yang terlihat oleh mata, ternyata, itulah embun surga yang menyegarkan.”

“Dunia pun segendang sepenarian. Ia mengusung surga dan neraka. Surga yang dihidangkan oleh dunia ternyata menyimpan  azab, azab di dunia dan azab di akhirat. Sementara itu, neraka dunia yang dirasakan oleh manusia ternyata memendam sejuta nikmat, nikmat dunia dan nikmat akhirat.”

“Manakala kita menyaksikan seseorang dikaruniai anak yang banyak, limpahan emas dan perak, pakaian-pakaian megah, rumah dan kendaraan mewah, makan dan minuman lezat, istri nan jelita, kebun-kebun serta tanah-tanah yang lapang, jabatan tinggi, banyak pengikut, dan popularitas, kita pasti membayangkan bahwa ia telah berada di puncak kenikmatan dan kepuasan. Akan tetapi, bila kita mau merenungkan lebih jauh, kita tersadar: sejatinya ia berada di pusaran keletihan dan kepayahan; ia terkurung di dalam arus kesumpekan dan jurang fitnah serta marabahaya. Betapa tidak. Kalau kita kaji lagi, segenap kesusahan, keresahan dan laku dosa ternyata berpangkal dari kenikmatan-kenikmatan tersebut. Surga yang semu itu pun menjelma neraka.”

“Coba kita amati orang yang hidupnya pas-pasan dan merasa cukup dengan semua itu, yang jalan hidupnya zuhud, anaknya sedikit, pakaian dan rumah tinggalnya sederhana, tak bermodal, bukan tuan tanah, khumul dan tak dihiraukan orang banyak, serta menyepi dari keramaian, niscaya akan terbit rasa iba di hati kita akan keadaannya. Kita bakal menyangka bahwa orang seperti ini senantiasa digelayuti kesedihan. Kita takkan pernah tahu bahwa hati orang macam inilah yang sebenarnya jauh lebih bahagia dan damai dari orang model pertama tadi.”

“Itu masih di dalam tataran dunia. Di akhirat kelak, sang manusia tak berpunya akan beroleh harapan selamat dan sukses lebih besar dari si kaya raya. Dari sini kita bisa menyerap kearifan: neraka dunia sebenarnya adalah surga. Memang, tak ada kata rehat atau enak dalam kehidupan di dunia. Akan tetapi bila kita membaca ihwal kedua macam orang di atas, kita bisa menyaksikan perbedaan yang sangat nyata.”

Itulah kenisbian dunia yang dikuak oleh Habib Abdullah. Semoga mata kita terbuka hingga bisa lebih bijak lagi dalam menyikapi hidup. Bila dikaruniai rizki lebih, mungkin kita bisa berbagi, dan bila diberi cobaan kesulitan hidup, kita mampu bersikap kuat dan bersabar. Simaklah doa beliau berikut ini,

“Ya Allah, tuntunlah kami menuju akhlak terindah, sungguh, tak ada yang kuasa mengantar kami ke sana selain diri-Mu. Palingkan jiwa kami dari akhlak-akhlak tak elok, sebab, nyatanya tak ada yang berdaya mengelakkan kami dari semua itu kecuali Engkau.”

PERSPEKTIF ULAMA TENTANG DUNIA

Tradisi tulis-menulis sangat berperan dalam perkembangan dakwah Islam sejak dari dulu. Di masa Rasulullah SAW sebagian sahabat yang memiliki ketrampilan tulis-menulis seperti Abu Hurairah dan Abdullah bin ‘Amr bin Ash secara proaktif mencatat hadits-hadits beliau. Kemudian tradisi tersebut diteruskan para salaf setelahnya. Berikut adalah kalam Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, ulama besar yang disebut sebagai penerus salaf di Wadi Ahqaf kala itu yang ditulis dan dibukukan oleh salah satu muridnya.

‘Ketahuilah, sesungguhnya segala sesuatu memiliki hakekat, dan hakekat iman adalah kosongnya hati dari dunia dan segala kenikmatannya yang memabukkan. Suatu ketika Rasulullah SAW bertanya kepada Haritsah, “Bagaimana kabarmu pagi hari ini, wahai Haritsah ?” “Pagi ini aku beriman kepada Allah secara hakiki.” Jawab Haritsah. “Bagaimanakah hakikat iman menurutmu?” sambung Rasulullah. “Aku mengosongkan diriku dari dunia, sehingga bagiku sama saja nilai emas dengan batu-batu yang lainnya.” Jawab Haritsah kembali. “Sekarang kamu telah mengetahui hakekat iman, maka lazimilah dan berzuhudlah di atas dunia…!” ujar Rasulullah.

Sesungguhnya salah satu asas agama ini adalah zuhud, menjahui kenikmatan dunia yang bersifat sementara. Kenikmatan yang pada akhirnya disesali oleh mereka yang terlarut di dalamnya. Dunia pada hakekatnya tidak ada nilainya. Bahkan Allah SWT sendiri tak pernah memandang dunia semenjak menciptakannya. Allah juga mewanti-wanti hamba-hamba pilihannya agar tidak tertipu dan senantiasa menjahui dunia. Maka tak dapat diragukan lagi bahwa zuhud adalah sumber dari keberuntungan dan kebahagiaan. Oleh karena itu perilaku zuhud merupakan identitas diri orang-orang yang mulia dan para pemimpin umat terdahulu.

Adapun mencintai dunia, perilaku itu adalah pangkal dari perbuatan dosa dan sumber dari berbagai bencana, fitnah dan kerusakan. Rasulullah SAW bersabda,

حُبُّ الدُّنْيَا رَأسُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ

“Cinta kepada dunia adalah pangkal dari segala perbuatan dosa.”

Seperti halnya jika mencintai dunia merupakan pangkal dari segala perbuatan dosa, maka membenci dunia adalah sumber dari kebahagiaan dan tangga menuju kesuksesan. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman,-

مَا تَعَبَّدَ لِي عَبْدِي الْمُؤْمِنُ بِمِثْلِ الزُّهْدِ فِي الدُّنْيَا

“Tidaklah dapat seorang hambaku yang beriman kepadaku beribadah kepadaku seperti halnya zuhud di dunia”. Maksudnya ialah seseorang dengan ibadahnya takkan dapat memperoleh pahala sebesar pahala zuhud, di selain ibadah fardhu tentunya.

Seseorang apabila membaca dan menghayati ayat-ayat Al Qur’an dengan sungguh-sungguh, kemudian menelaah hadits-hadits nabi dengan teliti, serta menyimak kalam-kalam ulama salaf yang ikhlas, maka ia akan menyadari bahwa dunia tidak ada nilainya sama sekali. Sebab ayat-ayat Al Qur’an , hadits-hadits nabi serta kalam ulama terdahulu berulang kali mencela dan menghinakan dunia. Orang yang demikian akan insyaf dan akan berusaha mengosongkan dirinya dari dunia untuk berzuhud meninggalkan kenikmatan dunia lalu menghadapkan dirinya dengan penuh kepada Sang Pencipta seluruh alam. Kemudian niscaya ia akan lebih bersemangat untuk mendapatkan kenikmatan-kenikmatan surga yang abadi yang di dalamnya tak ada masa tua, kematian, kerusakan.

Sungguh, surga adalah suatu kenikmatan hakiki yang tak dapat disifatkan. Rasulullah SAW menggambarkan surga sebagai kenikmatan yang tak pernah di pandang oleh mata, didengar oleh telinga, dan bahkan tak pernah terlintas dalam hati manusia. Dan di balik itu semua masih tersimpan kenikmatan-kenikmatan lain yang lebih dahsyat dan seterusnya hingga kenikmatan tertinggi yaitu memandang kehadirat Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Maka, apalah arti dunia yang sedikit dan cepat berlalu ini.

Sesungguhnya semenjak dahulu, para nabi dan ahli hikmah sangat menekankan pentingnya perilaku zuhud dalam setiap dakwah mereka. Karena mereka tahu bahwa kenikmatan dunia hanya akan menutupi cahaya iman dalam diri setiap mukmin seperti mendung kelabu yang menutupi cahaya matahari disiang hari. Padahal, apabila cahaya iman tersebut bersinar terang tanpa penghalang, niscaya ia akan memandang hakekat segala sesuatu dan Allah akan mengalirkan ilmu-ilmu laduni kepadanya. Maka hapuskanlah sekat-sekat penghalang tersebut dengan meninggalkan dunia. Asal tahu saja, apabila kamu tidak meninggalkan dunia, maka dunia itulah yang akan meninggakanmu.

Dunia ini ibarat bayang-bayang. Jika kamu meninggalkannya, maka ia pasti mengejarmu. Dan apabila kamu mengejarnya, maka ia pasti berlari meninggalkanmu. Suatu kali Rasulullah berseru, “Wahai dunia, barang siapa berkhidmat kepadaku maka berkidmatlah kamu kepadanya, dan barang siapa berkhidmat kepadamu maka jadikanlah ia khadam (budak)-mu.”

Tidak kurang dari seratus ayat dalam Kitabullah yang mencela dunia dan mewanti-mewanti kita agar senantiasa menjahui kenikmatannya. Tak terhitung berapa hadits Rasulullah yang menghinakan dunia. Dan tak bosan-bosannya para salaf soleh dari dahulu hingga kini memperingatkan kita akan bahaya dunia. Maka sekiranya cukup bagi kita semua itu sebagai bahan pemikiran dan penyikapan.

Ketahuilah, apabila kamu berusaha menapaki jejak para salaf dengan kesungguhan hati dan niat yang baik, maka tidak mustahil kamu akan meraih segala sesuatu yang dahulu  mereka raih. Semua atas kehendak Allah SWT Yang Maha Kekal masih bersama kita sebagaimana dahulu bersama mereka. Yang Maha Pemberi masih senantiasa bermurah hati. Sesungguhnya Allah memiliki anugerah-anugerah yang berlimpah. Maka, perbanyaklah ketaatan dan amalan-amalan yang baik. Mendekatlah diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunnah disertai anggapan bahwa ibadahmu tersebut masih jauh dari sempurna. Jangan pernah beranggapan bahwa ibadah-ibadahmu sudah banyak. Sebab amalan sedikit yang disertai tawadhu’ nilainya jauh melimpah, sedangkan amalan yang banyak akan menjadi sia-sia apabila disertai ‘ujub’ (bangga diri)

Hiasilah perangaimu dengan sifat sabar, kuatkan dirimu dalam menghadapi cobaan-cobaan, lapangkan dadamu kepada setiap muslim dan berusahalah meredam amarahmu sewaktu akan menghujam. Berbelas kasihlah kepada semua makhluk Allah. Sebab hanya mereka yang mempunyai sifat kasih yang akan dirahmati oleh Allah. Dan jika kamu berbelas kasih kepada makhluk Allah yang ada di bumi, maka seluruh makhluk Allah yang ada di langit akan berbelas kasih kepadamu. Berakhlaklah dengan akhlak Al Qur’an  dan teladanilah tingkah laku Rasulullah SAW. Senantiasalah mensyukuri semua nikmat Allah yang dikaruniakan kepadamu. Sebab dengan mensyukurinya kamu akan memperoleh tambahan yang berlipat dan kamu akan terhindar dari azab-Nya baik di dunia maupun kelak di akhirat.

Dan faktor terpenting yang akan menjadikanmu seorang hamba yang pandai bersyukur adalah kesediaanmu menyisihkan sebagian umurmu untuk menuntut ilmu. Sebab hanya dengan ilmu seseorang akan menyadari darimana datangnya nikmat itu untuk kemudian mensyukurinya. Ibnu Ruslan mendendangkan syair,-

فَالْعِلْمُ اَسْنىٰ سَائِرِالاَعْمَالِ * وَهُوَ دَلِيْلُ اْلخَيْرِ وَاْلاِفْضَالِ

“Maka ilmu adalah dasar dari semua amal baik, dan merupakan petunjuk bagi kebaikan dan keutamaan”

Dan ilmu yang paling bermanfaat menurut syariat adalah ilmu yang nantinya akan menyertaimu di alam kubur seperti yang dikemukakan “Hujjatul Islam” Imam Ghazali. Dalam kitab Ihya’nya, ia mengungkapkan, “Ketahuilah bahwasanya ilmu yang bermanfaat di akhirat yang akan membersihkan dirimu dari dosa-dosa kelak bukanlah ilmu tentang perdagangan, memandikan mayit, atau talak. Bukan pula ilmu tentang lafadz ataupun mantiq, namun ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bakal menyertaimu di dalam kubur, yaitu ilmu tauhid, ma’rifah, mahabbah, juga ilmu akhlak, tahu diri serta zuhud di dunia.”

Maka tuntutlah ilmu itu beserta dalil-dalilnya baik yang naqli maupun yang aqli dengan sungguh-sungguh. Apabila berhasil, maka kamu akan memperoleh kebaikan-kebaikan yang melimpah, kamu akan dengan mudah membersihkan dirimu dari kotoran-kotoran ma’nawi sehingga kemesraan (uns)-mu bersama Allah menjadi lebih sempurna. Sesungguhnya tidak ada yang dapat membersihkan diri kita melebihi ilmu. Semakin kokoh dasar ilmu yang kita peroleh, semakin terang cahaya (nur ilahi) yang kita dapatkan. Tak ada kemuliaan yang dapat diraih kecuali dengan ilmu.

SANGAT MEMBAHAYAKAN APA YANG ADA DI BALIK PAHAM LIBERAL

Liberalisasi Pemusnah Islam Sekularisasi dan liberalisasi sampai saat ini terus belangsung dalam berbagai sisi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan bahkan pemikiran keagamaan. Kini setelah 30 Tahun sejak dikampanyekan oleh Nurkholis Madjid, arus besar itu semakin sulit dekendalikan, dan berjalan semakin liar. Penyebaran paham “pluralisme agama”, ”dekonstruksi agama”, “dekonstruksi kitab suci” dan sebagainya, kini justru berpusat dikampus-kampus dan organisasi Islam bahkan mulai merambah pesantren. Paham ini menusuk jantung dan merobohkan Islam dari pondasinya yang paling dasar.

Akar Liberalisme

Untuk menelurusi Islam Liberal, tidak bisa terlepas dari Sekularisasi Agama. Sekularisasi merupakan gagasan penting yang berasal dari kelompok Islam Liberal. Jika kita mencermati tulisan-tulisan mereka, kita akan mengetahui bahwa gagasan ini terus menerus diperjuangkan secara konsisten. Tidak diragukan lagi bahwa sekularisasi adalah gagasan yang berasal dari warisan sejarah perkembangan peradaban Barat. Hal ini dapat ditelusuri mulai abad pertengahan Barat ketika peradaban mereka ditandai dengan adanya dominasi gereja yang menghambat kemajuan penelitian ilmiah. Penyebabnya adalah Bible mengandung hal-hal yang bertentangan dengan akal. Harvey Cox (ahli teologi Kristen dari Harvard) membuka buku terkenalnya, The Secular City, dengan bab “The Biblical Source of Secularizatioan”, yang diawali kutipan pendapat teolog Jerman Friedrich Gogarten: ”Bahwa sekularisasi adalah akibat logis dari dampak kepercayaan Bible terhadap sejarah”.

Sekularisasi kata Harvey Cox, mengimplikasikan proses sejarah. Masyarakat perlu dibebaskan dari kontrol agama. Sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari dunia lain. Jadi, intinya sekularisasi adalah perkembangan yang membebaskan (liberal). Sekularisasi dibidang agama adalah penyingkiran nilai-nilai agama. Penganut paham sekuler menyatakan kebenaran adalah relativ. Tidak ada kebenaran yang mutlak. Manusia sekuler percaya bahwa “wahyu langit” dapat dipahami karena hal itu terjadi dalam sejarah yang dibentuk oleh kondisi sosial politik tertentu.

Jadi sebenarnya, semua sistem nilai terbentuk oleh sejarah yang mengikuti ruang dan waktu tertentu. Sekularisasi akan menjadikan sejarah dan masa depan cukup terbuka untuk perubahan dan kemajuan karena manusia akan bebas membuat perubahan secara proaktif dalam proses evolusi (perubahan secara lambat). Dengan konsep ini manusia sekuler dapat tidak mengakui kebenaran Islam yang mutlak. Mereka akan menolak konsep-konsep Islam yang yang tetap (tsawabit) karena semua hal dianggap relatif.  Sumber utama pemikiran ini apabila diurut akan berujung pada aliran Sufastha’iyyah (kaum sophist). Dalam aqidah annasafi dinyatakan :

حقيقة الأشياء ثابتة والعلم بها متحقق خلافا لسفسطائية

“Semua hakikat segala perkara itu tsabit adanya, dan pengetahuan kita akan dia adalah yang sebenarnya kecuali menurut kaum sufastha’iyyah ” .

Salah satu golongan Sufastha’iyyah itu adalah golongan ‘Indiyyah (Subyektifisme) yang menganut faham bahwa tidak ada kebenaran obyektif dalam ilmu. Semua ilmu adalah subyektif, dan kebenaran mengenai sesuatu hanyalah semata-mata pendapat seseorang. Maka kebenaran bagi mereka adalah segala yang berlaku di masyarakat dan bukan yang dikonsepkan dalam al-Qur’an.

Liberalisasi Islam

Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa paham Islam liberal adalah paham yang membongkar kemapanan dalam ajaran Islam yang sudah baku. Setiap manusia mempunyai kewenangan dalam menilai baik dan buruk tanpa harus ada campur tangan siapapun. Paham ini sejalan dengan kaum Mu’tazilah. Ulil Abshar Abdallah, tokoh liberal, pimpinan JIL, secara tegas mengakui bahwa kaum liberalis adalah penerus aliran Mu’tazilah. Bahkan kalau kita melihat pemikiran-pemikirannya mereka justru melebihi aliran Mu’tazilah, mereka sudah jauh melampaui ayat-ayat al-Qur’an dan hadits. Isu-isu yang mereka lemparkan tidak hanya seputar, gender (peran wanita di ruang publik), pluralisme (kesetaraan semua agama), demokrasi, HAM, bahkan sudah berani menggugat ke-otentikan al-Qur’an.

Secara umum ada tiga bidang penting dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran liberalisasi, yaitu; (1) leberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham pluralisme agama, (2) liberalisasi bidang syari’ah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan (3) liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Qur’an.

Liberalisasi Akidah Islam

Liberalisasi aqidah islam dilakukan dengan penyebaran paham “pluralisme agama”. Paham ini pada dasarnya menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi relativ terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga – karena kerelativannya – maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya sendiri yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa agamanya sendiri yang benar.

Di majalah Gatra edisi 21 Desember 2002. Ulil Abshar mengatakan: “Semua agama sama, semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi Islam bukan yang paling benar “. Nuryamin Aini, dosen Fakultas Syari’ah UIN Jakarta mengatakan: “Tapi ketika saya mengatakan agama saya benar, saya tidak punya hak untuk mengatakan bahwa agama orang lain salah, apalagi kemudian menyalah-nyalahkan atau memaki-maki.

Dalam buku Teologi Inklusif Cak Nur ditulis : Bangunan epistemologis teologi inklusif Cak Nur diawali dengan tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah kehadirat Tuhan. Kepasrahan ini, kata Cak Nur, menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah World view al-Qur’an, bahwa semua agama yang benar adalah al-Islam, yakni sikap pasrah diri kehadirat Tuhan. (QS 29:46). Selanjutnya dikatakan : “Dalam konteks inilah sikap pasrah menjadi kualifikasi signifikan pemikiran teologi inklusif Cak Nur”. Bukan saja kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi “muslim” itu sendiri (secara generik) juga dapat menjadi kualifikasi bagi penganut agama lain, khususnya bagi penganut Kitab Suci baik Yahudi maupun Kristen. Maka konsekuensi secara teologis bahwa siapapun diantara kita – baik sebagai orang Islam, Kristen, Yahudi – yang benar-benar beriman kepada Tuhan dan hari kemudian serta berbuat kebaikan maka akan mendapat pahala di sisi Tuhan (QS.2:62, 5:69). Dengan kata lain sesuai firman Tuhan ini, terdapat jaminan teologi bagi umat beragama apapun “agama”-nya, untuk menerima pahala (surga) dari Tuhan.

Sukidi, alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Ciputat, menulis di koran Jawa Pos (11/1/2004): “Dan konsekuensinya, ada banyak kebenaran dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegaskan adanya kebenaran tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama baik Hinduisme, Budhisme, Yahudi, Kristen, Islam maupun lainnya adalah benar. Dan konsekuensinya kebenaran ada dimana-mana dan ditemukan pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan dalam nalar pluralisme Gandhi seperti pohon yang memiliki banyak cabang tapi berasal dari satu akar. Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama. Karena itu mari kita memproklamirkan kembali bahwa pluralisme agama sudah menjadi hukum tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin berubah, dan karena itu mustahil pula kita melawan dan menghindar. Sebagai muslim kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima pluralisme agama sebagai hukum Tuhan.

Pada kesempatan lain Ulil Abshar mengatakan: “Saya ini terlahir sebagai orang NU. Tetapi saya yakin seyakin-yakinnya bahwa keimanan saya seperti sekarang ini sudah tidak lagi memadai untuk dibungkus dalam sebuah label. Bahkan kalau mau ditarik lebih jauh lagi, keimanan saya bisa berinteraksi dengan keimanan orang-orang dari agama lain; bahkan Islampun sebagai sebuah ‘label sosiologi’ kerapkali tak memadai untuk menampung semangat lintas batas ini “.

Prof.Dr. Abdul Munir Mulkan, dosen UIN Yogyakarta, menulis: “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri dari banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan, dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama.

Penting diketahui oleh umat Islam, khususnya kalangan lembaga pendidikan Islam, bahwa hampir seluruh LSM dan proyek yang dibiyayai oleh LSM-LSM Barat, seperti The Asia Foundation, Ford Foundation, adalah mereka yang bergerak menyebarkan paham Pluralisme Agama. Ini bisa dilihat dalam artikel-ertikel yang diterbitkan oleh jurnal Tashwirul Afkar yang diterbitkan oleh Lakspedam PBNU (periode lalu) bekerjasama dengan Ford Foundation, dan Jurnal Tanwir yang diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah bekerjasama dengan The Asia Foundation. Mereka tidak menyebarkan paham ini secara asongan tetapi memiliki program yang sistematis untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang saat ini masih mereka anggap belum inklusif-pluralis.

Sebagai contoh, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No 11 tahun 2001, menulis laporan utama berjudul “Menuju Pendidikan Islam Pluralis”. Ditulis dalam Jurnal ini: “Filosofi pendidikian Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik-benar, yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan”.

Pluralisme dan Pluralitas

Kemajemukan (pluralitas) adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dinafikan. Itu memang benar. Di dalamnya ada kaum pria dan wanita, tua dan muda, yang berkulit hitam dan putih, dengan beragam agama dan kepercayaan. Demikian seterusnya. Akan tetapi, menarik garis lurus, bahwa kemajemukan itu identik dengan pluralisme, tentu merupakan kesalahan, kalau tidak mau dianggap penyesatan. Memang, pluralisme adalah paham yang berangkat dari konteks pluralitas. Akan tetapi, sebagai paham, pluralisme jelas berbeda dengan pluralitas (kemajemukan) itu sendiri.

Dalam konteks pluralitas (kemajemukan), al-Quran bahkan telah menyatakannya dengan jelas, sebagai sebuah keniscayaan : “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.(QS al-Hujurat: 49: 13).

Pluralitas ini tidak hanya terjadi dalam konteks fisik, tetapi juga non-fisik. Banyaknya pandangan, aliran, paham, agama dan ideologi, misalnya, jelas merupakan kenyataan yang tidak dapat dilepaskan dari fenomena pluralitas di atas.

Hanya saja, dalam konteks pluralitas yang pertama, ia umumnya dapat diterima sebagai keniscayaan, seperti apa adanya. Ini berbeda dengan konteks pluralitas yang kedua karena yang terakhir ini melibatkan pandangan, aliran, paham, agama, dan ideologi yang menjadi anutan. Dianut, karena diyakini oleh penganutnya benar. Nah, di sinilah kemudian muncul persoalan seputar klaim kebenaran, yang sering dilontarkan oleh kelompok liberal. Sebab, dalam bayangan mereka, kalau masing-masing penganut paham tersebut mengklaim dirinya benar, dan yang lain salah, pasti akan terjadi pemaksaan kebenaran yang dianutnya kepada orang lain; sesuatu yang – menurut bayangan mereka – akan menyebabkan hilangnya pluralitas dan kebebasan. Karena itu, untuk mencegah terjadinya hal itu, tidak boleh ada klaim kebenaran. Kebenaran harus direlatifkan. Dengan begitu, masing-masing pihak tidak akan merasa terancam dengan pihak lain, yang mengklaim benar. Inilah yang melatarbelakangi lahirnya paham pluralisme, yang intinya menyatakan bahwa semua pandangan, aliran, paham, agama dan ideologi itu sama-sama benar. Mengapa semuanya harus disama-dudukkan dan disama-benarkan? Karena, menurut mereka, hanya dengan cara itulah pandangan, aliran, paham, agama, dan ideologi lain tidak akan saling merasa terancam. Dengan cara seperti itu pula, kehidupan yang plural bisa tetap dipertahankan dalam keharmonisan. Akan tetapi, apa memang demikian?

Paham seperti itu justru utopis. Ia jelas mengingkari kebenaran yang diyakini oleh masing-masing penganut pandangan, aliran, paham, agama dan ideologi yang memang plural tersebut. Sebab, betapapun tolerannya penganut paham tertentu, dia tetap berkeyakinan, bahwa apa yang dianutnya adalah benar. Baginya, kebenaran yang dianutnya itu bukanlah klaim. Karena itu, orang Kristen, Hindu, atau yang lain pasti akan marah, kalau kebenaran yang mereka yakini itu dianggap klaim. Apa lagi kemudian masing-masing disuruh melakukan kompromi, dengan merelatifkan kebenaran yang mereka yakini, itu pasti tidak akan mereka terima. Itulah yang ditunjukkan oleh Magnis Suseno. Karena itu, dengan keras Magnis Suseno menolak pluralisme. Jadi, paham pluralisme dengan gagasan klaim kebenarannya itu jelas utopis, tidak membumi, dan justru bertentangan dengan fitrah keyakinan manusia.

Dalam pandangan Islam, paham Pluralisme Agama ini jelas merupakan paham syirik modern, karena menganggap semua agama adalah benar. Keyakinan akan kebenaran Dinul Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridloi Allah swt, adalah konsep yang sangat mendasar dalam Islam. Iman adalah kata lain dari tashdiq, yakni kepercayaan yang mengakar kuat. Iman tidak mungkin berkumpul menjadi satu dengan keragu-raguan.

Jika seorang muslim tidak boleh meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dan agama lain adalah salah, maka kita bertanya-tanya, untuk apa ada konsep teologi Islam? Jika seorang tidak yakin dengan kebenaran yang dibawanya – karena semua kebenaran dianggapnya relativ – maka untuk apa ia berdakwah atau berada dalam organisasi dakwah? Untuk apa ia menyeru orang lain mengikuti kebenaran dan menjauhi kemungkaran, sedangkan ia sendiri tidak meyakini apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah. Pada akhirnya, golongan “ragu-ragu” akan “berdakwah” mengajak orang untuk bersikap “ragu-ragu” juga. Mereka sejatinya telah memilih satu jenis “keyakinan” baru, bahwa tidak ada agama yang benar atau semuanya benar.

Liberalisasi Al-Qur’an

Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah tema “dekonstruksi Kitab suci”. Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat. Kajian Biblical Criticism atau studi tentang kritik Bible dan kritik teks Bible telah berkembang pesat di Barat.

Pesatnya studi kritis Bible ini telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk “melirik” al-Qur’an dan mengarahkan hal yang sama terhadap al-Qur’an. Pada tahun 1972, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Brimingham Inggris, mengumumkan bahwa, “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.

Hampir satu abad yang lalu, para orientalis dalam bidang studi al-Qur’an bekerja keras untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah kitab bermasalah sebagaimana Bible. Mereka tidak pernah berhasil. Tapi anehnya, kini imbauan itu diikuti oleh banyak sarjana muslim sendiri. Sesuai paham pluralisme agama, maka semua agama harus didudukkan pada posisi yang sejajar, sederajat, tidak boleh ada yang mengklaim lebih tinggi, lebih benar, atau paling benar sendiri. Begitu juga dengan pemahaman tentang Kitab Suci. Tidak boleh ada kelompok yang mengklaim hanya kitab suci agamanya saja yang suci dan benar.

Liberalisasi Islam tidak akan lengkap jika tidak menyentuh aspek kesucian al-Qur’an. Mereka berusaha keras meruntuhkan keyakinan kaum muslim, bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah, bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, bebas dari kesalahan. Meraka mengabaikan bukti-bukti al-Qur’an yang menjelaskan tentang otentitas al-Qur’an dan kekeliruan kitab-kitab agama lain.

Ulil Abshar Abdallah, menulis di Harian Jawa Pos, 11 Januari 2004: ”Tapi bagi saya, semua kitab suci adalah mukjizat.” . Taufik Adnan Amal, dosen Ulumul Qur’an di IAIN Makasar, menulis satu makalah berjudul “Edisi Kritis al-Qur’an”, yang isinya menyatakan: “Uraian dalam pragraf-pragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan al-Qur’an, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatau upaya penyuntingan Edisi Kritis al-Qur’an”. Taufik berusaha meyakinkan, bahwa al-Qur’an saat ini masih bermasalah, tidak kritis, sehingga perlu diedit lagi. Dosen itupun menulis sebuah buku serius berjudul ”Rekonstruksi sejarah al-Qur’an” yang meragukan keabsahan dan kesempurnaan Mushaf Utsmani. Penulis buku ini mencoba meyakinkan bahwa Mushaf Utsmani masih bermasalah, dan tidak layak disucikan.

Aktivis Islam Liberal, Dr.Luthfi Assyaukanie juga berusaha membongkar konsep dasar Islam tentang al-Qur’an, dia menulis: ”Sebagian besar kaum muslim meyakini bahwa al-Qur’an dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum muslim juga meyakini bahwa al-Qur’an yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sungguh lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagi bagian dari formulasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan al-Qur’an sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit) dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa”.

Sumanto al-Qurthubhy, alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Semarang berkata: “Al-Qur’an adalah perangkap bangsa Quraisy”. Lebih mengerikan lagi, Sumanto secara terang-terangan menyatakan, bahwa al-Qur’an adalah karangan Muhammad. Dia menulis: “Dengan demikian, wahyu sebetulnya ada dua: “wahyu verbal” (“wahyu eksplisit” dalam bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan “wahyu non verbal” (“wahyu implisit” berupa konteks sosial waktu itu).

Nasr Hamid Abu Zaid, tokoh senior liberal, menyatakan bahwa, posisi Nabi Muhammad SAW, sebagai semacam pengarang al-Qur’an. Nabi Muhammad SAW sebagai seorang Ummiy (tidak bisa baca tullis), bukanlah penerima wahyu pasif, tetapi mengolah redaksi al-Qur’an, sesuai dengan kondisinya sebagai manusia biasa, setelah al-Qur’an disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya, maka telah berubah menjadi teks Insani bukan teks Ilahi yang suci dan sakral. Cara yang lebih halus dan tampak akademis dalam menyerang al-Qur’an juga dilakukan dengan mengembangkan studi kritik al-Qur’an dan studi hermeneutika di Perguruan Tinggi Islam. Padahal metode ini jelas berbeda dengan ilmu tafsir dan bersifat dekonstruktif terhadap al-Qur’an dan syari’at Islam.

Liberalisasi Syari’at Islam

Inilah aspek liberalisasi yang paling banyak muncul dan menjadi pembahasan dalam bidang liberalisasi Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah pasti, dibongkar dan dibuat hukum baru yang dianggap sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti disebutkan oleh Dr. Greg Barton, salah satu program liberalisasi Islam di Indonesia adalah “kontekstualisasi ijtihad”. Para tokoh liberal biasanya memang menggunakan metode “kontekstualisasi” sebagai salah satu mekanisme dalam hukum Islam. Salah satu hukum Islam yang banyak dijadikan obyek liberalisasi adalah hukum dalam bidang keluarga, Misalnya, dalam masalah perkawinan antar agama, khususnya antara wanita muslimah dan non muslim.

Di harian Kompas, Senin 18 November 2002, di artikel yang berjudul “Meneyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Ulil Abshar menulis : “Kita harus bisa membedakan mana ajaran Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak “. Selanjutnya pada dua alinea berikutnya ia melanjutkan: ” Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab misalnya, tidak usah diikuti. Contoh soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab ” . Pada baigian lain dia menulis: “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini perempuan Muslimah dan lelaki non Muslim, sudah tidak relevan lagi “.

Dalam buku Fiqh Lintas agama ditulis: ”Soal pernikahan laki-laki non muslim dengan wanita muslimah merupakan wilayah ijtihad dan terikat konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum Islam lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita muslimah boleh menikah dengan laki-laki non muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.

Nuryamin Aini, dosen Fakultas Syari’ah UIN Jakarta, menulis: “Maka dari itu, kita perlu meruntuhkan mitos fiqh yang mendasari larangan bagi perempuan muslimah untuk menikah dengan laki-laki non muslim. Isu yang paling mendasar dari larangan pernikahan beda agama adalah masalah sosial politik. Hanya saja, ketika yang berkembang kemudian adalah logika agama, maka konteks sosial-politik munculnya larangan pernikahan beda agama itu menjadi tenggelam oleh hegemoni cara berpikir teologis”.

Bahkan lebih dari itu, Dr. Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta, kini tercatat sebagai “penghulu swasta” yang menikahkan puluhan bahkan sudah ratusan pasangan beda agama. Apabila hukum-hukum yang pasti sudah dirombak sedemikian rupa, maka terbukalah pintu membongkar seluruh sistem nilai dan hukum dalam Islam. Muhidin M. Dahlan misalnya, aktivis dari IAIN Yogyakarta, pengagum berat Pramudya ini menulis buku memoar berjudul “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur” . Dia menulis: “Pernikahan yang dikatakan sebagai pembirokrasian seks ini, tak lain tak bukan adalah lembaga yang berisi tong-tong sampah penampung sperma yang secara anarkis telah membelah-belah manusia dengan klaim-klaim yang sangat menyakitkan. Istilah pelacur anak haram pun muncul dari rezim ini. Perempuan yang melakukan seks diluar lembaga ini dengan sangat kejam diposisikan sebagai perempuan yang sangat hina, tuna, lacur, dan tidak pantas menyandang harga diri. Padahal apa bedanya pelacur dengan perempuan yang berstatus sebagai istri ? Posisinya sama. Mereka adalah penikmat dan pelayan seks laki-laki. Seks akan tetap bernama seks meski dilakukan dengan satu atau banyak orang. Tidak, pernikahan adalah konsep aneh, dan menurutku mengerikan untuk bisa kupercaya.”

Dari Fakultas Syari’ah IAIN Semarang, bahkan muncul gerakan legalisasi perkawinan homoseksual. Mereka menerbitkan buku berjudul: Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual. Buku ini adalah kumpulan artikel di jurnal justisia Fakultas Syari’ah IAIN Semarang edisi 25, Th Xl, 2004. dalam buku ini ditulis: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagi sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.”

Dr.Luthfi Assyaukanie, petinggi JIL berkata: “Saya pribadi menganggap bahwa konsep syari’at Islam tidak ada. Itu adalah karangan orang-orang yang datang belakangan yang memiliki idealisasi yang berlebihan terhadap Islam ” .

Penutup

Bahaya ancaman pemikiran liberal saat ini sudah amat sangat menghawatirkan. Lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak luput dari ancaman bahaya ini. Di fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Jati Bandung misalnya, pada hari jum’at 27 September 2004, mahasiswa baru disambut dengan slogan “Selamat bergabung di area bebas Tuhan”. Presiden Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Aqidah Filsafat bahkan mengajak para mahasiswa baru, sambil mengepalkan tangan, berteriak “Kita dzikir bersama! Anjing-hu Akbar!”.

Yang sedikit menggembirakan, salah satu keputusan Muktamar NU ke XXXl di Asrama Haji Donohudan Solo Desember 2004 lalu, telah mengeluarkan tausihiyah (rekomendasi) membasmi wacana liberalisme di tubuh NU, serta menolak metode tafsir Hermeneutika. Isi rekomendasi PBNU itu sendiri pada intinya menghimbau seluruh warga NU agar menolak ide-ide Islam Liberal dengan segala variannya, dan kembali kepada bangunan akidah NU ala Ahlussunnah wal jama’ah. Wallohul Muwaffiq ila Aqwamit Thoriq.

Ingat Liberal dan Moderat? Ini Paparan Menteri Agama Yang Dulu

Selama ini ada orang atau kelompok beragama yang mengaku dirinya bersikap moderat. Hanya saja terkadang dalam beberapa kasus dinilai kebablasan sertajauh dari karakter moderat, sehingga malah ada yang menyebut ekstrem atau liberal.

Demikian sebuah masalah yang ditanyakan oleh salah satu peserta Kopi Darat (Kopdar) Santrinet Nusantara Jum’at (10/08) kemarin, di kantor Kemenag, Jakarat Pusat. Berangkat dari situ Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan bahwa liberal itu artinya terlalu bebas, yang juga sebuah ekstremitas tertentu. Ia mencontohkan ada seseorang memakai baju Santa termasuk bagian budaya, seperti halnya budaya orang Islam yang memakai jubah atau sarung.

“Tidak ada kewajiban orang memakai baju Santa dalam agama Kristiani. Tetapi ketika di komunitas, misalnya di kota santri, masyarakat yang sangat memegangi nilai-nilai Islam lalu anda pakai baju Santa, bagi saya anda terlalu liberal. Karena ajaran agama itu harus melihat konteksnya,” ucap Menag saat membuka acara Kopdar Akbar Santrinet Nusantara. Lukman mengisahkan, dahulu mujtahid Imam Syafi’i ketika tinggal di Irak berpendapat bahwa semua laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya tidak membatalkan wudu. Namun ketika hijrah ke Mesir, Imam Syafi’i berbeda ijtihadnya, bahwa semua laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya membatalkan wudu.

“Bahkan seorang ulama besar pandangannya bisa berbeda karena konteksnya berbeda. Lalu murid-muridnya mencoba menginterpretasikan karena ketika Imam Syafi’i masih ada, beliau tidak pernah menjelaskan kenapa pandangnnya berbeda,” kisah Lukman. Maka, lanjut Menag, murid-muridnya menjelaskan bahwa ketika di Baghdad, air itu susah sehingga demi untuk kemaslahatan, tidak menyulitkan orang banyak, tidak apa-apa. Tetapi ketika beliau ada di Mesir air sangat melimpah maka sebaiknya wudu itu diperbaiki lagi.

Menag Lukman menyampaikan dua poin penting, pertama apabila seseorang masuk kepada kutub ekstrem, apakah terlalu konservatif, apakah terlalu liberal, tidak hanya semata pada perspektif fikihnya, karena dalam fikih itu pendapatnya aktual dan banyak pandangan. “Contoh ketika shalat, tahiyat ada yang tunjuk tangan ada yang tidak. Yang tunjuk tangan ada yang bergerak-gerak, ada yang muter-muter, kan macem-macem itu tetap bisa ditoleransi, karena memang ada rujukannya,” contoh Menag.

Dikatakan, kitab-kitab itu (Hidayatul Mujtahid) menjelaskan kenapa ada yang menunjuk ada yang tidak, kenapa ada yang putar-putar ada yang gerak-gerak itu ada rujukannya. Ketika sudah tidak ada rujukannya maka itu yang bersifat ekstrem, itu yang tidak bisa ditolerir. Yang kedua, lanjut Lukman, jangan hanya melihatnya dari perspektif syar’i tapi konteks lingkungan strategis juga harus dilihat. Lantaran dalam agama, hukum itu juga dipengaruhi oleh ruang lingkup di mana seseorang tinggal. “Konteks juga penting, itu yang saya katakan sebagai tenggang rasa, tepo seliro pada ajaran leluhur kita. Kita bisa merasakan meskipun benar menurut saya tapi kebenaran saya ini apa bisa diterima oleh lingkungan saya. Ketika tidak bisa, maka harus hormati, hargai dengan apa yang tidak sama dengan kita,” tegas Menag.

KH. HASYIM ASY’ARI SUDAH DARI DULU MEMPERINGATKAN AGAR JANGAN MENGHINA NABI SAW.

Emmanuel Marcon memberikan pernyataan yang menyudutkan Islam dan tentu saja menuai kritik. Presiden Prancis tersebut menyampaikan pernyataan pada Jumat (23/10/2020 ) bahwa Islam adalah agama yang mengalami krisis di seluruh dunia. Walau mendapat serangan dari beragam kalangan, Macron menyatakan tetap mempertahankan prinsip sekuler yang diterapkan Prancis. Pemerintahannya akan tetap melanjutkan dan menghormati segala perbedaan di dalam perdamaian. Dia menyatakan tidak akan membiarkan ujaran kebencian dan tetap mempertahankan budaya debat untuk mempertahankan pendapat, termasuk dengan membiarkan beredarnya kartun dan karikatur Nabi Muhammad. “Sejarah kami memperlihatkan perjuangan terhadap tirani dan fanatisme. Kami akan melanjutkannya. Kami akan tetap melanjutkan, akan tetap membela harga diri manusia dan nilai-nilai universal,” ujar Macron.

Peringatan KH M Hasyim Asy’ari

Dalam suasana seperti ini, mari kita kembali kepada sosok panutan, KH M Hasyim Asy’ari atau Mbah Hasyim. Karena apa yang disampaikan Marcon ternyata pernah juga dialami saat usia Hadratussyekh hampir menginjak 70 tahun, tepatnya pada 5 Desember 1940. Kendati umurnya sudah senja, namun perhatian dan kepedulian kepada masalah bangsa yang kala itu melilit tidak membuat KH Hasyim Asy’ari kendor. Apalagi Indonesia masih berada dalam penjajahan Belanda. Kalangan imperialis tersebut tidak hanya mengeksplorasi sumber daya alam, tetapi juga memperlakukan masyarakat secara tidak manusiawi dan terus menekan serta membatasi gerak-gerik para tokoh Islam, terutama di pesantren.

Sebagai sebuah pemerintahan, Hindia-Belanda mendapat sorotan terhadap kondisi menyimpang warganya karena juga memberlakukan perundang-undangan. Sejak 1918, penghinaan terhadap Rasulullah Muhammad SAW kerap terjadi di media cetak dan mimbar pidato. Sebagai tokoh yang turut bertanggung jawab atas keteguhan akidah masyarakat, KH M Hasyim Asy’ari tidak tinggal diam. Karena kasus tersebut telah mengakar lama hingga akhir 1940, dalam kesempatan Muktamar ke-15 Nahdlatul Ulama di Surabaya yang berlangsung 9-15 Desember 1940 (10-15 Dzulqa’dah 1359) menyampaikan ketegasannya terhadap para penghina Nabi.

Walau demikian, secara regulasi pemerintahan tidak serta KH M Hasyim Asy’ari bertindak sendiri, tetapi tetap melalui saluran pemerintahan yang tidak lain ialah kolonial Belanda. Dengan menuntut ketegasan pemerintah Hindia-Belanda, secara tidak langsung ulama pesantren ingin menunjukkan bahwa pemerintahan tidak dijalankan dengan baik dan adil karena para penghina Nabi bertebaran di media cetak dan mimbar sehingga memunculkan gejolak akidah di tengah masyarakat.

Kiai Hasyim Asy’ari melontarkan seruan ketika menyampaikan khutbah iftitah pada Muktamar ke-15 tahun 1940 di Surabaya.

Dalam salah satu penggalan khutbahnya, Kiai Hasyim berkata:

Ujian bagi kita belumlah reda. Kini makin terasa betapa semakin hebatnya usaha musuh-musuh Islam hendak memadamkan cahaya Allah SWT. Berulangkali melalui media pers dan mimbar-mimbar dilancarkan serangan penghinaan terhadap junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Kami sudah mendesak kepada pemerintah (Hindia-Belanda) agar menempatkan satu fasal dalam peraturan perundang-undangan tentang hukuman bagi orang-orang dan golongan dari mana pun datangnya yang menyerang kesucian Islam serta penghinaan terhadap Nabi Besar Muhammad SAW. Tetapi, teriakan kita itu hilang lenyap bagaikan teriakan di padang pasir. Maka sekarang tidak ada jalan lain, kita langsung memohon kepada Allah SWT, Dzat Yang Maha Pendengar dari pemohon segenap hamba-Nya. (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013: 206)

Seruan tegas dari KH M Hasyim Asy’ari tersebut bukan tanpa alasan, karena pada masanya, akidah masyarakat Islam saat itu perlu dikuatkan karena rentan goyah apalagi dalam kondisi terjajah, paceklik, kelaparan, dan didera kemiskinan. Di sisi lain, sejumlah kelompok terus melancarkan propaganda pelemahan akidah di berbagai media cetak dan mimbar yang secara tidak langsung mempengaruhi perjuangan umat Islam untuk melawan ketidakperikemanusiaan penjajah.

Perjuangan yang dilakukan untuk meneguhkan akidah umat tidak hanya dilakukan KH M Hasyim Asy’ari demi kepentingan Islam, tetapi juga untuk kepentingan bangsa Indonesia secara umum yang masih dalam kondisi terjajah. Artinya, Kiai Hasyim melakukan langkah strategis dengan mengokohkan kekuatan umat Islam untuk melawan berbagai bentuk kolonialisme di tanah air.

Hal itu terlihat ketika KH M Hasyim Asy’ari mencetuskan Fatwa Jihad dan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 ketika peperangan dahsyat melawan Sekutu (Inggris) yang dibonceng NICA (Belanda) meletus di Surabaya dan daerah lain seperti Semarang, Ambarawa, Magelang, Jakarta, Bandung, Medan, dan lain-lain. Persatuan, baik dalam lingkup umat Islam dan umat manusia akan mewujudkan kekuatan tak tertandingi. Namun, kekuatan tersebut juga harus disertai ilmu, wawasan, dan pengetahuan yang luas sehingga selaras dengan ajaran atau syariat Islam. Prinsip inilah yang terus dipegang oleh pendiri NU KH M Hasyim Asy’ari. Nilai universal Islam menjadi sesuatu yang fundamental dalam melakukan setiap perjuangan. Kiai Hasyim Asy’ari beberapa kali melakukan perlawanan kultural terhadap penjajah yang dikemas dengan spirit ajaran Islam.

Dalam konteks melakukan perlawanan terhadap penjajah, Kiai Hasyim tidak segan mengeluarkan fatwa haram bagi santri yang pakaiannya menyerupai penjajah Belanda. Tentu saja fatwa tersebut tidak bisa digunakan di setiap zaman sebab konteks fatwa itu untuk melawan ketidakperikemanusiaan penjajah. Kabar-kabar penting terkait perjuangan dan pergerakan nasional selalu Kiai Hasyim sampaikan melalui utusan dan surat tertulis. Kabar yang disampaikan tidak jarang berisi pesan berharga kepada kiai pesantren di Jawa dan Madura terkait strategi dalam menghadapi penjajah.

Tercatat ialah Mahfudz Siddiq, Wahid Hasyim, Abdullah Ubaid, dan Muhammad Ilyas merupakan kiai muda yang tidak asing namanya di kalangan pesantren. Mereka merupakan ‘kurir’ Kiai Hasyim dan KH Wahab Chasbullah untuk membawa pesan untuk dunia pesantren terkait kepentingan agama, bangsa, dan negara.

Di antara pesan yang ditulis oleh Hadratussyekh kepada para ulama pesantren di Jawa dan Madura tentang pentingnya persatuan ialah: Perkokoh persatuan kita, karena orang lain juga memperkokoh persatuan mereka. Kadang-kadang suatu kebatilan mencapai kemenangan disebakan mereka bersatu dan terorganisasi. Sebaliknya, kadang-kadang yang benar menjadi lemah dan terkalahkan lantaran bercerai-berai dan bersengketa. (KH Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, LKiS, 2001) Selain terus berupaya memperkokoh jam’iyah dan jamaah NU, Kiai Hasyim juga selalu mendorong persatuan umat Islam yang kala itu telah terwadahi di berbagai ormas Islam. Sebab, sengketa dan perselisihan dipastikan terjadi. Jangankan perbedaan pendapat di antara berbagai macam ormas Islam, dalam wadah satu organisasi pun tidak jarang perbedaan pendapat muncul dan berkembang. Dalam kondisi berselisih, penjajah mudah dalam mempengaruhi masyarakat. Hal ini dipandang sebagai kerugian besar secara sosial dan moral karena justru akan menjadikan eksistensi penjajah semakin kuat. Dari pintu ke pintu dan dari utusan ke utusan, Kiai Hasyim tidak pernah lelah menggelorakan persatuan bangsa dan persatuan umat Islam.

Untuk Hadratussyeikh, alfatihah.

SELAMAT HARI SANTRI NASIONAL 22 OKTOBER 2020

Jakarta, NU Online

Pernyataan Resmi PBNU Menyambut Peringatan Hari Santri 2020

Hari Santri diresmikan melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri. Peringatan tersebut dilaksanakan setiap tanggal 22 Oktober merujuk pada Fatwa dan Resolusi Jihad KH Muhammad Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 ketika berupaya keras menghalau penjajahan kembali oleh Belanda. Dalam peristiwa tersebut, para laskar dan pejuang santri berperan besar dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Kini santri melalui gemblengan lembaga pendidikan pondok pesantren terus mengisi dan menggerakkan pembangunan, benteng moral bangsa, serta potret Islam ramah di tengah gempuran modernisasi asing dan perkembangan teknologi.

Berikut pernyataan resmi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam rangka menyambut Hari Santri 2020:

Indonesia yang adil, makmur serta berdaulat adalah cita-cita luhur di tengah dunia yang berubah dan bergerak dinamis dan menjadi tanpa batas. Cita-cita itu harus diraih dengan sejumlah langkah dan strategi yang bersifat simultan dan strategis. Sebagai sebuah komunitas, jejaring organisasi dan juga pergerakan, Santri terbukti mampu menjadi salah satu aktor utama dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari jerat kolonialisme. Santri juga terbukti efektif menjadi penggerak pembangunan yang mendinamisasi kehidupan masyarakat sekaligus mampu bertindak sebagai penjaga persatuan dalam kebinekaan yang sangat harmonis. Santri hari ini dan Santri di masa yang akan datang harus mampu menjawab tantangan zaman. Santri diharapkan mampu memenangkan pertarungan global, mengambil peran strategis dan mendedikasikan diri untuk senantiasa siap berkorban dan memiliki kecintaan terhadap tanah air yang tinggi serta mampu mewujudkan kemandirian Indonesia dengan daya saing yang tinggi. Santri tidak hanya mampu mengaji tetapi dituntut untuk mampu menguasai berbagai bidang strategis, produktif dan progresif dalam berbagai hal serta mampu menampilkan model kepemimpinan nasional yang mengedepankan kepentingan bangsa. Dalam konteks Indonesia dan dunia yang sedang menghadapi pandemi ini, santri harus mengambil peran untuk berjihad memberikan sumbangsih terbaiknya untuk membantu menaggulangi wabah covid-19. Jika dulu, Fatwa resolusi jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari dimaksudkan untuk melawan kolonialisme dan penjajahan, maka jihad hari ini adalah bersatu melawan wabah agar kita semua diberi keselamatan dan kesehatan. Sehingga ”Santri Sehat, Indonesia Kuat” menjadi visi bersama untuk mengabdi pada Negeri, membangun, menjaga, dan merawat Ibu Pertiwi. Peringatan Hari Santri 2020 dengan kegiatan utama berupa pembacaan 1 Miliar Sholawat Nariyah, sholawat thibbil qulub, dan doa tolak bala’ secara serentak oleh warga NU sedunia pada Kamis 22/10/2020 pukul 19.30 WIB diharapkan mampu membangkitkan semangat pengabdian kaum santri untuk negeri menuju Indonesia yang kuat, berdaulat, dan segera diberi keselamatan dari pandemi Covid-19.

 Jakarta, 21 Oktober 2020

Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

MEMO DISAHKANYA UU CIPTA KERJA (OMNIBUS LAW) : NEGARA YANG MENJAUH DARI ULAMA

“Amin Mudzakkir” Penulis Kolom, Peneliti di LIPI. Gelar sarjana didapat di UGM, Jurusan Sejarah. Masternya di bidang filsafat, STF Driyarkara, Jakarta.

Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja atau sering disebut Omnibus Law dan tetap berlanjutnya rencana pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak Desember mendatang adalah dua contoh mengapa saya menulis judul tulisan ini “negara yang menjauh dari ulama”?

Pasalnya sederhana. Meski dua organisasi Islam terbesar di negeri ini, NU dan Muhammadiyah, secara tegas dan jelas menolak keduanya, negera bergeming. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya ingin memulainya dengan sebuah ironi. Sementara penolakan terhadap dua praktik kebijakan tersebut berjalan, sebagian masyarakat justru terlihat menggumuli isu kemunculan khilafah di satu sisi dan kebangkitan PKI di sisi sebaliknya. Mereka baku hantam di media sosial. Seolah-olah kedua isu ini sungguh ancaman bagi keberlanjutan kehidupan rakyat sehari-hari.

Tentu saja saya tidak bermaksud mengecilkan arti kedua isu tersebut, tetapi inilah yang dimaksud oleh Nancy Fraser, seorang pemikir teori kritis terkemuka, sebagai fenomena keterpisahan antara “identitas” dan “kelas” dalam wacana keadilan masyarakat kontemporer. Orang-orang sibuk berdebat mengenai toleransi dan intoleransi, tetapi melepaskannya dari konteks ekonomi politik yang lebih luas. Seakan-akan rakyat akan kenyang dengan kepastian eksistensial bahwa khilafah atau PKI itu secara moral adalah salah.

Namun di Indonesia, menariknya, NU dan Muhammadiyah justru sangat responsif terhadap “politik kelas”. Terus terang ini diluar dugaan dan kebiasaan. Mereka menguraikan panjang lebar mengapa Omnibus Law dan pilkada serentak adalah kemudaratan. Ominibus Law dipandang lebih mengutamakan investasi daripada kesejahteraan, sedangkan pilkada serentak di tengah pandemi dinilai mengancam keselamatan.

Peringatan NU dan Muhammadiyah menyentuh masalah kapitalisme yang sebenarnya. Melampaui sekadar ekonomi, dalam Omnibus Law dan pilkada serentak terkandung sejumlah keberlanjutan reproduksi sosial, politik, dan ekologi—tiga hal yang selalu diabaikan oleh kapitalisme. Pengabaian terhadap keberlanjutan tiga hal ini adalah kontradiksi yang akan membuat masyarakat terjatuh pada krisis.

Akan tetapi, negara bergeming. Rupanya suara NU dan Muhammadiyah dianggap sekadar suara biasa dalam demokrasi. Boleh didengarkan, boleh tidak. Suka-suka.

Sementara itu, kenyataan bahwa sebagian masyarakat justru lebih tertarik untuk baku hantam soal khilafah dan PKI memperlihatkan satu hal: ternyata akumulasi modal membutuhkan pijakan politik identitas. Dalam hal ini ia seperti candu yang melenakan. Namun alih-alih agama dalam pengertian tradisional, candu yang lebih berbahaya saat ini adalah media sosial.

Lewat media sosial itulah keterpisahan antara identitas dan kelas yang saya singgung di atas terjadi. Perkaranya bukan hanya hoaks, tetapi mesin algoritma. Karena paparan tiada henti mengenai ancaman khilafah atau PKI, sebagian masyarakat terbentuk persepsinya. Paparan yang sama tidak terjadi dalam kasus Omnibus Law dan pilkada serentak. Ia tidak menjadi trending. Karena bukan trending, maka penolakan Omnibus Law dan pilkada serentak oleh NU dan Muhamadiyah dianggap sekadar suara biasa dalam demokrasi.

Di sisi lain, apa yang terjadi hari ini adalah momen reflektif bagi NU dan Muhammadiyah sendiri. Secara internal pengabaian negara terhadap suara mereka mengindikasikan sesuatu. Jangan-jangan ada yang kurang tepat dengan langkah-langkah mereka selama ini, sehingga legitimasi politiknya di hadapan negara berkurang.

Kalau memang legitimasi politik di hadapan negara berkurang, sekarang adalah saatnya bagi NU dan Muhammadiyah menaikkan legitimasi mereka di hadapan rakyat. Penolakan mereka terhadap Omnibus Law dan pilkada serentak, meski tidak digubris, adalah langkah yang tepat. Setelah ini masyarakat akan melihat bahwa sokoguru masyarakat sipil yang berfungsi kritis adalah organisasi para ulama.

Kesan bahwa mereka sering tampil hanya sebagai tukang stempel penguasa semoga bisa terhapus karenanya.

MERAWAT KEMERDEKAAN TANPA MENGHUJAT

Lewat peluh dan darah para pendahulu yang membasahi bumi, kemerdekaan Indonesia tidak sebatas janji dan utopia. Ia memberi nyawa pada perang penindasan dan kebatilan sekaligus mengerahkan alamat permusuhan terhadap roh kolonialisme lewat nasionalisme. “Nasionalisme Indonesia adalah roh yang menginsyafi bahwa kita bagian dari masa depan dunia” ujar Soekarno. Karenanya nilai kemerdekaan pada momentumnya menjadi dasar teleologis untuk melahirkan otoritas yang menegasi sejarah perbudakan atas kaum yang beridentitas dan berkehendak bebas demi terwujudnya masa depan yang penuh kepastian dan beradab.

Selama 75 tahun kita meneruskan pencarian identitas bernama Indonesia. Usia yang tidak singkat dalam mewariskan utopia keadilan dan kesejahteraan seperti yang dimandatkan konstitusi. Pengorbanan merupakan kata kunci yang menyemangati pencarian bersama itu. Berbagai capaian reformasi dan perubahan politik terus ditempuh. Stabilitas politik memungkinkan daur ulang genetika politik secara struktur maupun sistem dari Pemilu ke Pemilu.

Masyarakat sipil kian tertata bersama reformasi militer yang terkawal. Kebebasan pers tidak lagi mengundang kecaman karena dikoridorkan dalam kesetiaan sivilitas untuk mengontrol pemerintah sebagai landasan kokoh menggerakkan mesin pembangunan. Prestasi pertumbuhan ekonomi 5,3 persen pada tahun ini serta inflasi yang terkendali di tengah kondisi ekonomi global yang melemah, berkurangnya angka kemiskinan dan tingginya harapan hidup masyarakat merupakan capaian yang melegakan. Tidak berlebihan untuk mengulang kata Filsuf Perancis Joseph Marie de Maistre (1753-1821): Every nation has the government it deserved (setiap bangsa pantas memiliki pemerintahan yang dipilihnya). Setiap kita layak mendukung perubahan yang diinisiasi oleh jalan-jalan demokrasi yang terus diperbarui.

 Memang untuk mendefinisikan keberhasilan, kita diperhadapkan dengan kalkulasi subyektif-parsial. Menumbuhkan obyektifitas di tengah ruang deliberasi demokrasi bukan pekerjaan gampang untuk sebuah bangsa yang terus berupaya mengonfirmasi efektifitas agenda politik transisionalnya. Namun, dalam semangat ke sanalah kita secara gradual didisiplinkan untuk melembagakan tradisi optimisme, yang ‘dibiayai‘ oleh mahalnya nilai soliditas dan memberi. Kesetiaaan terhadap praktek demokrasi yang dijalankan sampai saat ini sejatinya bagian dari pendisiplinan karakter kebangsaan untuk menghargai karya dan kerja keras pemerintahan yang dibidani oleh doa dan kekuatan bersama. Memang sukses sebagai negara demokrasi terbesar ke-tiga bukan jaminan kompatibilitas terhadap realitas pembangunan secara keseluruhan. Namun ini akan menjadi alat konfirmasi yang penting untuk meneguhkan kebenaran dan martabat sebagai bangsa untuk keberlangsungan demokrasi ke depannya.

Kita patut bersyukur di tengah tekanan korupsi yang kian intens, bangsa ini juga terus melipatgandakan fondasi imunitasnya lewat kerja-kerja independen lintas profesi para tokoh militan yang mengakar di masyarakat mulai dari mahasiswa, guru, perawat, dokter, polisi, pengusaha kecil, petani, para politisi dan aktivis jujur. Mereka menjadi garda terdepan dari perjuangan yang tidak hanya berhenti pada kegelisahan dan umpatan, namun menerobos ke ruang-ruang skeptisisme dengan gelora pengabdian, ketabahan, kejujuran tanpa pamrih seperti sosok Bima dalam tokoh pewayangan. Mereka itu adalah Bhimasena (panglima perang) bagi diri sendiri karena lebih memilih memberi (dari kekurangannya) daripada menuntut dan bagi keterbatasan serta kebatilan sosial di sekelilingnya. Inilah yang dilakukan Vaclav Havel, pemimpin politik Cekoslowakia penakluk rezim komunis di Uni Soviet yang mengajak seluruh rakyat bertanggung jawab atas krisis di bangsanya ketimbang sibuk menyalahkan pemimpin. Itulah langkah integritas yang membuat kita senantiasa didekatkan dengan berkat dan kemajuan. Ekstensifikasi korupsi memang terjadi, tetapi perlawanan terhadapnya bukannya tak ada dan terus digelorakan. Di Thailand korupsi yang masif sejak tahun 1974 membuka ruang bagi kekuatan militer masuk dalam ranah politik yang dampaknya terasa sampai sekarang. Kita bersyukur Indonesia tetap mampu memainkan ritme perlawanan korupsi lewat koridor sipil yang senantiasa terjaga dari jebakan militerisme.

Mawas Diri

Namun, kegalauan terhadap korupsi dalam kerangka move on alias segera bangkit dari keresahan perlu terus dipelihara sebagai ranah mawas diri kekuasaan. Keprihatinan Presiden terhadap penyimpangan anggaran yang melibatkan kongkalikong pejabat eksekutif dan oknum DPR yang marak terjadi saat ini tentu harus dipandang sebagai kemarahan Kepala Negara terhadap sistem yang terganggu sebagaimana terjadi di beberapa Kementerian di negeri ini. Bahwa korupsi tidak hanya terjadi pada partai kekuasaan tetapi juga terjadi di partai lain.

Namun, tidak berarti kredibilitas terhadap fungsi partai harus didegradasi dari kepentingan kebangsaan. Kelemahan fungsi partai selama ini perlu direkonstruksi dan diperjuangkan perubahannya atas dasar nilai-nilai demokrasi termasuk bagaimana menata sistem pemilu yang efisien namun tetap berkualitas. Jangan sampai hanya demi efisiensi, kualitas pemilu dinafikan.

Bagaimanapun efek price berg (yang berlaku dalam teori perdagangan) di mana harga membeli produk yang murah dengan kualitas rendah pada akhirnya lebih mahal dibandingkan dengan membeli produk berkualitas dengan performa yang baik, akan berlaku pula dalam teori politik-demokrasi. Semoga spirit kemerdekaan di bulan Agustus ini menjadi titik pencerahan bagi bangsa ini untuk mengisi kemerdekaan dengan tidak sebatas menghujat apa yang salah, tetapi dengan hati yang terbeban bersama-sama mau mengkontribusikan karya kemanusiaan dalam diri kita demi kemenangan dan Indonesia yang lebih baik.

SEJARAH EKASILA DAN TRISILA DALAM PEMBAHASAN RUU HIP


Masalah Trisila dan Ekasila kembali muncul di tengah pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) pada 2020. Masalah ini kembali menjadi perbincangan publik dengan beragam tafsiran dan kecurigaan dari berbagai kelompok perihal dasar negara. Trisila (tiga sila) sendiri yang terdiri atas nasionalisme, demokrasi, dan ketuhanan adalah perasan dari Pancasila (lima sila). Sedangkan Ekasila yaitu gotong royong adalah perasan dari Trisila.

Awal Mula Trisila dan Ekasila Trisila dan Ekasila muncul dari pidato Sukarno pada rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1 Juni 1945 ketika para pendiri bangsa mendiskusikan antara lain dasar negara Indonesia. Pada pidato itu, Sukarno menyebutkan Pancasila sebagai prinsip bernegara. Setelah menjelaskan Pancasila, Sukarno menyebutkan secara opsional kepada para hadirin. “Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras sehingga tinggal tiga saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah perasan yang tiga itu?” (Sukarno, Camkan Pancasila: Pancasila Dasar Falsafah Negara, [Jakarta, Departemen Penerangan RI: 1964 M], halaman 31).

Sukarno menyebut rincian trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Ia juga menjelaskan nasionalisme, demokrasi, dan ketuhanan seperti apa yang cocok sebagai prinsip negara Indonesia. Setelah itu, ia kemudian menawarkan perasan trisila menjadi ekasila kepada para anggota sidang. “Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-democratie, dan ketuhanan. Kalau tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu? (Sukarno, 1964 M: 31). Gotong royong.

Menurut Sukarno, kalau memang mau diperas lagi Indonesia dapat berdiri di atas satu prinsip, yaitu gotong royong. Ia berpikir keras untuk memeras tiga sila itu menjadi satu sila yang menjadi pijakan setiap kelompok dalam menegakkan Indonesia Merdeka. Tentu saja hal ini bersifat opsional. “Semua buat semua! jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong-royong.’ Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong (tepuk tangan riuh rendah).” (Sukarno, 1964 M: 31-32).

Namun demikian, Trisila dan Ekasila sendiri sebagai dasar negara Indonesia dalam pidato Pancasila Sukarno pada 1 Juni 1945 yang terkenal itu bersifat opsional. Secara sharih Sukarno mengatakan bahwa perasan Pancasila menjadi Trisila, yang kemudian diperas lagi menjadi Ekasila bersifat opsional belaka. Ini menunjukkan kekuatan daya pikir Sukarno dalam menentukan prinsip pokok yang melahirkan Indonesia Merdeka. “Pancasila menjadi Trisila. Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila, ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi.” (Sukarno, 1964 M: 32).

Adapun Pancasila yang disebutkan Sukarno pada awal pidatonya adalah kebangsaan, internasionalisme, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan di mana ia mencita-citakan sebuah masyarakat Indonesia yang teguh dalam memegang agamanya masing-masing di satu sisi dan menghargai praktik beragama pemeluk agama lain yang berbeda pada sisi lainnya. Sukarno menyebutnya “bertuhan secara kebudayaan.” “Prinsip yang kelima hendaknya: menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa. Prinsip ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoism-agama. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan.” (Sukarno, 1964 M: 29-30). (bersambung…)



KECANDUAN GADGET SUDAH MENJADI FENOMENA MASYARAKAT

Suatu malam, saya menghadiri undangan hajatan tetangga. Jadi ceritanya, malam itu tetangga saja sedang mengadakan acara tahlilan, mendoakan anggota keluarganya yang sudah tiada. Saat acara sedang berlangusng, ada seorang tamu undangan yang begitu menyita perhatian saya. Mungkin bukan menyita perhatian, tapi lebih tepatnya mengganggu konsentrasi saya, dan kemungkinan konsentrasi para tamu undangan yang lainnya.

Pasalnya, tamu udangan yang duduk persis di belakang saya itu membawa ponsel yang tidak dinonaktifkan atau minimal disetting agar tidak mengeluarkan bunyi. Namun sayangnya, ponsel milik tamu udangan yang duduk di belakang saya itu tetap disetting berbunyi atau mode dering, sehingga setiap beberapa menit sekali akan terdengar suara notifikasinya. Bisa jadi, notifikasi tersebut bersumber dari WhatsApp, Facebook, atau media sosial dan laman media online lain di ponsel tersebut.

Sungguh saya merasa heran, di tengah suasana yang tengah berlangsung dengan penuh khidmat tersebut, dia seolah tidak merasa risih dan malu menyalakan notifikasi ponselnya. Menurut saya, hal itu kurang etis, karena selain mengganggu kenyamanan orang-orang yang berada di sekelilingnya, juga menjadi pertanda bahwa dia kurang menghormati tuan rumah. Sama tidak etisnya ketika ada orang yang nekad mengaktifkan ponsel saat dia sedang melaksanakan shalat berjamaah di dalam masjid.

  Selama ini, ketika saya sedang berada dalam suatu perkumpulan, undangan hajatan ataupun ketika takziah misalnya, saya berusaha untuk tidak membawa ponsel. Atau bila terpaksa membawa, saya tentu akan menonaktifkan notifikasinya agar tak menimbulkan suara saat ada pesan bahkan telepon yang masuk. Alasannya tentu bisa ditebak, salah satunya karena saya tidak mau menjadi pusat perhatian ketika sedang di tengah-tengah acara yang khidmat, tiba-tiba ponsel saya berdering atau selalu memperdengarkan ringtone notifikasinya.

Pernah saya menemui sebuah kejadian yang menurut saya tak pantas ditiru oleh siapa pun. Jadi ketika itu ibu saya baru saja meninggal dunia. Saat acara pemberangkatan jenazah sedang dimulai, di mana kondisi pada saat itu keluarga sedang berduka dan orang-orang sedang konsentrasi mendengarkan seorang kiai yang didaulat untuk memberangkatkan jenazah ibu saya ke makam, tiba-tiba ponsel milik salah seorang pelayat berdering, mengeluarkan ringtone lagu dangdut dengan volume tinggi pula.

Saya sempat berpikir begini; sesibuk apa sih kita ini, sampai-sampai ponsel yang kita miliki selalu berdering di mana pun berada? Tanpa mengenal situasi dan kondisi? Tanpa ada waktu untuk rehat atau jeda sejenak. Minimal dimatikan, dan ditaruh di rumah barang sesaat, untuk menghormati orang-orang yang mengundang kita?

Notifikasi Ponsel Mempengaruhi Kualitas Tidur

Berbicara tentang definisi notifikasi, bila merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, adalah pemberitahuan atau kabar tentang penawaran barang dan sebagainya. Bisa juga diartikan sebagai pemberitahuan oleh pemegang surat wesel kepada penarik tentang adanya penolakan pembayaran. Bila kita melihat definisi tersebut, berarti ‘notifikasi ponsel’ dapat diartikan sebagai pemberitahuan dari berbagai aplikasi yang tersedia di dalam ponsel milik kita.  

Saya sungguh merasa heran dengan orang-orang yang selalu mengaktifkan notifikasi ponselnya, tanpa pernah ingin mematikannya barang sekejap. Bahkan mungkin ada sebagian orang yang ketika sedang tidur pun notifikasi ponselnya tak dinonaktifkan. Padahal, ciri-ciri tidur yang berkualitas adalah tak terganggu dengan suara-suara yang bersumber dari sekeliling kita. Setiap orang tentu membutuhkan waktu istirahat atau jam tidur yang berkualitas, agar saat terbangun nanti tubuh terasa segar dan dapat kembali melakukan aktivitas dengan bugar dan fresh. Orang yang memiliki kualitas tidur yang buruk; sedikit-sedikit terbangun akibat suara yang bersumber dari notifikasi ponselnya (misalnya) maka biasanya saat bangun tidur tubuhnya terasa lesu dan akhirnya kurang bergairah melanjutkan aktivitasnya.

Ketergantungan Gadget  

Orang yang hidupnya selalu ketergantungan gadget, maka ia akan sulit terlepas dari ponselnya meski hanya beberapa menit saja. Ia seolah merasa kehilangan sesuatu dan ada bagian dari tubuhnya yang hilang saat tak menggenggam ponsel ketika sedang bepergian.

Orang yang hidupnya kecanduan gadget, menurut Nurudin, dalam buku Media Sosial, Agama Baru Masyarakat Milenial (2018) disebuat nomophobia. Nomophobia berasal dari kata no mobile phone phobia, yakni individu yang menjadi takut jika jauh dari telepon genggamnya. Nurudin melandasi keterangannya dengan penelitian yang dilakukan Secur Envoy di Inggris (2012) yang menyebutkan bahwa sekitar dua per tiga dari 1000 orang yang diteliti mengaku merasa takut jika kehlinagan atau hidup tanpa telepon genggam. Penelitian itu juga menyebutkan, kisaran umur yang mengidap nomophobia sekitar 18-24 tahun (77%), disusul responden usia 23-25 tahun (68%).

Lewat tulisan ini, mari kita bersama-sama merenungi, kira-kira seberapa banyak waktu yang kita habiskan untuk bermain ponsel setiap harinya, dan seberapa banyak waktu yang digunakan untuk beribadah dan beramal kebajikan? Bila ternyata waktu kita lebih banyak terbuang sia-sia di depan layar ponsel, mari mulai sekarang kita kurangi, selanjutnya perbanyak waktu untuk beramal kebaikan dan beragam aktivitas yang lebih bermanfaat. Wallohu a’lam bish-shawaab.