MEMBERIKAN ZAKAT KEPADA ORANG TUA, BEGINI ATURANYA

Salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam membayar zakat fitrah adalah mengenai orang yang kita berikan harta zakat fitrah. Allah SWT menjelaskan secara rinci tentang orang-orang yang berhak menerima zakat dalam salah satu firman-Nya:

 إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya, “Sungguh zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah maha mengetahui, maha bijaksana,” (Surat At-Taubah ayat 60).

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa orang-orang yang berhak menerima zakat teringkas dalam delapan golongan. Delapan golongan yang disebutkan dalam ayat di atas dipilih sebagai penerima zakat secara umum, baik itu zakat fitrah maupun zakat mal (harta). Hal yang patut dipertanyakan tentang golongan yang berhak menerima zakat ini, apakah mencakup terhadap keluarga dari orang yang membayar zakat (muzakki) sehingga boleh bagi mereka untuk menerima zakat dengan wujudnya salah satu dari delapan sifat di atas, atau tidak mencakup terhadap keluarga dari orang yang membayar zakat?

Para ulama’ syafi’iyah memberikan perincian hukum tentang keluarga yang boleh diberikan zakat dan keluarga yang tidak boleh menerima zakat. Jika yang dimaksud keluarga dari pihak muzakki (orang yang membayar zakat) adalah orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki, maka tidak boleh baginya untuk memberikan zakat kepada mereka. Hal ini misalnya memberikan zakat kepada orang tua dan anak yang wajib dinafkahi oleh muzakki, misalnya karena anaknya masih kecil dan tidak mampu untuk bekerja, orang tua sudah tua dan tidak memiliki harta yang mencukupi kebutuhannya. Maka dalam keadaan demikian tidak boleh memberikan zakat kepada mereka.

Alasan pelarangan pemberian zakat kepada keluarga yang wajib dinafkahi oleh muzakki, dikarenakan dua hal.

Pertama, mereka sudah tercukupi dengan nafkah dari muzakki.

Kedua, dengan memberikan zakat pada orang tua atau anaknya, maka akan memberikan kemanfaatan pada muzakki, yakni tercegahnya kewajiban nafkah pada orang tua atau anaknya, karena sudah tercukupi oleh harta zakat, seandainya hal demikian diperbolehkan.

Namun patut dipahami bahwa larangan memberikan zakat kepada keluarga yang wajib dinafkahi, hanya ketika mereka termasuk dari golongan fakir, miskin atau mualaf. Jika mereka termasuk dari selain tiga golongan tersebut, maka dalam hal ini boleh bagi mereka untuk menerima zakat.

Penjelasan tentang ketentuan ini seperti yang tercantum dalam Kitab Al-Majmu’ ala Syarhil Muhadzab berikut:

 قوله (ولا يجوز دفعها الي من تلزمه نفقته من الاقارب والزوجات من سهم الفقراء لان ذلك انما جعل للحاجة ولا حاجة بهم مع وجوب النفقة) قال أصحابنا لا يجوز للإنسان أن يدفع إلى ولده ولا والده الذي يلزمه نفقته من سهم الفقراء والمساكين لعلتين (احداهما) أنه غني بنفقته (والثانية) أنه بالدفع إليه يجلب إلى نفسه نفعا وهو منع وجوب النفقة عليه

Artinya, “Tidak boleh memberikan zakat kepada orang yang wajib untuk menafkahinya dari golongan kerabat dan para istri atas dasar bagian orang-orang fakir. Sebab bagian tersebut hanya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan, dan tidak ada kebutuhan bagi para kerabat yang telah wajib dinafkahi. Para ashab berkata, ‘Tidak boleh bagi seseorang untuk memberikan zakat pada anaknya dan juga tidak pada orang tuanya yang wajib untuk dinafkahi, dari bagian orang fakir miskin karena dua alasan. Pertama, dia tercukupi dengan nafkah. Kedua, dengan memberikan zakat pada orang tua atau anak akan menarik kemanfaatan pada muzakki, yakni tercegahnya kewajiban nafkah pada orang tua atau anaknya.’”

 قال أصحابنا ويجوز أن يدفع إلى ولده ووالده من سهم العاملين والمكاتبين والغارمين والغزاة إذا كانا بهذه الصفة ولا يجوز أن يدفع إليه من سهم المؤلفة ان كان ممن يلزمه نفقته لأن نفعه يعود إليه وهو إسقاط النفقة فإن كان ممن لا يلزمه نفقته جاز دفعه إليه

Artinya, “Para Ashab berkata, ‘Boleh membagikan zakat kepada anak dan orang tua dari bagian ‘Amil, Mukatab, Orang yang punya hutang, Orang yang berperang ketika memiliki sifat-sifat tersebut. Tidak boleh membagikan zakat dari golongan orang-orang muallaf, jika termasuk orang yang wajib menafkahinya. Sebab terdapat kemanfaatan yang kembali pada pihak yang membayar zakat, yakni gugurnya nafkah. Jika orang tua atau anak termasuk orang yang tidak wajib menafkahinya maka boleh untuk memberikan zakat kepadanya,’” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ ala Syarhil Muhadzab, juz VI, halaman 229).

Sedangkan ketika keluarga yang akan diberi zakat adalah keluarga yang tidak wajib dinafkahi oleh muzakki, seperti saudara kandung, paman, bibi, anak atau orang tua yang sudah tidak wajib dinafkahi dan para kerabat yang lain, maka dalam hal ini boleh bagi mereka untuk menerima zakat dari muzakki, meski statusnya masih keluarga. Kebolehan memberikan zakat kepada mereka tentunya ketika mereka termasuk salah satu dari delapan golongan yang berhak menerima zakat.

Hal ini seperti yang dijelaskan dalam referensi berikut:

 وإذا كان للمالك الذي وجبت في ماله الزكاة أقارب لا تجب عليه نفقتهم ، كالأخوة والأخوات والأعمام والعمات والأخوال والخالات وأبنائهم وغيرهم، وكانوا فقراء أو مساكين، أو غيرهم من أصناف المستحقين للزكاة، جاز صرف الزكاة إليهم، وكانوا هم أولى من غيرهم

Artinya, “Jika pemilik harta yang wajib zakat memiliki kerabat yang tidak wajib baginya untuk menafkahi mereka, seperti saudara laki-laki, saudara perempuan, paman dari jalur ayah, bibi dari jalur ayah, paman dari jalur ibu, bibi dari jalur ibu, anak-anak mereka dan kerabat lainnya, keadaan kerabat tersebut fakir atau miskin, atau memiliki sifat lain dari golongan orang-orang yang wajib zakat, maka boleh membagikan zakat kepada mereka, bahkan para kerabat ini lebih berhak dari orang lain,” (Lihat Syekh Mushtafa Said Al-Khin dan Syekh Mushtafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘alal Madzhabil Imamis Syafi’i, juz II, halaman 42).

Bahkan dalam referensi yang sama dijelaskan bahwa dianjurkan bagi seorang istri untuk memberikan zakat kepada suami atau anaknya yang berstatus fakir. Hal ini dikarenakan tidak wajib bagi sang istri untuk menafkahi suaminya, begitu juga anaknya, maka ia boleh memberikan zakat kepada suami dan anaknya.

Berikut penjelasan tentang hal ini:

 يسن للزوجة إذا كانت غنية، ووجبت في مالها الزكاة، أن تعطي زكاة مالها لزوجها إن كان فقيرا، وكذلك يستحب لها أن تنفقها على أولادها إن كانوا كذلك، لأن نفقة الزوج والأولاد غير واجبة على الأم والزوجة

Artinya, “Disunnahkan bagi istri yang kaya dan wajib zakat dari hartanya, untuk memberikan zakat tersebut kepada suaminya yang fakir. Begitu juga disunnahkan bagi istri tersebut untuk memberikan zakat pada anak-anaknya, jika anaknya dalam keadaan fakir, sebab menafkahi suami dan anak tidak wajib bagi istri dan ibu,” (Lihat Syekh Mushtafa Said Al-Khin dan Syekh Mushtafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘alal Madzhabil Imamis Syafi’i, juz II, halaman 42).

Bahkan memberikan zakat kepada keluarga yang tidak wajib dinafkahi, tergolong sebagai hal yang disunnahkan. Sebab seorang muzakki dengan melakukan hal tersebut akan mendapatkan dua pahala, yakni pahala membayar zakat dan pahala menyambung tali persaudaraan.

Dalam hadits dijelaskan:

 إنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِيْنِ صَدَقَةٌ وَهِيَ عَلَى ذِيْ الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ

Artinya, “Shadaqah pada orang miskin mendapatkan (pahala) shadaqah, Shadaqah kepada saudara mendapatkan dua pahala, yakni (pahala) shadaqah dan (pahala) menyambung tali persaudaraan,” (HR An-Nasa’i).

Wal hasil, memberikan zakat kepada keluarga adalah hal yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan, ketika mereka bukan termasuk orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki. Sedangkan ketika mereka adalah orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki, yaitu istri, anak, dan orang tua, maka mereka dilarang untuk menerima zakat, jika memang pemberian zakat ini atas nama sifat fakir, miskin dan mualaf. Adapun ketika mereka termasuk selain dari tiga golongan tersebut, maka mereka tetap boleh untuk diberi zakat.

Wallahu a’lam.

WANITA HAIDL DAN NIFAS TETAP MENDAPATKAN LAILATUL QODAR

WANITA YANG SEDANG HAIDH, NIFAS, MUSAFIR, TETAP MENDAPAT BAGIAN DARI LAILATUL QODAR

Juwaibir berkata : aku bertanya kepada adh-Dhohak, “apakah wanita yang sedang menjalani nifas, haidh, musafir dan bahkan orang yang tidur mendapat bagian dari LAILATUL QODAR ?

Adh-Dhohak menjawab : ” Ya !!! barang siapa yang amalannya Allah terima, maka Allah akan memberikan bagiannya dari LAILATUL QODAR.”

Artinya : sesungguhnya jika orang orang tersebut diatas membaguskan (memperbaiki) kwalitas ibadahnya di bulan ramadhan, maka Allah akan menerima amalannya, dan barang siapa yang Allah terima amalannya, maka Allah tidak akan menghalangi bagiannya untuk mendapatkan bagiannya dari LAILATUL QODAR.

Sumber : Kitab Lailatul Qodr Fadhluha wa ‘Alamatuha – As sayyid Muhammad ‘Alawy al ‘Idrus, halaman 31

——————

اللهم إنك عفو كريم تحب العفو فاعف عنى ياكريم

اللهم اجعلنا من السعدآء المقبولين ولا تجعلنا من الأشقيآء المردودين آمين

ASAL USUL LAILATUL QADAR

SEJARAH NABIYULLAH SYAM’UN AL-GHAZI As.

Asal Mula Pahala Ibadah 1000 Bulan/Lailatul Qadar) Mengapa lebih baik dari 1000 bulan? Atau, mengapa 1000 bulan? Atau adakah kisah tentang 1000 bulan?

Kisah tentang 1000 bulan, berawal dari seorang Nabiyullah yang bernama Nabi Syam’un al-Ghazi as. Nabi dari kalangan Bani Israil. Beliau adalah hakim ketiga terakhir pada zaman Israel kuno.

Nabi Syam’un al-Ghazi As, memiliki beberapa nama;

dalam bahasa Arab, beliau disebut dengan Syamsyawn atau Syam’un.

dalam bahasa Ibrani, disebut Šimšon,

dalam bahasa Tiberias, disebut Šhimšhôn;

dalam Alkitab Nasrani, disebut Samson.

Nama Syam’un sendiri artinya “yang berasal dari matahari”,

sedangkan al-Ghozi, artinya “yang berasal dari Ghazi” (Ghaza,Palestina sekarang).

Suatu ketika Nabi Muhammad saw, Berkumpul bersama para sahabat dibulan Suci Ramadhan.

Nabi Muhammad SAW, terlihat tersenyum sendiri, lalu ditanya oleh para sahabatnya

“Apa yang membuatmu tersenyum wahai Rasulullah””

Beliau menjawab,

“Diperlihatkan kepadaku dihari akhir, ketika seluruh manusia dikumpulkan dipadang mah’syar,

ada seorang Nabi yang membawa pedang dan tidak mempunyai pengikut satupun,

masuk ke dalam surga, dia adalah Syam’un”.

Kemudian Rasulullah bercerita tentang seorang Nabi bernama Sam’un Al Ghozi AS, beliau adalah Nabi yang berasal dari Bani Israil yang diutus di tanah Romawi.

Nabi Sam’un Ghozi AS berperang melawan bangsa yang menentang Ketuhanan Allah SWT.

Nabi Syam’un al-Ghozi as. adalah seorang pahlawan berambut panjang yang memiliki kemukjizatan dapat melunakkan besi, dan dapat merobohkan istana.

Syam’un memiliki senjata semacam pedang yang terbuat dari tulang rahang unta bernama Liha Jamal, dengan pedang itu dia dapat membunuh ribuan orang kafir.

Siapapun musuh yang berhadapan dengannya, pasti akan hancur dengan pedang ajaibnya.

Tidak hanya itu, bahkan ketika dia merasa haus dan lapar,

dengan perantara pedangnya pula Allah memberikan makanan dan minuman.

Syam’un seorang muslim dan seorang yang ahli ibadah yang sangat disegani oleh kaum kafir.

Sudah tak terhitung lagi orang kafir yang mati di tangannya.

Selain itu, Syam’un juga ahli ibadah dan tercatat ia sanggup beribadah selama 1000 bulan

dengan shalat malam dan siangnya berpuasa,

dimana selama 1000 bulan tak pernah lepas dari shalat malam dan siangnya selalu berpuasa.

Samson adalah seorang pembela agama tauhid (meng Esa kan 1 tuhan / ALLAH),

berperang melawan kaum kafir selama 1000 bulan, hanya berbekal tulang dagu unta sebagai senjata, tidak memiliki senjata lain.

Setiap kali menghantam kaum kafir dengan janggut untanya, terbunuhlah banyak kaum kafir dalam jumlah yang tidak terhitung.

فَإِذاَ عَطَسَ يَخْرُجُ مِنْ مَوْضِعِ الأَسْناَنِ ماَءُ عَذَبٍ فَيَشْرِبَهُ , وَإِذاَ جاَعَ يَنْبُتُ مَنْهُ لَحْمٌ فَيَأْكُلَهُ , فَكاَنَ عَلَى هَذاَ كُلَّ يَوْمٍ حَتَّى مَضَى مِنْ عُمْرِهِ أَلْفَ شَهْرٍ وَهِىَ ثَلاَثُ وَثَمَانُوْنَ سَنَةً وَأَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ , فَعَجَزَ الكُفاَرُ عَنْ رَدِّهِ , فَقاَلُوْا ِلإِمْرَأَتِهِ وَهِىَ كاَفِرَةٌ إِنّاَ نُعْطِيْكِ أَمْواَلاً كَثِيْرَةً إِنْ قَتَلْتِ زَوْجَكِ , قاَلَتْ أَناَ لاَأَقْدِرُ عَلَى قَتْلِهِ

Dengan hanya bersenjatakan tulang rahang seekor unta yang di bentuk menyerupai sebuah pedang pendek yang tajam, Nabi berperang melawan bangsa yang menentang Allah SWT,

dengan penuh keberanian dan selalu dapat mengalahkan mereka.

Ketangguhan dan keperkasaan Nabi Sam’un dipergunakan untuk menentang penguasa

kaum kafirin saat itu, yakni raja Israil.

Menghadapi kesaktian Nabi Syam’un al-Ghozi as, membuat para kafirun kewalahan.

Mereka mencari jalan untuk bisa menundukkannya.

Dengan segala kehebatannya itu, ia dibenci oleh para musuh, terutama dari golongan orang kafir. Akhirnya, dibuatlah rencana untuk membunuh Syam’un.

Akhirnya sang raja Israil mencari jalan untuk menundukkan Nabi Sam’un.

Berbagai upaya pun dilakukan olehnya, sehingga akhirnya atas nasehat para penasehatnya diumumkanlah, barang siapa yang dapat menangkap Sam’un Ghozi,

akan mendapat hadiah emas dan permata yang berlimpah. Akhirnya ide licik-pun ditemukan.

Mereka menawarkan hadiah berupa uang dan perhiasan yang berlimpah kepada istri Nabi (Istri samson), dengan syarat ia bersedia melumpuhkan suaminya.

Istri Nabi yang ternyata seorang kafir, sangat tergiur oleh hadiah itu.

Mereka kemudian memanfaatkan Istri Syam’un, untuk ikut membantu membunuh Syam’un.

Sam’un Ghozi AS terpedaya oleh isterinya dan dikhianati istrinya sendiri dan pada akhirnya istrinya mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Setelah dirayu dengan imbalan yang menggiurkan, sang istri mengiyakan ajakan kaum kafir untuk membunuh Syam’un suaminya sendiri karena ada iming-iming harta benda yang banyak,

si istri akhirnya mau melakukan kejahatan itu.

فَقاَلُوْا نُعْطِيْكِ حَبْلاً شَدِيْداً فَشَدِّى بِهِ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ فىِ نَوْمِهِ وَنَحْنُ نَقْتُلُهُ , فَشَدَتْهُ المَرْأَةُ فىِ نَوْمِهِ فاَسْتَيْقَظَ فَقاَلَ مَنْ شَدَّنِى ؟ فَقاَلَتْ شَدَدْتُ ِلأَجْرِبَكَ فَجَدَبَ يَدُهُ فَقَطَعَ الحَبَلُ , ثُمَّ جاَءَ الكُفاَرُ بِسِلْسِلَةٍ فَشَدَتْهُ المَرْأَةُ بِهاَ فاَسْتَيْقَظَ , فَقاَلَ مَنْ شَدَّنِى ؟ قاَلَتْ أَناَ شَدَدْتُ ِلأَجْرِبَكَ فَجَدَبَ يَدُهُ فَقَطَعَ السِّلْسِلَةُ

Maka orang kafir memberikan ide agar dia mengikat tangan dan kaki Syam’un sewaktu tidur,

untuk kemudian akan dibunuh dengan beramai-ramai.

Para pembesar2 Kafir berkata,

“Kami akan memberimu seutas tali kuat, ikatlah tangan dan kakinya ketika dia tidur,

nanti setelah itu kamilah yang bertindak untuk membunuhnya.”

Pada hari pertama

Istri Syam’un gagal karena ketiduran yang disebabkan karena suaminya terlalu lama

mengerjakan shalat malam.

Lama waktunya itu sehingga membuat istri Syam’un tak kuasa menahan kantuk yang amat sangat. Memang Syam’un tidurnya hanya sedikit saja dalam semalam.

Dimana malam-malamnya hanya dipergunakan untuk beribadah kepada Allah SWT.

Keesokan harinya, istri Syam’un lapor kepada kaum kafir quraisy bahwa dia belum berhasil mengikat tangan dan kaki suaminya. Mereka tidak mempermasalahkan hal ini.

Pada hari kedua

Istri Syam’un berhasil mengikat suaminya ketika tidur dengan seutas tali yang kuat.

Tatkala Syam’un bangun dan ingin beribadah kepada Allah SWT, ia terkejut karena kedua kakinya terikat.

“Wahai istriku, siapakah yang mengikatku dengan tali ini?” tanya Syam’un kepada istrinya.

“Aku yang mengikat, hanya sekedar mengujimu sampai sejauh mana kekuatanmu,” ujar istrinya.

Syam’un dengan mudah dapat melepaskan tali yang mengikatnya dengan satu ucapan doa.

Kemudian Syam’un lalu bergegas menuju tempat peribadatannya.

Maka gagallah rencana pembunuhan pada hari kedua itu.

Namun, setelah itu, musuh-musuh kafir datang lagi dengan membawa rantai dan istri Syam’um siap mengikat suaminya lagi pada keesokan malamnya.

Pada hari ketiga

Istri Syam’un di hari ketiga itu berhasil lagi mengikat suaminya dengan rantai

yang diberikan oleh orang-orang kafir.

“Wahai istriku, siapakah yang mengikatku kali ini?”

tanya Syam’un dengan nada agak marah ketika bangun dari tidur.

“Aku yang mengikatnya, sekedar untuk mengujimu,” jawab istrinya.

Namun, dengan sekali hentakan Syam’un dapat menghancurkan rantai tersebut.

Rahasia Kekuatan Syam’un

Lalu Syam’un segera menarik tangannya dan memotong rantai itu.

Kemudian istrinya pun segera membujuk suaminya agar mau menceritakan rahasia

kekuatan tubuh yang dimiliki suaminya.

Akhirnya Syam’un bercerita juga,

jika sebenarnya ia adalah seorang wali dari sekian banyak WALIYULLAH yang hidup di dunia ini.

Sam’un berkata

“Wahai istriku aku wali diantara wali kekasih Allah, segala perkara dunia ini tidak ada yang sanggup mengalahkan diriku, aku punya rambut panjang ini, ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkanku dalam perkara dunia kecuali rambutku ini,” jelas Syam’un.

Syam’un memang memiliki rambut yang panjang dan panjangnya digambarkan

bahwa ujung rambutnya akan menyentuh tanah saat Syam’un berdiri.

Karena sudah mengetahui kelemahan suaminya, akhirnya pada saat syamun tidur mulailah istrinya mengikat tangan Syam’un dengan 4 helai rambutnya dan mengikat pula kakinya dengan 4 helai rambut milik Syam’un, sementara ia tetap dalam tidurnya.

Setelah bangun, Syam’un bertanya,

“Wahai istriku, siapakah yang mengikatku ini?”

“Aku, untuk mengujimu,” jawab istrinya yang mulai ketakutan.

Setelah itu Syam’un berusaha dengan sekuat tenaga untuk melepaskan ikatan itu,

namun dia tidak berdaya untuk memotongnya.

Si istri langsung saja memberitahukan kepada kaum kafir tentang hal ini.

Nabi Syam’un al-Ghozi as lalu dibawa ke istana kehadapan raja para kafirun.

lalu diikat pada tiang utama istana dan dipertontonkan kepada khalayak istana.

Mulailah mereka memotong kedua telinga, bibir, kedua tangan dan kakinya.

Tidak hanya itu, Nabi juga disiksa dengan dibutakan kedua matanya,

Mereka menyiksa Nabi dengan tujuan agar beliau mati secara perlahan-lahan.

Istrinya yang jahat, ikut pula menyaksikan penyiksaan tersebut tanpa rasa belas kasihan.

Astaghfirullah sungguh biadab orang kafir.

Pertolongan Allah SWT Datang

Begitu hebatnya siksaan tersebut, membuat Allah SWT lewat perantaraan malaikat jibril

berbicara dengan suaranya yang hanya bisa didengar oleh Nabi Syam’un al-Ghozi as,

“Hai Syam’un apa yang engkau inginkan, Aku akan menindak mereka.”

Nabi menjawab,

“Ya Allah, berikanlah kekuatan kepadaku hingga aku mampu menggerakkan tiang istana ini,

dan akan kuhancurkan mereka dengan kekuatan dari Allah !.

Bismillah. La haula wa la quwwata illa billah!

Do’a Nabi Syam’un al-Ghazi as diKabulkan Allah SWT.

Allah SWT memberi kekuatan kepada Syam’un yang kekuatannya tidak bisa dibayangkan dan melebihi kekuatan dari rambutnya sendiri.

Maka dengan seizin Allah, Nabi Syam’un al-Ghazi as. menggoyangkan tiang istana tersebut,

Syam’un hanya beringsut sedikit saja, putuslah tali rambut itu bahkan dan tiang itupun rubuh

menimpa raja bersama seluruh khalayak istana termasuk istrinya yang durhaka dan

orang-orang yang telah menyiksanya.

Tiangnya juga ikut roboh dan hancur lebur. istana yang dijadikan tempat pembantaian itu juga turut hancur dan atapnya menimpa orang-orang kafir dan semuanya mati.

Begitu juga dengan istrinya, juga ikut tertimpa reruntuhan gedung istana raja kafir.

Mereka semua mati tertimpa reruntuhan bangunan istana dan terkubur didalamnya.

Hanya Syam’un sendiri yang selamat, lalu Allah mengembalikan seluruh anggota badan yang telah terpotong dan menyembuhkan segala sakitnya.

فَبَعْدَ ذَلِكَ عَبَدَ اللهَ أَلْفَ شَهْرٍ مَعَ قِياَمِ لَيْلِهاَ وَصِياَمِ نَهاَرِهاَ , فَضَرَبَ بِالسَّيْفِ فىِ سَبِيْلِ اللهِ

Setelah peristiwa itu, Nabi Syam’un al-Ghozi as. bersumpah kepada Allah SWT akan menebus

semua dosanya dengan berjuang menumpas semua kebatilan dan

kekufuran selama 1000 bulan tanpa henti.

Nabi menyibukkan diri dalam beribadah kepada Allah.

Malam hari dilalui dengan memperbanyak shalat malam, sedangkan siangnya beliau berpuasa.

Nabi menjalankan ibadahnya selama seribu bulan hingga ajalnya tiba.

Setelah mendengar kisah Nabi Syam’un al-Ghozi as,

para sahabat Nabi Muhammad saw menangis terharu,

bertanya sahabat kepada Nabi Muhammad SAW.

“Ya Rasullulah, tahukah baginda akan pahalanya?”

Jawab Rasulullah,

“Aku tidak mengetahuinya.”

فَأَنْزَلَ اللهُ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ بِهَذِهِ السُّوْرَةِ (القَدْرِ)

وَقاَلَ ياَمُحَمَّدْ أَعْتَيْطُكَ وَأُمَّتَكَ لَيْلَةَ القَدْرِ العِباَدَةُ فِيْهاَ أَفْضَلُ مِنْ عِباَدَةِ سَبْعِيْنَ أَلْفِ شَهْرٍ

Setelah Rasulullah selesai berkisah,

Allah SWT menyuruh Malaikat Jibril datang kepada Nabi Muhammad dan menurunkan Surat Al Qadr.

“Hai Muhammad, Allah memberi Lailatul Qadar kepadamu dan umatmu,

ibadah pada malam itu lebih utama daripada ibadah 1000 bulan,” ujar Malaikat Jibril.

Allah SWT berfirman: Surat Al-Qadar ayat 1-5:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ١

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ٢

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ٣

تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ ٤

سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ٥

Artinya:

1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.

2. dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu?

3. malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.

4. pada malam itu turun malaikat-malaikat dan

Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.

5. malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar.

Mendengar berita itu, Rasulullah SAW menyuruh sahabat-sahabatnya untuk berburu

malam Lailatul Qadar agar mendapatkan pahala seperti yang Allah AWT

berikan kepada Waliyullah Syam’un Al-Ghazi.

Apabila fajar telah terbit di malam qadar, maka malaikat Jibril berkata:

Wahai para malaikat, kumpul kemari dan kumpul kemari..,

Para malaikat Ya Jibril apa yang Allah perbuat untuk kaum muslimin di malam ini

dari ummat Nabi Muhammad SAW ?

Jibril :

Sesungguhnya Allah memandang kepada mereka dengan penuh kasih sayang,

Allah memaafkan serta ngampuni dosa-dosa mereka, kecuali empat kelompok.

Para malaikat Siapa empat kelompok itu ?

Jibril :

Pertama, orang yang membiasakan diri minum arak, mabuk-mabukan.

Kedua, Orang yang durhaka kepada orang tua.

Ketiga, orang yang memutus silaturrahmi.

Keempat, orang yang bertengkar,

yaitu pertengkaran dengan sesama yang belum damai dalam jangka waktu tiga hari.

Subhanallah……, Maha suci Allah.

والله الموفق إلى أقوام الطريق

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

SUMBER :

-DurrAtun Nasihin” pada Bab Lailatul Qadr.

Kitab Mukasyafatul Qulub.

Kitab Qishashul Anbiyaa (Al-Imam Ghazali).

LAILATUL QODAR DAN PEMAHAMAN SEDERHANA YANG BENAR

Tak ada hadits yang mengharuskan kita mencari Lailatul Qadar tanggal 21 Ramadhan. Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Bahauddin Nur Salim atau akrab disapa Gus Baha menjelaskan tentang keistimewaan malam Lailatul Qadar. Menurutnya, malam yang disebut Al-Qur’an sebagai malam yang lebih mulia dari seribu bulan itu adalah jawaban Allah terhadap keresahan yang sebelumnya menimpa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Terkait dengan penentuan waktu Lailatul Qadar, Gus Baha mengungkapkan bahwa ulama berbeda pendapat tentang hal itu. “Nuzulul Qur’an itu malam (tanggal) 17 (Ramadhan). Jadi kalau itu memang disepakati ulama, berarti itu sudah selesai. Jadi tak usah dicari. Tapi kamu ya jangan bilang begitu. Bagaimanapun, menurut Nabi, disuruh mencari di 10 akhir (Ramadhan).

Tapi ada ulama yang menduga 10 + 10, berarti mulai tanggal 11,” terangnya. Gus Baha menjelaskan, Nuzulul Quran itu memang terjadi pada tanggal 17 Ramadhan, karena tanggal itu sudah menjadi kesepakatan ulama. Beliau pun mengutip ayat tentang Perang Badar yang terkait dengan turunnya Al-Qur’an ini.

 وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعٰنِ

…Dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan….” (QS. 8:41). “

Tapi keyakinan saya, ya. Keyakinan saya, yang penting dicari, tapi yakin dapat saja. Yang penting dicari, tapi yang penting yakin dapat,” jelas Gus Baha, menekankan pada keyakinan mendapatkan keberkahan Lailatul Qadar.

Keyakinan memperoleh malam istimewa itu, beliau dasarkan pada sebuah kitab klasik, kitab-kitab hadits karya ulama kuno. Kali ini, Gus Baha tak menyebut nama kitab yang dimaksud. Hanya saja di kitab itu disebutkan, Nabi Muhammad sedang cerita bahwa Nabi Nuh umurnya 1000 tahun kurang 50, yang berarti 950 tahun. Nabi Ibrahim dan beberapa nabi terdahulu pun berumur panjang. Kemudian Nabi Muhammad merasa resah tentang usia rata-rata umatnya yang tergolong pendek. Lalu Allah SWT merespons keresahan Nabi Muhammad tersebut dengan memberi bonus Lailatul Qadar yang nilainya sama dengan 1000 tahun. “Itu rata-rata orang menghitung, (umurnya) 83,3,” kata Gus Baha, mengonversi 1000 bulan sama dengan 83,3 tahun. Jika melihat riwayat itu, berarti otomatis umat Nabi Muhammad dalam mengisi Ramadhan selama ini sudah benar. “Arti benar: Kalau shalat menghadap kiblat, seperti umumnya orang. Kalau tidak maksiat, menurut saya dapat Lailatul Qadar.

Karena itu memang keresahan Nabi yang dijawab Allah, diberi bonus: ‘Umatmu, Mahammad, meski umurnya pendek, Ku-beri ibadah Lailatul Qadar’,” jelas Gus Baha.

Waktu Ideal Lebih Giat Ibadah

Lebih lanjut, kiai asal Narukan, Kragan, Rembang, ini menjelaskan waktu ideal mencari Lailatul Qadar. “Kalau saya biasa (malam) 11, kalau di sini (malam) 21, 23? Di desa saya, yang malam 17 itu di mushala saya saja, yang lainnya (malam) 21, 23. Jadi saya ya minoritas. Kalau malam 21, 23, orang beribadah banyak,” terangnya.

Dalam hal ini, Gus Baha juga pernah ditanya orang, “Sudah ibadah, Gus?” “Aku sudah lewat, tapi sisanya masih, punyamu,” jawabnya berseloroh. Menurut Gus Baha, untuk menghargai Al-Qur’an dan Hadits, kita mesti mengambil yang tengah-tengah.

Dalam Al-Qur’an, petunjuk itu tak disertai tanggal.

 شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an…” (QS. Al-Baqarah: 185).

Ia menjelaskan, ayat tersebut masih bermakna umum, bukan tanggal tertentu. Tak heran bila ada ulama yang berpendapat bahwa Lailatul Qadar bisa dimulai sejak tanggal 1 Ramadhan. Menurutnya, yang dimaksud dengan sungguh-sungguh itu berarti klimaks. Kalau ingin klimaks, berarti mulainya harus dari tanggal 1 Ramadhan. “Kalau kamu mencari sungguh-sungguh mulai tanggal 21 (Ramadhan), kata malaikat: ‘Lho, kok baru mencari sekarang?’ Berarti dianggap pemula, kan? Makanya tak dapat, perkaranya pemula. ‘Lho, kok baru mencari?’ Jadi yang lain sudah mulai, sudah waktunya dapat, kamu baru mencari,” bebernya kepada para santri. “Saya itu sudah start mulai tanggal 1 (Ramadhan). Saya baca Arbain Nawawi khatam. Baca Al-Qur’an juga khatam. Kemarin tanggal 17 (Ramadhan) sudah saya doain. Jadi potensi dapat saya lebih tinggi. Kalau kamu baru mulai tadi, kan? Berarti tak begitu sungguhan, karena baru mulai. Jadi, diumumkan tanggal 1 Ramadhan kamu tidur, pas tanggal 20 (baru) sungguh-sungguh. Berarti ibarat balapan kan sudah kalah banyak,” kelakar Gus Baha menjelaskan dengan logika.

Kiai yang kerapkali tampil dengan baju putih itu pun mengajak kita agar menjiwai dalam membaca hadits. Hadits tentang Lailatul Qadar menampilkan pesan bahwa Nabi bersungguh-sungguh di sepuluh akhir. Yang seharusnya digarisbawahi adalah kesungguhannya itu, bukan pencariannya. Tak ada hadits yang mengharuskan kita mencari Lailatul Qadar tanggal 21 Ramadhan. “Tapi tetap yang tadi ya. Keyakinan saya, berkah luasnya Rahmat Allah, semoga yang penting selagi umat Nabi. Yang ketika itu tak maksiat, pokoknya meski saleh-saleh biasa begini, saleh ‘kelas ringan’, yang penting tidak maksiat, itu tetap mendapat Lailatul Qadar,” terang Gus Baha, optimistis.

Beliau juga mencuplik sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:

 نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ

“Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amal ibadahnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni” (HR Baihaqi). Jadi, menurutnya, aslinya sewaktu-waktu itu ibadah. Tidurnya saja ibadah. “Umat Nabi, menggauli istri saja ibadah. Lho, itu ada hadits sahih,” terangnya, sambil mengutip sebagian hadits yang dimaksud.

 عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالُوا لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ « أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya sebagian dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bersedekah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah sedekah, tiap-tiap tahmid adalah sedekah, tiap-tiap tahlil adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah kemungkaran adalah sedekah, dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah sedekah’. Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala’,” (HR Muslim No. 2376).

Sampai-sampai, lanjut Gus Baha, ada sahabat janggal, “Nabi, masak bersenggama kok ibadah?” “Lha kalau menggauli istri orang?” jawab Nabi. Nabi Muhammad dalam menjawabnya juga lucu: “Kalau menggauli istri orang?” Kan musibah. Berarti kalau menggauli istri sendiri? Ibadah. Gus Baha meminta agar Lailatul Qadar tak usah diperdalam. Kita mesti yakin saja bahwa itu adalah bentuk kasih sayang Tuhan untuk menggantikan umur umat Nabi yang tak sepanjang umur orang-orang zaman dahulu. “Itu jelas, saya baca teks, tidak mimpi, tidak mengigau, memang begitu. Biar tidak berlebihan. Jadi itu dari awal sudah bonus, sudah hadiah. Tapi sekarang kita berlebihan: ‘Gerakan Menangkap Lailatul Qadar,’ malaikat ketangkap, ya malu,” seloroh Gus Baha. “Malah repot; bikin istilahnya itu lho, repotnya. Malaikat itu ‘nur’ kok mau ditangkap. Malah berlarian. Aneh-aneh saja kamu. Jadi, Lailatul Qadri khairum min alfi syahr (QS. Al-Qadr: 2) itu menggantikan umur Nabi Nuh, dan nabi-nabi zaman kuno,” pungkasnya.

KEUTAMAAN DAN KEMULIAAN LAILATUL QODAR ‘MALAM YANG LEBIH BAIK DARI SERIBU BULAN’

Kemuliaan Lailatul Qadar Kemuliaan Lailatul Qadar lebih baik daripada lelaki itu menyandang senjatanya selama seribu bulan dalam berjihad di jalan Allah

 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ إِنَّا أَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ * وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ * لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مّنْ أَلْفِ شَهْرٍ * تَنَزَّلُ الْمَلَئِكَةُ وَالْرُّوحُ فِيْهَا بِإِذْنِ رَبِهِّمْ مِّنْ كُلِّ أَمْرٍ * سَلَامٌ هِىَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ * (القدر : ١-٥) وقال ابن أبى حاتم : حدثنا أبو زرعة حدثنا إبرهيم بن موسى أخبرنا مسلم يعنى ابن خالد عن ابن أبى نجيح عن مجاهد أن النبى صلى الله عليه وسلم ذكر رجلا لبس السلاح فى سبيل الله ألف شهر قال فعجب المسلمون من ذلك قال فأنزل الله عز وجبة (إنا أنزلناه فى ليلة القدر، وما أدراك ما ليلة القدر* ليلة القدر خير من ألف شهر) التى لبس ذلك الرجل السلاح فى سبيل الله ألف شهر (رواه أبو داود)

Dari Imam ibnu Abi Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar’ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid, dari ibnu Abu Najih, dari Mujahid, bahwa Nabi SAW menceritakan tentang seorang lelaki (zaman dahulu) yang menyandang senjatanya selama seribu bulan dalam berjihad di jalan Allah SWT. Maka kaum muslimin merasa kagum dengan perihal lelaki yang berjihad tersebut. Imam Mujahid melanjutkan kisahnya, bahwa kemudian Allah SWT menurunkan firman-Nya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan”. (Al-Qadar : 1-3).

Maksudnya “bahwa malam kemuliaan itu” lebih baik daripada lelaki itu menyandang senjatanya selama seribu bulan dalam berjihad di jalan Allah. (HR. Abu Dawud). Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami ibnu Humaid, dari Hakam ibnu Muslim, dari Al-Musana Ibnussabah, dari Mujahid, dari Abdullah bin Mas’ud yang mengatakan bahwa dahulu dari kalangan ulama kaum Bani Israil (keturunan Ya’kub as) selalu melakukan shalat malam hingga pagi hari, kemudian siang harinya ia berjihad di jalan Allah hingga petang hari, dia melakukannya selama seribu bulan, maka bersabda Rasulullah SAW, lalu turunlah surat Al-Qadar. Yakni melakukan shalat malam dimalam Al-Qadar lebih baik daripada amalan orang Bani Israil yang beribadah dan berjihad tadi. (HR. Tirmidzi).

Suatu hari Rasulullah SAW menceritakan tentang kisah empat orang lelaki di zaman dahulu ; mereka menyembah Allah selama delapan puluh tahun tanpa melakukan kedurhakaan kepada-Nya. Beliau SAW menyebutkan nama mereka, yaitu Ayyub, Zakaria, Hizkil ibnul Ajuz, dan Yusya’ ibnu Nun. Lalu para sahabat Rasulullah SAW merasa kagum dengan amalan mereka. Maka datanglah Jibril as kepada Nabi SAW dan berkata : “Hai Muhammad, umatmu merasa kagum dengan ibadah mereka selama delapan puluh tahun itu tanpa berbuat durhaka. Sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan hal yang lebih baik daripada itu”. Kemudian malaikat Jibril as membacakan kepadanya firman Allah surat Al-Qadar : 1-3. Jibril berkata ini lebih baik daripada apa yang engkau dan umatmu kagumi. Maka bergembiralah karenanya Rasulullah SAW dan orang-orang yang bersamanya saat itu.

Imam Sufyan Assauri mengatakan bahwa amalan puasa, qiyamnya lebih baik daripada melakukan hal yang sama dalam seribu bulan bila dibandingkan dengan amalan ibadah didalam bulan yang tidak terdapat malam Lailatul Qadarnya. Didalam hadits lain disebutkan:

 عن أبى مصعب أحمد بن أبى بكر الزهرى حدثنا مالك أنه بلغه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أرى أعمار الناس قبله أو ماشاء الله من ذلك فكأنه تقاصر أعمار أمته أن لا يبلغوا من العجل الذى بلغ غيرهم فى طول العمر فأعطاء الله ليله القدر خيار من ألف شهر

 Abi Mas’ab yaitu Ahmad Ibnu Abi Bakar Azzuhri mengatakan dari Malik telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah SAW diperlihatkan kepadanya usia-usia manusia yang sebelumnya dari kalangan umat terdahulu, atau sebagian dari hal tersebut menurut apa yang dikehendaki oleh Allah. Maka Rasulullah SAW seakan-akan menganggap pendek usia umatnya bila dibandingkan dengan mereka yang berusia sedemikian panjangnya dalam hal beramal, dan beliau merasa khawatir bila amal umatnya tidak dapat mencapai tingkatan mereka. Maka Allah SWT memberinya Lailatul Qadar yang lebih baik daripada seribu bulan. Hadits ini telah disandarkan melalui jalur lain, dan apa yang dikatakan oleh Malik ini memberi pengertian bahwa Lailatul Qadar hanya dikhususkan bagi umat ini.

 Firman Allah SWT:

 تَنَزَّلُ الْمَلٓئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ اَمْرٍ. سَلٰمٌ هِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ. (القدر : ٤-٥)

“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar”. (Al-Fajr : 4-5)

Yakni banyak malaikat yang turun (kemuka bumi) di malam kemuliaan ini bersamaan dengan turunnya berkah dan rahmat dari Allah SWT. Mereka menjumpai orang-orang yang membaca Al-Qur’an, mengelilingi halaqah-halaqah dzikir, serta meletakkan sayap mereka menaungi orang yang menuntut ilmu karena menghormatinya, mendatangi orang-orang yang ada didalam masjid yang sedang shalat sampai fajar terbit. Jibril as tidak membiarkan sebuah rumah pun yang didalamnya terdapat orang mukmin laki-laki atau perempuan, selain dia memasukinya dan mengucapkan salam kepadanya, seraya mengatakan, “Hai orang mukmin laki-laki atau hai orang mukmin perempuan, Allah mengucapkan salam kepadamu”. Kecuali, terhadap orang yang suka minum khamar, orang yang memutuskan silaturahim dan pemakan daging babi.

Pada malam qadar itu Allah SWT menetapkan seluruh urusan yang dikehendaki-Nya seperti urusan kematian, azal, rejeki, dan sebagainya sampai tahun berikutnya. Kemudian, Allah menyerahkannya kepada yang mengatur urusan-urusan itu. Mereka adalah Malaikat Israfil, Mikail, Izrail, dan Jibri Alaihimus Salam. Turunnya malaikat-malaikat tadi dari Sidratul Muntaha dipimpin oleh Malaikat Jibril dan berdoa untuk orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.

Sebagaimana doa malaikat: “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala. Ya Tuhan kami, dan masukanlah mereka kedalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang shaleh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Mu’min : 7-8)

Abu Dawud telah menceritakan kepada kami Imran Al-Qattan, dari Qatadah, dari Abu Maimunah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 انها ليلة سابعة او تاسعة وعشرين وإن الملائكة تلك الليلية فى الأرض أكثر من عدد الحصى

“Sesungguhnya malam kemuliaan itu jatuh pada malam 27 atau 29 Ramadhan, dan sesungguhnya para malaikat di bumi pada malam itu jumlahnya lebih banyak daripada bilangan batu kerikil”.

Malik ibnu Marsad ibnu Abdullah bertanya kepada Abu Dzar, “Apakah yang pernah engkau tanyakan kepada Rasulullah SAW tentang Lailatul Qadar? Abu Dzar menjawab, bahwa dirinyalah orang yang paling gencar menanyakan tentang Lailatul Qadar kepada Rasulullah SAW. Aku bertanya “Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepadaku tentang Lailatul Qadar, apakah terdapat di bulan Ramadhan ataukah di bulan yang lain?” Rasulullah menjawab, “Tidak, bahkan ia terdapat didalam bulan Ramadhan”. Aku bertanya lagi, “Apakah Lailatul Qadar itu hanya ada di masa nabi saja? Apabila mereka telah tiada, maka Lailatul Qadar dihapuskan, ataukah masih tetap ada sampai hari kiamat?”

Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, bahkan Lailatul Qadar tetap ada sampai hari kiamat”. Aku bertanya lagi, “Dibagian manakah Lailatul Qadar terdapat dalam bulan Ramadhan?” Rasulullah SAW menjawab, “Carilah di malam-malam sepuluh!” Dari Abu Sa’id Al-Hudri ra ia berkata, “Kami beri’tikaf bersama-sama dengan Nabi SAW sepuluh hari pertengahan bulan Ramadhan, kemudian puasa pagi hari tanggal 20, beliau keluar lalu berhutbah kepada kami, “Sesungguhnya Lailatul Qadar telah diperlihatkan kepadaku, kemudian aku dilupakan, maka carilah Lailatul Qadar itu pada sepuluh terakhir dalam malam ganjil”. (HR. Bukhari).

Ibnu Mas’ud pernah mengatakan bahwa barangsiapa yang melakukan shalat malam sepanjang tahun, niscaya akan menjumpai Lailatul Qadar. Ubay ibnu Ka’ab menjawab, “Semoga Allah merohmatinya, sesungguhnya dia telah mengetahui bahwa malam kemuliaan itu terdapat didalam bulan Ramadhan dan tepatnya di malam 27”.

Kemudian Ubay ibnu Ka’ab bersumpah untuk menguatkan perkataannya. Dan aku (Abu Munzir) bertanya, “Bagaimanakah kamu mengetahuinya?” Ubay ibnu Ka’ab menjawab, “Melalui alamat atau tandanya yang telah diberitahukan kepada kami oleh Nabi SAW, bahwa pada siang harinya matahari terbit dipagi harinya, sedangkan cahayanya lemah”.

Rasulullah SAW telah bersabda: “Sesungguhnya pertanda Lailatul Qadar ialah cuacanya bersih, lagi terang seakan-akan ada rembulannya, tenang, lagi hening; suhunya tidak dingin dan tidak pula panas, dan tiada suatu bintang pun yang dilemparkan pada malam itu sampai pagi hari. Dan sesungguhnya pertanda Lailatul Qadar itu dipagi harinya matahari terbit dalam keadaan sempurna, tetapi tidak bercahaya seperti biasanya melainkan seperti rembulan dimalam purnama”. (HR. Bukhari)

Tidak ditentukannya malam kemuliaan itu bagimu, karena sesungguhnya jika malam kemuliaan di misterikan ketentuannya, maka orang-orang yang mencarinya akan mengejarnya dengan penuh kesungguhan guna mendapatkannya dalam seluruh bulan Ramadhan.

Dengan demikian, berarti ibadah yang dilakukannya lebih banyak. Dan hal yang sangat disunatkan ialah memperbanyak doa berikut ini:

 اَللّٰهُمَ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ

 “Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, suka memberi maaf maka maafkanlah daku”. Allah SWT memanggil Jibril as untuk turun ke bumi disetiap malam kemuliaan bersama dengan para malaikat yang menghuni Sidratul Muntaha.

Tiada satu malaikat pun dari mereka melainkan telah dianugerahi rasa lembut dan kasih sayang kepada orang-orang mukmin. Maka turunlah mereka dibawah pimpinan Jibril as dimalam kemuliaan sejak matahari terbenam. Tiada suatu tempatpun di bumi melainkan terisi oleh malaikat; ada yang sedang sujud, adapula yang sedang berdiri mendoakan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Mereka terus mendoakan sepanjang malam.

 وجبريل لا يدع أحدا من المؤمنين إلا صافحه وعلامة ذلك من اقشعر جلده ورق قلبه ودمعت عيناه فان ذلك من مصافحة جبريل

“Dan Jibril tidak sekali-kali mendoakan seseorang dari kaum mukmin melainkan ia menyalaminya dan sebagai pertandanya ialah bila seseorang yang sedang melakukan qiyam, bulunya merinding (berdiri) dan hatinya lembut serta matanya menangis, maka itu akibat salam Jibril kepadanya (jabat tangan Jibril kepadanya). Para malaikat itu terus menerus dalam keadaan demikian hingga fajar terbit. Setelah itu malaikat naik lagi ke langit berikut malaikat Jibril; manakala sampai di ufuk yang tinggi malaikat-malaikat tadi berkumpul untuk kembali, karenanya maka cahaya matahari kelihatan redup. Maka Sidratul Muntaha menyambut kedatangan mereka “Segala puji bagi Allah Yang Maha Penyayang”.

Urutan nilai bagi hamba yang mendapatkan Lailatul Qadar paling akhir ialah yang melaksanakan shalat isya dan shalat subuh berjamaah pada malam kemuliaan (Lailatul Qadar) tersebut. Imam ibnu Abi Hatim berkata dalam tafsirnya:

 من صام رمضان وهو يحدث نفسه إذا أفطر رمضان أن لا يعصى الله دخل الجنة بغير مسئلة ولا حساب. آخر تفسير سورة ليلة القدر، والله الحمد والمنة

 “Barang siapa yang melakukan puasa Ramadhan, sedangkan dalam dirinya ia berbicara bahwa apabila ia berbuka (yakni telah selesai dari puasa Ramadhannya) ia bertekad untuk tidak akan berbuat durhaka kepada Allah SWT, niscaya orang itu masuk surga tanpa pertanyaan dan tanpa hisab”. Demikianlah akhir tafsir surat Al-Qadar, segala puji bagi Allah atas segala karunia yang telah dilimpahkan-Nya.

Dikutip dari :

– Tafsir Ibnu Katsir

– Tafsir Marah Labid

– Tafsir Munir

– Tafsir Shawi

– Tafsir Futuhatul Ilahiyah

TERLINTAS BERMAKSIAT SETELAH BERBUKA PUASA

Bulan puasa adalah bulan penuh berkah dan pahala. Umat Islam dianjurkan memperbanyak amal kebaikan di dalamnya. Pahala amal sunnah di bulan Ramadhan berbanding dengan ibadah fardhu di selain bulan Ramadhan. Kemudahan dan semangat melakukan kebajikan di bulan Ramadhan umumnya melebihi antusiasme di bulan lainnya, sebab nafsu yang malas dari kebaikan terpenjara dengan rasa lapar dan dahaga. Setan-setan dibelenggu, pintu-pintu neraka dikunci, pintu-pintu surga dibuka (lihat: Syekh Abdullah al-Haddad, Risalah al Muawanah, Dar al Hawi, hal. 91).

Begitu besarnya pahala di bulan penuh berkah ini tidak lantas tanpa menyisakan problem, di antaranya mental setelah berpuasa di siang hari. Terkadang ada perasaan bahwa lebih aman berbuat dosa di malam hari, tepatnya setelah berbuka puasa hingga subuh, ketimbang siang hari kala seseorang berjuang mempertahankan keabsahan puasa. Alhasil, siang puasa dan merasa takut melakukan dosa, tapi di malam hari merasa lebih enjoy menggunjing, berbuat dusta, dan sebagainya. Anggapan tersebut bisa jadi karena kebodohan atau tidak terkontrolnya luapan emosi “balas dendam”.

Anggapan tersebut sesungguhnya tidak pantas dilakukan oleh orang beriman. Sebagai upaya membenahi dan mengobati anggapan tersebut, perlu kiranya mengingat beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, hikmah diwajibkannya puasa Ramadhan. Salah satu hikmah diwajibkannya puasa Ramadhan, sebagaimana penjelasan Syekh Sulaiman al-Jamal mengutip Syekh al-Barmawi, adalah agar dapat menghasilkan zuhud yang wajib dan sunnah. Zuhud wajib adalah menjaga diri dari melakukan keharaman. Zuhud sunnah artinya menjaga diri dari perkara makruh dan hal yang tidak bermanfaat. Di antara hikmahnya lagi adalah mempersempit laju setan dengan lapar dan dahaga. Sesungguhnya setan senantiasa mengganggu manusia terus-menerus, seperti mengalirnya darah di tubuh. Puasa bisa menjadi tameng dari pengaruh-pengaruh negatif, baik dari setan atau kebiasaan buruk nafsu yang banyak memerintah kejelekan (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ‘ala Fath al-Wahhab, juz 2, hal. 302).

Bila hikmah puasa ini dicermati dan direnungkan dengan seksama, seseorang harusnya memiliki rem untuk melakukan keburukan baik saat berpuasa maupun saat berbuka.

Kedua, larangan Allah tentang merasa aman dari siksa. Segala perbuatan dosa manusia pasti ada konsekuensinya. Allah senantiasa mencatat amal keburukan manusia di mana pun dan kapan pun. Semuanya tidak akan luput dari pengawasan-Nya. Allah mengancam para pendosa dengan siksa-siksa. Terkadang langsung ditimpakan secepatnya, terkadang dibiarkan seperti tidak ada siksa. Namun, Allah menangguhkan azab sampai pada suatu waktu sekiranya semua dosa-dosa terkumpul, siksa-Nya akan menghujam dengan sangat derasnya berbanding lurus dengan tumpukan dosa yang dilakukan manusia. Oleh sebab itu, hendaknya manusia tidak merasa aman saat melakukan dosa, kapanpun waktunya dan dimanapun tempatnya.

Allah menyebut orang-orang yang merasa aman dari siksaNya dengan orang-orang yang merugi. Allah berfirman:

 أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ (٩٧) أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ (٩٨) أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ (٩٩)

Artinya: “(97) Maka apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang malam hari ketika mereka sedang tidur? (98) Atau apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang pada pagi hari ketika mereka sedang bermain? (99) Atau apakah mereka merasa aman dari siksaan Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa aman dari siksaan Allah selain orang-orang yang rugi” (QS al-A’raf: 97-99).

Syekh Ismail Haqqi bin Mushthafa al-Khalwati al-Hanafi menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut:

 قيل معنى الآية ولا يأمن عذاب الله من العصاة او لا يأمن عذاب الله من المذنبين والأنبياء عليهم السلام لا يأمنون عذاب الله على المعصية ولهذا لا يعصون بانفسهم انتهى

“Dikatakan, makna ayat ini adalah; tidak merasa aman dari siksa Allah dari orang-orang yang bermaksiat, tidak aman dari siksa Allah dari para pendosa (kecuali orang-orang yang merugi). Adapun para Nabi tidak merasa aman dari azab Allah atas kemaksiatan, oleh sebab itu dengan sendirinya mereka tidak melakukan kemaksiatan”. (Syekh Ismail Haqqi bin Mushthafa al-Khalwati al-Hanafi, Ruh al-Bayan, juz 3, hal. 207).

Ketiga, berlanjutnya kebaikan sebagai tanda puasa diterima Sesungguhnya Allah melatih manusia di bulan puasa untuk membiasakan berbuat kebajikan, tidak hanya di bulan yang suci namun di bulan-bulan setelahnya. Para ulama menjelaskan bahwa tanda puasa Ramadhan diterima adalah membiasakan puasa setelah Ramadhan. Hal tersebut berlaku juga untuk semua jenis kebaikan yang dilakukan di bulan suci, misalnya bersedekah, membaca Al-Qur’an, shalat sunnah dan lain-lain, jika amal kebaikan serupa berlanjut setelah Ramadhan, maka hal tersebut menjadi tanda diterimanya amal-amal serupa yang dilakukan di bulan suci. Sebaliknya, jika setelah puasa kelanjutannya adalah berbuat dosa, maka itu adalah tanda ditolaknya puasa dan kebaikan lain yang dilakukan di bulan puasa.

Syekh Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan:

 إن معاودة الصيام بعد صيام رمضان علامة على قبول صوم رمضان فإن الله إذا تقبل عمل عبد وفقه لعمل صالح بعده كما قال بعضهم ثواب الحسنة الحسنة بعدها. فمن عمل حسنة ثم أتبعها بحسنة بعدها كان ذلك علامة على قبول الحسنة الأولى كما أن من عمل حسنة ثم أتبعها بسيئة كان ذلك علامة على رد الحسنة وعدم قبولها

“Sesungguhnya membiasakan puasa setelah puasa Ramadhan adalah tanda atas diterimanya puasa Ramadhan, karena bila Allah menerima amal seorang hamba, ia akan diberikan pertolongan melakukan amal saleh setelahnya, seperti ucapan sebagian ulama; pahala suatu kebaikan adalah kebaikan serupa setelahnya. Maka barang siapa melakukan kebaikan, kemudian diikuti dengan kebaikan lain setelahnya, hal tersebut merupakan tanda atas diterimanya kebaikan yang pertama. Sebagaimana orang yang beramal baik, kemudian dilanjutkan dengan amal buruk, hal tersebut adalah tanda atas ditolak dan tidak diterimanya kebaikan (yang dilakukan sebelumnya)” (Syekh Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 394).

Merasa takut melakukan dosa di siang hari saat puasa, sesungguhnya merupakan hal positif yang pantas diberikan kredit poin. Namun mental demikian sangat disayangkan bila tidak berlanjut di malam hari, bahkan alangkah lebih baik lagi bila kebiasaan takut melakukan dosa berlanjut di selain bulan Ramadhan. Hal tersebut sebagai upaya agar puasa dan segenap amal saleh kita di bulan suci diterima oleh Allah subhanahu wata’ala.

KEABSAHAN HADITS HARI JUM’AT PERTENGAHAN ROMADLON SEBAGAI AWAL BENCANA

Bulan Ramadhan bisa disebut sebagai bulan yang teramat spesial bagi umat Islam. Sudah selayaknya ia disambut dengan penuh suka cita dan rasa bahagia, sebab pada bulan suci ini semua amal ibadah dilipatgandakan pahalanya oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Meski demikian, masih saja ada sekelompok orang yang menyebarkan rasa cemas pada masyarakat di bulan suci Ramadhan ini. Salah satunya dengan ‘meramal’ bahwa Ramadhan tahun ini merupakan pembuka terjadinya kekacuan di bulan-bulan setelahnya, mengingat Ramadhan kali ini diawali dengan hari Jumat dan tanggal lima belas Ramadhan juga bertepatan dengan hari Jumat. Ramadhan yang diawali dengan Jumat diprediksi sebagai petunjuk atas banyaknya musibah pada tahun tersebut. Kelompok ini bukan tak mendasarkan ramalannya pada dalil apa pun.

Mereka memastikan terjadinya kekacauan pada tahun ini dengan menyitir hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud berikut :

إِذَا كَانَ صَيْحَةٌ فِي رَمَضَانَ فَإِنَّهَا تَكُونُ مَعْمَعَةٌ فِي شَوَّالٍ، وَتَمَيَّزُ الْقَبَائِلُ فِي ذِي الْقَعْدَةِ، وَتُسْفَكُ الدِّمَاءُ فِي ذِي الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمِ وَمَا الْمُحَرَّمُ – يَقُولُهَا ثَلاَثًا – هَيْهَاتَ هَيْهَاتَ يُقْتَلُ النَّاسُ فِيهَا هَرْجًا هَرْجًا قَالَ : قُلْنَا : وَمَا الصَّيْحَةُ ؟ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ : هَذِهِ تَكُونُ فِي نِصْفٍ مِنْ رَمَضَانَ يَوْمَ جُمُعَةٍ ضُحًى، وَذَلِكَ إِذَا وَافَقَ شَهْرُ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ تَكُونُ هَدَّةٌ تُوقِظُ النَّائِمَ، وَتُقْعِدُ الْقَائِمَ، وَتُخْرِجُ الْعَوَاتِقَ مِنْ خُدُورِهِنَّ فِي لَيْلَةِ جُمُعَةٍ سَنَةً كَثِيرَةَ الزَّلاَزِلِ وَالْبَرْدِ، فَإِذَا وَافَقَ رَمَضَانُ فِي تِلْكَ السَّنَةِ لَيْلَةَ جُمُعَةٍ فَإِذَا صَلَّيْتُمُ الْفَجْرَ يَوْمَ جُمُعَةٍ فِي النِّصْفِ مِنْ رَمَضَانَ – فَادْخُلُوا بُيُوتَكُمْ، وَسَدِّدُوا كُوَاكُمْ، وَدَثِّرُوا أَنْفُسَكُمْ، وَسُدُّوا آذَانَكُمْ، فَإِذَا أَحْسَسْتُمْ بِالصَّيْحَةِ فَخِرُّوا لِلَّهِ سُجَّدًا، وَقُولُوا سُبْحَانَ الْقُدُّوسِ، سُبْحَانَ الْقُدُّوسِ، رَبَّنَا الْقُدُّوسَ ؛ فَإِنَّهُ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ نَجَا، وَمَنْ تَرَكَ هَلَكَ

 “Ketika terdapat suara yang dahsyat (dentuman) tepat di bulan Ramadhan, maka pertanda akan terjadi huru-hara di bulan Syawal, kelompok masyarakat (kabilah) memisahkan diri di bulan Dzulqa’dah, banyak pertumpahan darah di bulan Dzulhijjah dan Muharram. Dan apa yang terjadi di bulan Muharram? (Nabi mengucapkannya tiga kali). Sayang sekali, saat itu banyak di antara manusia yang berperang satu sama lain dan keadaan sangat kacau. Maka kami bertanya: ‘Apa suara dahsyat itu wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘Suara itu terjadi di pertengahan bulan Ramadhan pada waktu dhuha di hari Jumat. Suara itu muncul tatkala bulan Ramadhan bertepatan dengan malam Jumat. Suara teriakan ini akan membangunkan orang-orang tidur, menjatuhkan orang-orang yang tegap berdiri, dan menjadikan para wanita terhempas keluar dari kamar-kamarnya pada malam Jumat selama satu tahun, banyak terjadi gempa dan cuaca yang sangat dingin. Apabila bulan Ramadhan bertepatan dengan malam Jumat maka tatkala kalian telah melaksanakan shalat subuh pada hari Jumat di pertengahan bulan Ramadhan, maka masuklah ke dalam rumah-rumah kalian, kuncilah pintu-pintu rumah, selimutilah diri kalian, dan tutupilah telinga-telinga kalian. Apabila kalian merasa ada suara dahsyat, maka menyungkurlah dengan bersujud kepada Allah dan ucapkanlah: “Subhânal Quddûs, Rabbunal Quddûs”. Barang siapa yang mengamalkan hal itu maka akan selamat, dan barang siapa meninggalkannya maka akan celaka” (HR Asy-Syasyi).

Dapatkah kita mempercayai prediksi-prediksi bahwa berbagai kekacauan seperti yang disebutkan dalam hadits di atas akan terjadi pada Ramadhan tahun ini, mengingat bulan Ramadhan tahun ini diawali hari Jumat?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penting kiranya kita mengetahui bagaimana posisi kekuatan hadits di atas. Apakah benar bahwa hadits tersebut dapat dijadikan sebagai pijakan dalil yang sahih? Patut dipahami bahwa hadits tentang adanya suara dahsyat pada hari Jumat yang bertepatan dengan tanggal lima belas Ramadhan sama sekali tidak disebutkan oleh para ulama hadits yang diakui kredibilitasnya, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, an-Nasa’I, dan at-Tirmidzi. Hadits yang menjelaskan tentang suara dahsyat ini disebutkan oleh Imam asy-Syasyi, At-Thabrani, dan Ahmad as-Syaibani.

Berdasarkan hal ini, kualitas sanad dalam hadits di atas patut dipertanyakan. Salah satu kritikus hadits, Imam al-‘Uqaili dalam kitabnya, adh-Dhu’afa’ al-Kabir menyebutkan kritik tentang hadits ini:

 ليس لهذا الحديث أصل من حديث ثقة ولا من وجه يثبت

“Hadits ini tidak memiliki dasar dari hadits yang terpercaya dan juga tidak dari jalan (metode) yang ditetapkan (oleh para ulama hadits)” (Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr al-‘Uqaili, adh-Dhu’afa’ al-Kabir, juz 1, hal. 51).

Berpijak dari referensi tersebut maka dapat dipastikan bahwa status hadits di atas adalah hadits yang dlaif (lemah). Bahkan jika kita menelaah lebih lanjut tentang para perawi hadits di atas, kita temukan banyak sekali para rawi (periwayat) yang diragukan kredibilitasnya oleh para ulama hadits. Salah satu adalah Abdul Wahab bin Husein. Imam Hakim dalam salah satu hadits yang terdapat rawi Abdul Wahab bin Husein berkomentar bahwa ia merupakan orang yang tidak diketahui profilnya (majhul).

Imam adz-Dzahabi lantas menanggapi perkataan Imam Hakim tersebut:

 وفيه عبد الوهاب بن حسين وهو مجهول، قلت ذا موضوع

“Di dalam hadits ini terdapat Abdul Wahab bin Husain, dia adalah orang yang tidak diketahui. Aku (adz-Dzahabi) berkata: ‘Hadits ini maudlu’ (palsu)” (Adz-Dzahabi, Mukhtashar Istidrak adz-Dzahabi ‘ala Mustadrak al-Hakim, juz 4, hal. 522).

Sedangkan dari aspek matan (isi hadits), hadits ini juga tergolong sebagai hadits yang tidak dapat dijadikan pijakan. Sebab, isinya mengandung peristiwa-peristiwa di masa mendatang yang dijelaskan secara spesifik.

Maka tidak heran jika Ibnu al-Qayyim al-Jauzi mengategorikan sebagai hadits yang batal secara matan. Dalam al-Manar al-Munif beliau menjelaskan:

 ومنها أحاديث التواريخ المستقبلة وقد تقدمت الإشارة إليها وهي كل حديث فيه إذا كانت سنة كذا وكذا حل كذا وكذا كحديث يكون في رمضان هدة توقظ النائم وتقعد القائم وتخرج العواتق من خدورها وفي شوال همهمة وفي ذي القعدة تمييز القبائل بعضها إلى بعض وفي ذي الحجة تراق الدماء

“Sebagian dari tanda hadits yang tidak dapat dijadikan pijakan adalah hadits-hadits tentang sejarah masa yang akan datang. Keterangan tentang ini telah aku jelaskan sebelumnya, yaitu setiap hadits yang di dalamnya terdapat penjelasan bahwa pada tahun sekian dan sekian, terjadi ini dan ini. Seperti hadits yang menjelaskan bahwa pada bulan Ramadhan terdapat suara dahsyat yang dapat membangunkan orang-orang tidur, menjatuhkan orang-orang yang tegap berdiri, dan menjadikan para wanita terhempas keluar dari kamar-kamarnya. Pada bulan syawal terdapat huru-hara, di bulan Dzulqa’dah kelompok masyarakat memisahkan diri satu sama lain, dan di bulan Dzulhijjah terjadi pertumpahan darah” (Ibnu al-Qayyim al-Jauzi, al-Manar al-Munif, hal. 110).

Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadits tentang adanya suara dahsyat pada hari Jumat tanggal lima belas Ramadhan tidak dapat dijadikan sebagai dasar pijakan hukum, sebab memiliki sanad dengan perawi yang bermasalah serta isi matan yang dianggap oleh sebagian ulama bukan bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dengan demikian, ramalan bahwa Ramadhan tahun ini merupakan pembuka atas kekacauan yang terjadi pada tahun ini adalah klaim yang tidak benar dan berpijak pada dalil hadits yang tidak bisa dijadikan dasar, sehingga tidak dapat dipercayai kebenarannya. Tidak baik bagi kita menaruh prasangka buruk pada hari Jumat tanggal lima belas Ramadhan ini, sebab hari Jumat merupakan hari terbaik di antara hari-hari yang lain, seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad:

 خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا

“Hari terbaik dimana matahari terbit adalah hari Jumat, pada hari itu Nabi Adam diciptakan, dimasukkan ke surga dan dikeluarkan dari surga” (HR Al-Bukhari). Maka sebaiknya pada Ramadhan tahun ini, kita perbanyak menebarkan kabar baik dan menggembirakan pada orang lain, terlebih saat ini bangsa kita sedang diberi cobaan menghadapi pandemi virus Covid-19. Jangan sampai kekhawatiran masyarakat dalam menghadapi pandemi diperparah dengan kabar-kabar buruk yang sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Wallahu a’lam.

BERUSAHA TAHU DIRI DENGAN MERENUNG SAAT MEMASUKI AKHIR RAMADHAN

Memasuki Ujung Ramadhan Harusnya Ingat Diri

Sebelum memulai kajian rutin yang dilangsungkan di Mushala PWNU Jatim, Ustadz Ma’ruf Khozin mengingatkan bahwa kini umat Islam tengah berada di penghujung Ramadhan. Ada banyak hal yang harus dilakukan agar kaum Muslimin tidak merugi karena akan berpisah dari bulan penuh kebajikan tersebut.

“Di penghujung Ramadhan kita harusnya mengingat diri,” katanya, Kamis (15/6). Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana kemampuan untuk menahan nafsu. Menurut anggota dewan pakar PW Aswaja NU Center Jatim tersebut, justru di akhir Ramadhan kemampuan melawan hawa nafsu ini dipertaruhkan, lanjutnya.

Sebagai perumpamaan yang terus berulang, pada setiap akhir Ramadhan ada kecenderungan dalam berbelanja dan godaan jelang hari raya malah kian tinggi. “Kita hanya memindah nafsu ke malam hari,” kata alumnus Pesantren Ploso Kediri tersebut. Menurutnya, saat siang memang tidak banyak yang dilakukan kaum Muslimin. Akan tetapi kala memasuki malam, justru diperbudak dengan nafsu. “Dari mulai nafsu makan hingga berbelanja,” sergahnya.

Ustadz Ma’ruf kemudian membeberkan kegemaran makan dengan porsi yang lebih kala berbuka. “Karena alasan puasa, kala berbuka kita justru makan dan minum yang lebih enak,” ungkapnya. Hal tersebut tentu akan berpengaruh kepada kegemaran berbelanja yang justru berlebihan.

“Demikian kala persiapan menuju hari raya,” katanya. Yang ramai justru mall dan tempat belanja. Kalau pada sepuluh awal Ramadhan jamaah masjid dan mushala demikian semarak hingga menutup jalan dan gang, tidak saat ini, lanjutnya.

Dalam pandangan Ustadz Ma’ruf, sapaan akrabnya, ini menjadi bukti bahwa kaum Muslimin masih belum mampu menghayati esensi puasa. “Berbeda dengan para ulama dan kiai yang menjalankan puasa tidak hanya saat Ramadhan, juga di bulan yang lain,” tandasnya.

Di ujung penjelasannya, Ustadz Ma’ruf mengajak kaum Muslimin untuk benar-benar menghayati hakikat puasa. “Apalagi kini telah memasuki 10 hari terakhir dari Ramadhan, mari tingkatkan ibadah, kendalikan nafsu kita,” pungkasnya.

Perenungan di Akhir Ramadhan

Hari-hari Ramadhan telah kita lalui dengan berbagai kegiatan dan aktivitas yang galibnya lain dari hari-hari lain di bulan-bulan lain. Mulai dini hari, kaum muslimin biasanya bersama-sama keluarga melakukan ‘ritual’ santap sahur ; sore ngabuburit, ‘membunuh waktu’ menunggu saat berbuka; lalu ‘ritual’ santap buka; kemudian beramai-ramai melaksanakan shalat Taraweh dan Tadarusan; sampai acara-acara seremonial buka bersama, tarling (taraweh keliling), dan ceramah-ceramah keagamaan.

Kegiatan-kegiatan lain biasanya juga diupayakan dapat bernuansa ibadah, setidaknya dilabeli dengan label yang mengesankan keislaman, seperti Roadshow Safari Ramadhan; Gelar Ta’jil; Konser Seni dan Dakwah, Takbir Akbar, dlsb.

Yang mungkin agak tidak populer adalah kegiatan Ramadhan model zaman kanjeng Nabi Muhammad SAW: i’tikaf. Berdiam diri tafakur di rumah Tuhan. Bahkan agaknya memang ‘berdiam diri’ itu sendiri sudah merupakan sesuatu yang mewah di zaman gaduh dan sibuk sekarang ini. Berdiam diri melakukan kontemplasi mungkin malah dianggap bukan kegiatan sama sekali.

Padahal bulan suci Ramadhan merupakan satu-satunya saat paling kondusif untuk melakukan perenungan. Bulan yang citra, gaya, dan nuansanya sama sekali beda dari sebelas bulan yang lain. Kalau bulan-bulan lain lebih terasa duniawi, maka bulan yang satu ini terasa benar ‘ukhrawi’nya, keakhiratannya. Bahkan pengusaha-pengusaha pun dalam mencari keuntungan duniawi menemukan celah dalam kegiatan peribadatan bulan ini.

Boleh jadi karena minimnya perenungan, kita sering terkecoh oleh diri kita sendiri. Kita sering keliru dalam merasa, salah dalam anggapan, hanya karena kegiatan-kegiatan rutin yang tidak sempat kita renungkan. Sikap atau kegiatan yang sudah berlangsung lama, karena tidak pernah sempat kita renungkan, umumnya kita anggap sudah benar dan karenanya kila langsungkan terus. Padahal bila kita mau menyempatkan diri merenung, akan terbukti kekeliruannya. Kita ambil contoh kecil: kegemaran kita bermain pengeras suara di mesjid-mesjid dan mushalla-mushalla. Tidak hanya adzan yang kita lantunkan; tapi segala macam hal yang kita anggap syiar dan Islami, kita kumandangakan ke seantero penjuru. Agaknya kita jarang merenungkan: apakah hal seperti ini wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram? Karena sudah berlangsung lama dan MUI tidak pernah berfatwa makruh atau haram, maka kita pun tidak perlu bersusah payah merenungkannya. Kita merasa sudah benar. Karena sudah berlangsung lama dan tidak ada yang protes, kita pun tidak merasa perlu merenungkan apakah suara-suara itu mengganggu orang atau tidak? Apakah mereka yang tidak protes, meski terganggu itu, karena rela atau takut ?

Imbauan untuk menghormati Ramadhan bahkan sering disertai amar penutupan warung-warung, misalnya lagi, karena sudah berlangsung setiap Ramadhan, maka kita menganggapnya wajar. Padahal dengan sedikit perenungan, kita akan segera tahu kejanggalannya. Contoh-contoh lain masih banyak tentang keliru merasa dan salah anggapan akibat tiadanya perenungan ini.

Salah merasa dan beranggapan ini bisa berakibat fatal bila Allah tidak merahmati kita dengan mengilhamkan perlunya perenungan. Kita bisa merasa berbuat ibadah, padahal bukan. Kita merasa beramar-makruf nahi-munkar, padahal sedang berbuat anarki. Sebaliknya kita bisa menganggap sesuatu perbuatan sebagai amal duniawi semata, padahal sangat ukhrawi.

Wakil –wakil rakyat yang ngotot membangun gedung kantornya sedemikian megah dengan biaya dari rakyat sedemikian besar, pastilah tidak sempat merenung tentang, misalnya, memadaikah kegunaan gedung dan relevansinya dengan tugas-tugas mereka serta besarnya biaya? Apalagi berpikir tentang betapa tersakitinya rakyat yang mereka wakili yang selama ini belum pernah merasakan nasibnya membaik karena mereka perjuangkan.

Kelompok yang dengan angkuh merasa paling benar dan paling mulia sendiri di sisi Allah hanya karena berpakaian mirip Rasulullah SAW dan imamnya fasih melafalkan satu-dua ayat, pastilah mereka tidak sempat sedikit merenung, misalnya bahwa Rasulullah SAW yang pakaiannya mereka tiru itu wajahnya senantiasa tersenyum dan sama sekali tidak sangar seperti mereka. Bahwa pribadi Rasulullah SAW yang agamanya hendak mereka bela , adalah pribadi agung yang sangat santun; beradab baik di hadapan Allah maupun di hadapan hamba-hambaNya. Pribadi yang tridak pernah melaknat dan menyakiti sesama. Bahkan beliau bersabda dalam hadis shahih: “Al-muslimu man salimal muslimuun min lisaanihi wayadihi.“ Muslim sejati ialah orang yang selalu menjaga agar lisan dan tangannya tidak melukai sesamanya.

Nah, apabila i’tikaf dan tafakkur kita kemarin-kemarin terasa kurang, kita masih punya waktu setidaknya untuk merenungkan Ramadhan kita,dan puasa kita bagi kepentingan memulai kehidupan –terutama kehidupan keberagamaan kita–yang baru, yang lebih islami, yang lebih samawi, yang lebih manusiawi, yang lebih beradab.

Akhirnya, saya sampaikan Selamat Hari Raya Fitri 1440. Kullu ‘aamin wa Antum bikhair. Mohon maaf lahir batin atas segala kesalahan dan kekhilafan saya.

(NU.OR ID)

BEBERAPA KEISTIMEWAAN YANG ADA DI BULAN RAMADHAN

Rasulullah ﷺ bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa umat Islam mendapatkan lima keistimewaan dengan datangnya bulan Ramadhan sebagaimana beliau tegaskan berikut ini:

أُعْطِيَتْ أُمَّتِي خمسَ خِصَالٍ في رَمَضَانَ لَمْ تُعْطَهُنَّ أمَّةٌ من الأُمَمِ قَبْلَهاَ

Artinya: “Di bulan Ramadhan umatku diberi lima keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya.”

Kelima keistimewaan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama,

خُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ اْلمِسْكِ

Artinya: “Bau mulut orang yang berpuasa di hadapan Allah lebih baik dari pada minyak misik.”

Secara jujur kita mengakui bahwa bau mulut orang berpuasa tidak sedap. Hal ini terjadi karena produksi air liur dalam mulut dan dalam saluran pencernaan berkurang sehingga menjadi lebih kering. Akibatnya timbul halitosis atau bau mulut yang khas yang tak jauh berebeda dengan ketika kita baru bangun tidur. Salah satu kiat untuk mengatasinya adalah perbanyak konsumsi air putih selama berbuka hingga sahur. Kiat lain adalah menggosok gigi sehabis sahur atau paling akhir sebelum masuk waktu dzuhur. Setelah dzuhur, menggosok gigi ataupun siwak tidak dianjurkan karena hukumnya makruh. Oleh karena itu setelah dzuhur bau mulut yang tak sedap itu tidak perlu dirisaukan karena bagi Allah  ﷻ bau seperti itu lebih baik dari pada bau minyak misik.

Selain itu, perlu kta sadari bahwa bau mulut yang tak sedap itu sesungguhnya memiliki hikmah atau manfaat tertentu. Misalnya, bau itu menjadi salah satu pembeda antara orang berpuasa dengan yang tidak berpuasa. Dengan bau seperti itu orang yang berpuasa akan cenderung lebih banyak diam dari pada bicara yang tidak perlu. Apalagi berkata jorok atau misuh-misuh, jelas hal seperti itu sangat tidak pantas keluar dari mulut orang yang berpuasa karena hanya akan mengurangi kualitas ibadah puasanya.

Maka dengan bau tak sedap seperti itu orang-orang berpuasa diharapkan dapat menyadari keadaanya sehingga bisa menjaga mulutnya dengan baik dari kata-kata kotor, misalnya dengan memperbanyak tadarus Al-Qur’an, membaca dzikir, istighfar, shalawat dan sebagainya. Dengan memperbanyak ibadah lisan seperti itu sudah pasti bau tak sedap itu akan mendapat perimbangan dan kemudian diganti oleh Allah dengan bau-bau wangi yang bahkan lebih wangi dari pada minyak misik atau yang juga dikenal dengan minyak kasturi yang berasal dari rusa jantan.

Kedua,

وَتَسْتَغْفرُ لَهُمْ اْلمَلاَئِكَةُ حَتىَّ يُفْطِرُوْا

Artinya: “Orang-orang yang berpuasa semuanya dimintakan ampunan oleh para malaikat hingga mereka berbuka.”

Keistimewaan kedua ini, menjadi keuntungan besar bagi orang-orang yang berpuasa. Kita semua tahu bahwa malaikat adalah makhluk yang tak kenal maksiat kepada Allah  ﷻ sehingga doa-donya mudah dikabulkan. Para malaikat itu dari saat imsak hingga berbuka senantiasa memintakan ampunan kepada Allah  ﷻ agar orang-orang berpuasa diampuni dosa-dosanya. Sekali lagi ini merupakan keuntungan besar bagi kita karena kita sendiri terkadang merasa was was apakah istighfar kita diterima Allah  ﷻ karena faktanya kita sering megulang kesalahan atau dosa yang sama setelah berkali-kali memohon ampun atas dosa-dosa yang sama. 

Oleh karena itu sekali lagi di bulan puasa ini kita mendapat anugerah yang luar biasa dimana para malaikat mendoakan orang-orang yang berpuasa secara terus menerus dari saat imsak hingga saat berbuka yang durasinya mencapai kira-kira 14 jam. Kita sendiri tak mampu melakukan istighfar secara terus menerus hingga selama itu.

Ketiga,

وَتُصَفَّدُ فِيْهِ مَرَدَّةُ الشَّياَطِيْنِ ، وَلاَ يُخْلِصُوْنَ فِيْهِ إِلَى مَا كاَنُوْا يُخْلِصُوْنَ فِي غَيْرِه

Artinya: “Di bulan ini para setan dibelenggu yang semuanya tidak bisa lepas seperti di bulan lainnya.”

Kita semua tentu merasakan di bulan Puasa kita menjadi seperti malas untuk berbuat apa saja kecuali ibadah. Semangat kita untuk beribadah meningkat dibandingkan dengan di.luar Ramadhan. Hal ini terjadi karena setan-setan dibelenggu hingga selesainya Ramadhan. Ini semua merupakan kemurahan Allah  ﷻ dalam rangka memberi kesempatan kepada kita untuk menambah pundi-pundi amal ibadah kita. Di luar Ramadhan mungkin kita lebih banyak berpikir dan melakukan hal-hal yang bersifat duniawi saja.

Dengan dibelenggunya setan-setan di bulan Ramadhan, maka secara teori setidaknya kemaksiatan bisa ditekan serendah-rendahnya. Kemaksiatan-kemaksiatan yang ada tentu sulit dikaitkan dengan keterlibatan setan. Mereka alibi dalam hal ini. Jika demikian halnya, maka kemaksiatan-kemaksiatan itu timbul karena kesalahan kita yang tidak mampu mengendalikan nafsu yang ada dalam diri kita sendiri.

Keempat,

وَيُزَيِّنُ اللهُ لَهُمْ كُلَّ يَوْمٍ جَنَّتَهُ، ثُمَّ يَقُوْلُ : يُوْشِكُ عِبَادِيْ الصَّائِمُوْنَ أَنْ يُلْقُوْا عَنْهُمْ الْمَئُونَةَ وَاْلأَذَى وَيَصِيْرُوْنَ إِلَيْكَ.

Artinya: “Setiap hari di bulan Ramadhan Allah memperindah surga untuk orang-orang yang berpuasa. Kemudian Allah berfirman: “Para hamba-Ku yang melakukan puasa hampir menemukan hasil dan jerih payahnya hingga sampai kepadamu (wahai surga).”

Keistimewaan keempat ini dimana Allah menghiasai surga dengan indahnya untuk menyambut para hamba-Nya yang berpuasa menunjukkan bahwa ibadah puasa memiliki nilai spiritualitas yang sangat tinggi. Kepada surga Allah berfirman, “Para hamba-Ku yang berpuasa hampir menemukan hasil dari jerih payahnya hingga sampai kepadamu.” Kalimat ini mengandung arti bahwa tak ada balasan bagi orang-orang berpuasa kecuali surga karena ibadah puasa memang untuk Allah sehingga Allah sendiri yang akan membalasnya sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

Artinya: “Semua amal manusia adalah miliknya, kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah milik-Ku dan Aku yang akan memberikan balasannya.”

Hadits tersebut mengungkapkan bahwa ibadah puasa urusannya dengan Allah  ﷻ. Allah yang memerintahkan, Dia pula yang mengatur segala sesuatunya. Tidak ada orang sakit atau bahkan mati karena puasa. Justru yang terjadi orang bisa sakit atau bahkan mati karena makan terlalu banyak atau over dosis. Manfaat puasa juga diakui oleh dunia kedokteran yang dikenal dengan puasa medis selama waktu tertentu sebelum seorang pasien menjalani pemeriksaan darah di sebuah laboratorium.

Kelima,

وَيَغْفِرُ لَهُمْ فِيْ آخِرِ لَيْلَةٍ ، قِيْلَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ : اَهِيَ لَيْلَةُ اْلقَدَرِ ؟ ، قَالَ : لاَ ، وَلَكِنَّ  الْعَامِلَ إِنَّمَا يُوَفَّى أَجْرُهُ إِذَا قَضَى عَمَلَهُ

Artinya: “Dan di akhir malam bulan Ramadhan Allah memberikan ampunan. Kemudian Rasul ﷺ. ditanya apakah itu malam Lailatul Qodar? Beliau. menjawab: “Bukan, hanya saja bagi orang yang beramal maka akan mendapatkan pahala ketika sudah usai mengerjakannya.”

Dalam keistimewaan kelima ini, Allah mengampuni orang-orang berpuasa pada setiap akhir malam, dan itu bukan merupakan lailatul qadar. Lailatul qadar adalah satu hal dan ampunan Allah pada setiap akhir malam di bulan Ramadhan merupakan hal lainnya. Artinya Orang-orang berpuasa berhak mendapatkan ampunan sebagai imbalan ibadahnya kepada Allah  ﷻ. Sedangkan Lailatul qadar diberikan kepada orang-orang tertentu sesuai dengan pilihan Allah sendiri. Maka beruntunglah mereka yang selain mendapatkan ampunan dari Allah tetapi juga mendapatkan kebaikan lailatul qadar yang nilainya lebih tinggi dari pada kebaikan seribu bulan.

Jika keistimewaan kelima ini dihubungkan dengan keistimewaan kedua diatas, yakni Malaikat memintakan ampunan kepada Allah untuk orang-orang yang berpuasa, maka menjadi klop dan jelas bahwa orang-orang berpuasa diampuni dosa-dosanya sebagaimana juga disabdakan Rasulullah ﷺ dalam hadits beliau yang diriwayatkan dari Abi Hurairah:

 مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya: “Barang siapa menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan semata-mata karena Allah dan mengharap ganjaran dari pada-Nya, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lewat.”

Kelima hal diatas sebagaimana telah diuraikan merupakan keistimewaan bulan Ramadhan yang hanya diberikan kepada umat Nabi Muhammad ﷺ. Kita bersyukur bahwa kita semua menjadi umat beliau.  Untuk itu semoga kita semua dapat menjalankan ibadah puasa tahun ini dan tahun-tahun berikutnya dengan sebaik-baiknya sehingga kelima keistimewaan diatas dapat kita raih seluruhnya. Amin ya rabbal alamin.

KISAH RAMADHAN : DI SETIAP BULAN RAMADHAN KESIBUKAN MALAIKAT MENINGKAT

            Surga selalu dihias dan diberi harum-haruman dari tahun ke tahun karena masuknya bulan Ramadhan. Pada malam pertama Ramadhan itu, muncullah angin dari bawah Arsy yang disebut al Mutsirah. Karena hembusan al Mutsirah ini, daun-daunan dari pepohonan di surga bergoyang dan daun-daun pintunya bergerak, sehingga menimbulkan suatu rangkaian suara yang begitu indahnya. Tidak ada seorang atau mahluk apapun yang pernah mendengar suara seindah suara itu, sehingga hal itu menarik perhatian para bidadari yang bermata jeli.

Mereka berdiri di tempat tinggi dan berkata, “Apakah ada orang-orang yang melamar kepada Allah, kemudian Allah akan mengawinkannya dengan kami??”

            Tidak ada jawaban dan penjelasan apapun, maka para bidadari itu bertanya kepada malaikat penjaga surga, “Wahai Malaikat Ridwan, malam apakah ini?”

            Malaikat Ridwan berkata, “Wahai para bidadari yang cantik jelita, malam ini adalah malam pertama Bulan Ramadhan!!”

            Para bidadari itu berdoa, “Ya Allah, berikanlah kepada kami suami-suami dari hamba-Mu pada bulan ini!!”

            Maka tidak ada seorangpun yang berpuasa di Bulan Ramadhan (dan diterima puasanya) kecuali Allah akan mengawinkannya dengan para bidadari itu, kelak di dalam kemah-kemah di surga.

            Kemudian terdengar seruan Firman Allah, “Wahai Ridwan, bukalah pintu-pintu surga untuk umat Muhammad yang berpuasa pada bulan ini. Wahai Malik (Malaikat penjaga neraka), tutuplah pintu-pintu neraka untuk mereka yang berpuasa bulan ini. Wahai Jibril, turunlah ke bumi, kemudian ikatlah setan-setan yang jahat dengan rantai-rantai dan singkirkan mereka ke dasar lautan yang dalam, sehingga mereka tidak bisa merusak (mengganggu) puasa dari umat kekasih-Ku, Muhammad!!”

            Para malaikat itu dengan segera melaksanakan perintah Allah tersebut. Itulah sebabnya di dalam Bulan Ramadhan itu kebanyakan umat Islam sangat mudah untuk berbuat amal kebaikan. Suatu hal yang sangat sulit untuk diamalkan pada bulan-bulan lainnya. Gangguan setan (dari kalangan jin) dan hawa panas neraka untuk sementara ditiadakan, hawa sejuk surga yang penuh rahmat dan kasih sayang Allah melimpah ruah membangkitkan semangat untuk terus beribadah kepada-Nya. Musuh yang harus dihadapi tinggal gangguan setan dalam bentuk manusia dan hawa nafsu, yang mereka itu juga telah dilemahkan dengan adanya kewajiban puasa.

            Pada riwayat lain disebutkan, pada malam pertama Bulan Ramadhan itu Allah berfirman, “Barang siapa yang mencintai-Ku maka Aku akan mencintainya, barang siapa yang mencari-Ku maka Aku akan mencarinya, dan barang siapa yang memohon ampunan kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya berkat kehormatan Bulan Ramadhan ini (dan puasa yang dijalankannya) !!”

            Kemudian Allah memerintahkan malaikat Kiramal Katibin (malaikat-malaikat pencatat amalan manusia) untuk mencatat amal kebaikan dari tiga kelompok orang-orang tersebut dan menggandakannya, serta memerintahkan untuk membiarkan (tidak mencatat) amal keburukannya, bahkan Allah juga menghapus dosa-dosa mereka yang terdahulu.

            Pada setiap malam dari Bulan Ramadhan itu, Allah akan berseru tiga kali, “Barang siapa yang memohon, maka Aku akan memenuhi permohonannya. Barang siapa yang kembali kepada-Ku (Taa-ibin, taubat) maka Aku akan menerimanya kembali (menerima taubatnya). Barang siapa yang memohon ampunan (maghfirah) atas dosa-dosanya, maka Aku akan mengampuninya…!!”

            Pada malam yang ditetapkan Allah sebagai Lailatul Qadr, Allah memerintahkan Jibril dan rombongan besar malaikat untuk turun ke bumi. Jibril turun dengan membawa panji hijau yang kemudian diletakkan di punggung Ka’bah. Ia mempunyai 600 sayap, dua di antaranya tidak pernah dipergunakan kecuali pada Lailatul Qadr, yang bentangan dua sayapnya itu meliputi timur dan barat. Kemudian Jibril memerintahkan para malaikat yang mengikutinya untuk mendatangi umat Nabi Muhammad SAW. Mereka mengucapkan salam pada setiap orang yang sedang beribadah dengan duduk, berdiri dan berbaring, yang sedang shalat dan berdzikir, dan berbagai macam ibadah lainnya pada malam itu. Mereka menjabat tangan dan mengaminkan doa umat Nabi Muhammad SAW hingga terbit fajar.

            Ketika fajar telah muncul di ufuk timur, Jibril berkata, “Wahai para malaikat, kembali, kembali!!”

            Para malaikat itu tampaknya enggan untuk beranjak dari kaum muslimin yang sedang beribadah kepada Allah. Ada kekaguman dan keasyikan berada di tengah-tengah umat Nabi Muhammad SAW, yang di antara berbagai kelemahan dan keterbatasannya, berbagai dosa dan kelalaiannya, mereka tetap beribadah mendekatkan diri kepada Allah, tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah. Mendengar seruan Jibril untuk kembali, mereka berkata, “Wahai Jibril, apa yang diperbuat Allah untuk memenuhi permintaan (kebutuhan) orang-orang yang mukmin dari umat Nabi Muhammad ini?’

            Jibril berkata, “Sesungguhnya Allah melihat kepada mereka dengan pandangan penuh kasih sayang, memaafkan dan mengampuni mereka, kecuali empat macam manusia…!”

            Mereka berkata, “Siapakah empat macam orang itu?”

            Jibril berkata, “Orang-orang yang suka minum minuman keras (khamr, alkohol, narkoba dan sejenisnya), orang-orang yang durhaka kepada orang tuanya, orang-orang yang suka memutuskan hubungan silaturahmi, dan kaum musyahin!!”

            Para malaikat itu cukup puas dengan penjelasan Jibril dan mereka kembali naik ke langit, ke tempat dan cara ibadahnya masing-masing seperti semula.

            Ketika Nabi SAW menceritakan hal ini kepada para sahabat, salah seorang dari mereka berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah kaum musyahin itu?”

            Nabi SAW bersabda, “Orang yang suka memutuskan persaudaraan, yaitu orang yang tidak mau berbicara (karena perasaan marah, dendam dan sejenisnya) kepada saudaranya lebih dari tiga hari!!”

            Malam berakhirnya bulan Ramadhan, yakni saat buka puasa terakhir dan memasuki malam Idul Fitri, Allah menamakannya dengan Malam Hadiah (Lailatul Jaa-izah). Ketika fajar menyingsing, Allah memerintahkan para malaikat untuk turun dan menyebar ke seluruh penjuru negeri-negeri yang di dalamnya ada orang-orang yang berpuasa. Mereka berdiri di jalan-jalan dan berseru, dengan seruan yang didengar oleh seluruh mahluk kecuali jin dan manusia, “Wahai umat Muhammad, keluarlah kamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, yang memberikan rahmat begitu banyak dan mengampuni dosa yang besar!!”

            Ketika kaum muslimin keluar menuju tempat-tempat shalat Idul Fitri dilaksanakan, Allah berfirman kepada para malaikat, “Wahai para malaikat-Ku, apakah balasan bagi pekerja jika ia telah menyelesaikan pekerjaannya??”

            Mereka berkata, “Ya Allah, balasannya adalah dibayarkan upah-upahnya!!”

            Allah berfirman, Wahai para malaikat, Aku persaksikan kepada kalian semua, bahwa balasan bagi mereka yang berpuasa di Bulan Ramadhan, dan shalat-shalat malam mereka adalah keridhaan dan ampunan-Ku!!”

APA YANG TELAH KITA LAKUKAN? PADAHAL ROMADLON 1440 H. SUDAH AKAN MENINGGALKAN KITA

Tak diragukan lagi bahwa penutup suatu amal memiliki urgensi yang sangat agung. Dahulu para salaf (pendahulu) rahimahumullah menaruh perhatian kepada penghujung amal mereka dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sekaligus mengamalkan kandungan firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَا ءَاتَوا وَقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُوْنَ

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut. Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.”  (QS. Al-Mu’minun : 60).

Allah Subhanahu wa Ta’ala mendeskripsikan hamba-Nya yang beriman bahwa mereka mempersembahkan amal shalih dan ketaatan serta bersungguh-sungguh dalam beribadah. Di samping itu, mereka sangat takut kepada Tuhan mereka Subhanahu wa Ta’ala karena mereka tidak tahu apakah amal mereka diterima atau tidak. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh merasa ‘ujub (bangga) dengan amalnya, meskipun sangatlah banyak amalnya. Karena, jika Allah tidak menerimanya, maka amal tersebut tidaklah berguna sama sekali, meskipun jumlahnya sangat banyak maupun besar. Selama amal tersebut tertolak, maka ia bagaikan debu yang berterbangan, hanya tersisa lelah, tanpa faidah.

Namun, jika Allah menerimanya, meskipun kadarnya sedikit, maka Dia Jalla wa ‘Ala akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللهَ لاَ يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيْمًا

“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah. Dan jika ada kebaikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat-gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya ganjaran yang agung.” (QS. An-Nisa’ : 40).

Akan tetapi, amal hanyalah sebagai sebab. Sedangkan parameter yang sesungguhnya adalah qabul (diterimanya amal). Ditinjau dari sudut pandang hamba, maka hendaknya ia mencurahkan sebab dengan mengerjakan amal. Adapun dari sudut pandang Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Dia lebih mengetahui siapa orang-orang yang muhsin (yang amalannya baik). Akan tetapi, seorang mukmin harus yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan ganjaran hamba-Nya yang beramal meskipun sedikit. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba memperbanyak amal, memurnikan niat, menjadikan amalnya sesuai tuntunan, dan berharap kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan tidak putus asa dari rahmat Allah. Di samping itu, ia tidak merasa ‘ujub atau menganggap banyak amalnya. Akan tetapi, ia memohon kepada Allah agar amalnya diterima dan mengiringi amalnya dengan istighfar (memohon ampun). Sebab, manusia adalah tempatnya salah dan keliru. Boleh jadi seseorang amalnya banyak, tetapi ada cacat dan kekurangan dalam amalnya atau dinodai dengan sesuatu yang dapat merusak dan mengurangi pahala amal. Lantas ia tambal cacat dan kekurangan tersebut dengan istighfar.

Hendaknya seseorang memperbanyak istighfar di penghujung amal dan ibadahnya, semisal penghujung bulan Ramadhan. Seorang muslim yang diberi taufiq oleh Allah untuk berpuasa dan shalat malam, sepatutnya ia menyertai amal tersebut dengan istighfar dan merendah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak selayaknya ia merasa dirinya telah menunaikan amal sesuai dengan tuntutan syariat. Karena, dia tidak tahu, bisa jadinya pada amalnya terdapat cela yang banyak. Oleh karenanya, hendaknya ia memperbanyak istighfar dan menganggap bahwa amalnya sangatlah sedikit dibandingkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang semestinya ia penuhi.

Meskipun amalannya banyak, ikhlas, dan sungguh-sungguh, tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap berdoa kepada Rabbnya,

لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ

“Aku tak sanggup menghitung sanjungan atas-Mu.” (HR. Muslim no. 486).

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakui bahwa beliau belum menunaikan hak Rabbnya ‘Azza wa Jalla secara sempurna. Lantas bagaimana lagi dengan manusia selain beliau? Mereka yang Allah sifati bahwa mereka adalah “Orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” Yakni dengan hati yang khawatir karena mereka tidak merasa aman dengan makar (tipu daya) Allah. Mereka mengatakan, “Kami shalat, puasa, dan menunaikan kewajiban kami.” Mereka tidak mengatakan bahwa amal mereka pasti diterima. Karena, itu adalah merasa ‘ujub dengan amal dan men-tazkiyah (menyucikan) diri sendiri dan amalnya. Seberapa pun besar amal seorang muslim, semestinya ia menganggap kecil amalnya di hadapan Allah. Seberapa pun banyak amalnya, ia tak tahu apakah amalnya sah dan diterima ataukah tidak. Betapa banyak keburukan yang muncul dari manusia baik dengan lisan, perbuatan, maupun tingkah lakunya. Terjadi banyak kejelekan dari manusia. Boleh jadi keburukan itu akan menghabiskan pahala amal atau minimal menguranginya dengan jumlah yang banyak.

Selayaknya bagi seorang muslim untuk menghitung-hitung kejelekannya dan tidak menghitung-hitung kebaikannya. Demikian pula hendaknya ia melakukan muhasabah (introspeksi) terhadap dirinya. Ia hitung keburukan dan dosanya lantas ia ber-istighfar dan bertaubat kepada Allah. Janganlah ia hitung kebaikannya lantas mengatakan, “Aku telah beramal ini dan itu.” Hendaknya ia serahkan amalnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ia yakini bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala hamba-Nya yang beramal dan amalnya telah tercatat jika amalnya sah dan diterima. Ia tidak khawatir bahwa Allah akan menelantarkan kebaikannya,

وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَانَكُمْ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَحِيْمٌ

“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah : 143).

Akan tetapi, ia khawatirkan dirinya terjerumus dalam kesalahan, dosa, dan keburukan yang membinasakan. Maka hendaknya ia mengintrospeksi dirinya dan merenungkan kejelekan yang terjadi padanya. Lantas ia bertaubat dan ber-istighfar untuk setiap dosanya. Inilah yang sepatutnya dilakukan oleh seorang hamba.

Di penghujung Ramadhan, dahulu para salafush shalih memperbanyak istighfar dan taubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla serta takut amalnya tidak diterima. Mereka dahulu sungguh-sungguh beramal di bulan Ramadhan maupun selainnya. Kemudian, terbersit di hati mereka rasa khawatir bahwa tidak ada satu pun amal yang diterima. Lantas mereka ber-istighfar dan bertaubat kepada Allah. Bahkan, diriwayatkan bahwa mereka berdoa kepada Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan. Apabila mereka berjumpa dengan bulan Ramadhan, mereka berpuasa dan melakukan qiyamul lail (shalat malam). Lalu, mereka berdoa kepada Allah selama enam bulan setelahnya agar Allah menerima amal mereka di bulan Ramadhan.

Di antara tanda diterimanya amal di bulan Ramadhan maupun selainnya adalah kebaikan yang diikuti dengan kebaikan setelahnya. Jika keadaan seorang muslim setelah Ramadhan tetaplah baik dan banyak melakukan kebaikan dan amal shalih, maka ini adalah bukti amalnya diterima. Namun, jika sebaliknya, kebaikan yang disusul dengan keburukan sesudahnya, ia keluar dari Ramadhan lantas diiringi dengan keburukan, kelalaian, dan berpaling dari ketaatan kepada Allah, maka ini adalah indikator amalnya tidak diterima. Setiap orang mengetahui dan melihat keadaan dirinya sendiri setelah Ramadhan. Jika kondisinya lebih baik, maka hendaknya ia memuji Allah karena ini adalah tanda amalnya diterima. Akan tetapi, jika kondisinya lebih buruk, maka hendaknya ia bertaubat dan ber-istighfar kepada Allah karena ini adalah indikator amalnya tidak diterima dan bukti dirinya malas dan lalai.

Janganlah seorang hamba merasa putus asa dari rahmat Allah sehingga tertutuplah pintu antara dirinya dengan Allah,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِيْنَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

“Katakanlah, Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Az-Zumar : 53).

Hendaknya ia bertaubat dan ber-istighfar serta kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla karena Allah Jalla wa ‘Ala menerima taubat hamba-Nya yang bertaubat,

وَهُوَ الَّذِيْ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُوا عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُوْنَ

“Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Asy-Syura : 25).